🍃MCD-27👉Kami Bersaudara👫👈🍃

1.2K 72 4
                                    

Rumahnya tidak terlalu besar. Mungkin jika dibandingkan dengan ruang tamu di rumahnya ukurannya sedikit mirip. Hanya saja suasananya menenangkan. Mungkin karena banyak pepohonan dihalamannya. Ia mendorong pelan pagar kayu itu seperti yang Rizal lakukan pertama. Motornya di simpan di samping pohon... jambu? Pohon apa itu?

"Masuk," Rizal membuka pintu dan membuka sepatunya yang langsung diikuti Agatha di belakangnya. Di luarnya terdapat kursi rotan yang bersebelahan tepat dengan pintu masuk berwarna hijau daun. Rizal menyimpan tasnya di atas kursi yang bersebrangan dengan yang diduduki Agatha. Sepertinya semua kursi di sini terbuat dari bahan dasar rotan. Bedanya jika kursi di luar tidak memiliki bantalan, di sini kursinya lebih empuk karena dengan bantalan.

"Jeruk atau melon?" Rizal kembali dari dalam kamar yang tepatnya persis di sebelah kanan. Rizal sudah mengganti seragamnya dengan kaos hitam polos dan celana senada. Ia ikut duduk dengan Agatha yang masih belum mengeluarkan sepatah katapun semenjak kakinya menginjak halaman rumah. Lalu matanya tertuju kepada tas berwarna pink di sudut ruangan, tergantung dengan beberapa ikat pinggang dan kemoceng. Dilihat dari manapun itu jelas tas seorang gadis belia, bukan tas milik ibunya.

"Lo punya ade?"

Rizal sedikit mengernyitkan dahi namun menjawab setelahnya, "iya," untungnya jawabannya adalah sesuatu yang Agatha inginkan. Bayangkan jika Rizal menjawab 'nggak'. Mungkin akan ada acara misteri di rumah ini. Taplak meja mulai melayang di udara. Kaca depan pecah dan kursi menjadi alasannya. Meja terbanting dan rumah ini kebakaran. Lalu masuk media dengan judul. 'Di duga cemburu akibat melihat tas perempuan, gadis ini tega membakar habis rumah sang pacar.'

Tidak. Tidak. Itu imajinasi laknat Agatha saja.

"Kelas berapa?"

"Harusnya sama kayak kita,"

"Kita?" Rizal mengangguk. Agatha hampir lupa jika Rizal lebih tua darinya dua tahun. Ia mengangguk mulai memahami sambil memainkan taplak meja, ujungnya diplintir. Jika dipikir-pikir ya, kalau kalian suka mikir, Agatha ini orang yang tidak sopan. Menyebut Rizal dengan panggilan lo bukannya kak atau abang atau mas atau aa tau apalah itu panggilan yang lebih sopan dibanding la lo la lo.

"Jeruk atau melon?" Rizal kembali menawarkan.

"Kamu," lalu Agatha cekikikan. Kadar ketidakwarasannya mode on. Mungkin karena senang mendapati fakta Rizal tidak seperti yang dulu ia pikirkan bersama Anissa. Tanpa sadar Rizal berlalu ke belakang, mungkin dapur? Sedangkan Agatha masih dengan jari yang memelintir sisi taplak dan masih tersenyum-senyum gila. Lalu terdengar bunyi 'prang' yang khas. Sepertinya ia pernah mengalami-mendengar suara ini. Buru-buru Agatha menghampiri asal suara.

"Yaampun!" Rizal sedetik melirik Agatha lalu kembali ke jari manisnya yang berdarah.

"Lo berdarah Jal?" Rizal ingin mencaci, tapi terlalu sayang.

"Ya siapa juga yang bilang si Rizal kesambet Tha?!" Jadi aku yang wakilin '-' :v.

"Iiihh, sini gue bersiin," Agatha hendak mendekat namun suara Rizal terlebih dulu menginterupsi.

"Jangan! Diem di situ." Rizal membawa kakinya ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya. Tanpa sadar, Agatha mengikuti.

"Iiihh, masih darahan." Ia mengernyit, memandang jari Rizal dengan tatapan mual-jijik. "Gue mau ngemutin jarinya biar romantis gitu tapi gue liat darahnya aja mual. Gimana dong Jal?"

Rizal mengibaskan jarinya lalu mengelapnya sampai kering. Tatapannya tertuju pada jejak kaki yang berakhir di pintu kamar mandi. Dan yang membuat Rizal memelotot adalah jejak yang diikuti warna merah pekat.

"Kamu nginjek beling?"

"Hah?"

Kemudian Agatha digiring ke kursi dan didudukkan. Rizal mengangkat kakinya dan bernafas lega. "Bukan darah kamu," embusan napasnya kembali normal.

Mereka sudah kembali duduk di tempat semula. Dengan minuman jeruk dan beberapa potong buah kiwi. Di rumah tidak ada makanan apapun selain beberapa buah kiwi yang nampaknya sudah peyot. Tapi tak apa asal dimakan berdua. Agatha jika berada di dalam kartun pasti kepalanya sudah dikelilingi tanda hati yang banyak. Berputar-putar mengelilingi Agatha dengan peri-peri kecil menaburkan bubuk kebahagiaan di-

"Treat you better," kata Rizal tiba-tiba.

"Hah?" Siapa yang tidak kaget coba. Tidak ada obrolan apa-apa sebelumnya tiba-tiba Rizal mengeluarkan kata demikian yang membuat Agatha nyaris berteriak adalah Rizal yang jongkok di hadapan Agatha dengan mengatakan.

"Better than he can,"

"Idih lo ngomong apaan sih? Mau buat gue baper ya? Pake acara nekuk kaki di hadapan gue lagi. Oh jangan-jangan lo mau ngela-"

"Judul lagu yang kamu cari kemarin," Rizal kembali bangkit setelah mengambil garpu yang terjatuh ke bawah. Kapan garpu itu jatuh? Bangcad. Agatha keegeran sekarang.

"Treat you better," Rizal mengulangi.

"Eh anjay gue kira lo mau lamar gue," Agatha mencibir.

"Lamar?"

"Udah ah nggak penting. Eh tapi liriknya kok bisa gitu ya? Badak dan ikan,"

"Better than he can, Tha bukan badak dan ikan."

"Donlotin dong Jal. Kuota gue belum diisi. Uang gue udah mau abis. Papi belum pulang jadi gue nggak ada duit," Agatha menyengir lalu Rizal membuka ponselnya dan terciptalah nada fals dari bibir Agatha. Suara indah Shawn Mendes hancur oleh seorang fan abal yang hanya tahu lirik 'badan dan ikan' nya saja. Tanpa sadar Rizal terkekeh di sampingnya.

"Capek Jal, ehehe," Agatha meneguk minumnya dan kembali terdiam. Begitupun Rizal.

Sekian menit keduanya terdiam, lalu kemudian dikagetkan dengan orang yang membuka pintu rumah dan ucapan salamnya. Mata Rizal membulat sempurna menyadari seseorang itu mendekat ke arah mereka.

Loh?

Lalu Agatha menyusul dengan pelototan yang sama di sana. Berdiri dari duduk, Agatha menyeletuk.

"Lo ngapain di sini?" Agatha menunjuk wajahnya.

Lalu orang itu seperti tersengat listrik atau jatuh dari kamar mandi dan bokongnya terbetur kramik licin. Mukanya pucat dengan kedua bola mata dan mulut menganga.

***

"Lo ngapain di sini?" Agatha bingung setengah mati saat melihat Mira masuk ke rumah ini dengan santainya. Dari gelagatnya pun Mira bukan seperti orang yang hendak bertamu. Ini seperti.... rumahnya sendiri.

"Dia adik aku,"

"Dia abang gue,"

Jawaban serempak mereka Agatha balas dengan kata 'hah' keras-keras. Agatha bergantian memandang Rizal dan Mira meminta siapa saja untuk menjelaskan kebingungan ini.

"Bibi mana?" Mereka malah saling diam. Mungkin dengan menanyakan bi Mirna bisa membuat Agatha mengerti sejelas-jelasnya dari pada meminta dari kedua orang ini percuma. Tidak ada yang bersuara.

"Bibi mana Mir?"

"Anu-"

"Anu lo kenapa? Jadi pada bisu sama gagu ya sekarang,"

"Kenapa sih, apa yang mau kamu tanya?" Rizal yang menjawab.

"Bibi ke mana?" Agatha mengulang pertanyaan yang sama.

"Di rumah sakit." Kali ini Mira yang menjawab. Agatha segera mengambil tasnya dan berdiri di hadapan mereka yang masih duduk.

"Anterin ke sana,"

"Nggak bisa sekarang,"

"Ibu nggak bisa dijenguk dulu,"

"Kenapa sih kalian kayak nggak mau banget gue tahu tentang semua ini?"

Rizal berdiri dan memegang lengan Agatha, "nggak kayak gitu Tha,"

"Terus kayak gimana?" Ia menarik diri dan kembali duduk diikuti Rizal.

"Kalian jago banget nyembunyiin hal gede kayak gini, kalo gue jantungan gue udah mati tahu." Kalimat sarkasnya tepat mengenai kedua sasarannya. Mira yang memandangnya sambil menggeleng dan Rizal yang hendak mengambil tangan Agatha lagi. Namun Agatha terlebih dulu meninggalkan mereka. Keluar dari ruangan yang membuat matanya tak henti mengerjap. Waw.

***

My Crazy Daughter|✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang