8. Berubah

141 19 8
                                    



Di sinilah sekarang Syahirah berada, sebuah kafe. Di depannya tersaji dua kopi espresso. Menatap ke arah jendela besar di samping sambil menunggu seseorang di depannya berbicara. Namun, hingga sepuluh menit waktu berjalan tak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan. Sedangkan sosok di hadapannya juga sama hanya menatap Syahirah dengan pandangan kosong.

Syahirah menengok ke arahnya. "Jadi, apa lagi sekarang? Saya sudah sangat terlambat Tuan Thau," ucapnya dengan penegasan pada kata 'tuan'.

Thau mengernyit, tidak biasa dipanggil tuan oleh wanita di hadapannya. Menghembuskan napas perlahan Thau membenarkan posisi duduk. "Bisa kita permudah saja?"

"Maksudnya?"

"Jangan menganggap saya tidak pernah hadir di kehidupan kamu. Itu sangat mengganggu." Thau memang merasa terganggu saat Syahirah sendiri menganggap dia tidak ada—hanya angin lalu. Padahal dulu mereka pernah sedekat nadi. "Anggap saya seperti dulu saja. Saat semuanya belum berubah."

Saat kata itu terlontar dari bibir Thau, Syahirah menengok, menegaskan. "Mana bisa, Tuan? Dulu saya belum ada ikatan dengan siapapun, tapi sekarang saya bukan wanita bebas, saya sudah bersuami. Membiarkan perasaan lain tumbuh di hati saya hanya akan menyiksa batin ini terlalu jauh."

"Saya tidak meminta kamu untuk menjadi seperti dulu. Menetapkan perasaan yang sama, karena saya yakin tanpa saya pinta pun perasaan itu masih tersimpan."

"Jangan bercanda!" seringai Syahirah.

"Bisa kah kita menjadi teman. Hanya teman. Berdamai dengan masa lalu? Bukankah itu lebih baik untuk urusan pekerjaan. Saya yakin kamu orang yang profesional. Mengerti bagaimana caranya mengatur hal pribadi dan kerjaan." Thau bersedekap di meja mencondongkan sedikit tubuhnya.

"Tuan tidak perlu khawatir, saya akan tetap bekerja secara profesional tanpa harus dipinta, tapi untuk berteman saya rasa tidak bisa. Mengingat kita dulu berbeda. Orang akan menganggap lain." Suara Syahirah melemah, dia pun tidak ingin stigma negatif terus ditujukan pada dirinya. Sudah cukup gosip di kantor bahwa ia sengaja merayu Anoel agar menikahinya. Padahal Anoel sendirilah yang mengejar Syahirah.

"Omong kosong dengan omongan orang lain." Cara bicara Thau terlihat angkuh.

"Ya, omong kosong menurut Tuan, tapi tidak dengan saya." Ucapan Syahirah membuat Thau menghentikan seringaiannya.

"Syahirah, mari kita buat dengan mudah. Memang kesalahan saya meninggalkan tanpa jejak setelah pembahasan terakhir kita dulu. Saya---"
Syahirah memotong ucapan Thau.

"Saya rasa hal itu tidak perlu dibahas, tidak ada untung juga untuk saya. Cerita kita selesai yang artinya tamat. Tidak bersambung. Maaf, sepertinya saya harus segera pergi, sudah hampir setengah jam saya di sini. Permisi." Syahirah meninggalkan Thau yang masih duduk terdiam di kursi, bahkan kopi yang dipesannya pun tidak terminum.

"Syahirah," panggil Thau di depan kafe berusaha mengejar sang wanita berhijab itu. Tangannya menggapai lengan kanan Syahirah.

Syahirah tersontak kaget, berusaha melepaskan lengannya yang dipegang. Thau mengerti lalu melepaskan.

"Maaf, Albert akan mengantarmu."

"Tidak perlu, saya bisa naik taksi."

"Ayolah Syahirah, bukankah kamu terlambat? Lebih cepat lebih baik, menunggu taksi terlalu lama." Syahirah memikirkan perkataan Thau, ada benarnya. Ia sudah sangat terlambat.

"Baiklah, hanya untuk kali ini." Thau tersenyum singkat.

"Albert, tolong antar Syahirah menuju tempat kerjanya. Saya akan tunggu di dalam kafe." Syahirah menengok ke arah Thau, ia pikir pria itu akan pergi bersamanya, ternyata tidak. "Saya tahu kamu tidak suka kita jalan bersama. Jadi, silakan jalan lebih dulu. Saya pastikan Albert akan mengantarmu sampai ke kantor." Senyum Thau semakin mengembang. Tidak, bahkan Syahirah tidak menemukan jejak kecurigaan pada mata Thau.

Syahirah menaiki mobil hitam itu, lalu mengucap terima kasih yang diangguki oleh pria itu. Sedang Thau masuk lagi ke dalam kafe. "Jika memang cara ini bisa membuatku dekat denganmu tidak apa, aku akan melakukannya."

Tidak mudah menghapus perasaan pada seseorang yang begitu melekat pada hatimu. Jarak mungkin bisa memisahkan, tapi hati siapa yang tahu?

***

"Apakah Tuan yakin dengan ini?" Albert menatap tidak percaya pada sosok di hadapannya.

"Tentu, apa ada yang salah? Hidupku sudah sangat resah. Melepaskan seseorang yang dicintai itu begitu menyakitkan Albert. Lihatlah tubuhku yang semakin tak berisi ini, hahaha." Thau memebereskan beberapa bajunya ke dalam koper, saat ini ia berada di hotel untuk segera pergi. Ya, dia akan kembali ke Munchen. Rencana satu bulan lagi di sini ia putuskan secara sepihak, tidak bisa menunggu lebih lama. Semakin lama di sini semakin ia tidak bisa mengontrol perasaannya. Perasaan ingin memiliki.

"Tapi Tuan, bagaimana dengan kepemilikan perusahaan di sini? Apakah Tuan Aldo sudah diberitahukan?"

"Aldo akan datang lima hari lagi. Ia akan dibantu beberapa orang kepercayaanku di sini. Tenang saja, Anoel pasti akan membantu anak itu."

"Lalu Tuan, apa kau yakin untuk belajar itu?"

"Tentu saja. Bukan kah selama ini kamu yang mengahasutku," seringai Thau.

"Eh, itu bukan maksud saya--" Albert tergagap.

"Tidak apa. Aku tahu maksudmu. Ketenangan bisa kamu dapatkan Albert. Aku yakin aku pun pasti begitu. Selama ini kamu tahu bukan, aku selalu mempelajari sedikit demi sedikit tanpa sepengetahuan yang lain. Ya, dan aku mau belajar lagi, meyakinkan hatiku sendiri." Thau tersenyum teduh.

"Jika itu memang keputusanmu, aku akan selalu mendukung Tuan."

"Ya, harus itu. Kamu sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Cepatlah kamu persiapan supaya dapat segera pergi nanti malam. Oh iya titipkan salamku pada Anoel nanti, kirim email padanya."

"Baik, Tuan."

Ini jalan terbaik menurut Thau. Hatinya memang masih terpaut di sini. Namun, akan semakin menjadi salah jika ia harus tetap mempertahankan perasaan ingin memiliki ini. Ia takut menghancurkan kebahagiaan orang yang dicintainya. Ia berharap, kalau tidak berjodoh di dunia bolehkah ia meminta berjodoh di kehidupan lain.

Terkadang kita dipertemukan dengan orang yang kita inginkan bukan untuk disatukan, tapi hanya untuk persinggahan, pelajaran untuk hal di depan.

Kamu, Abu Thalhah-KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang