🍃MCD-22👉Ini Beneran?😮👈🍃

1.1K 82 7
                                    

Rizal memilihkan baju yang dikiranya cocok untuk sang pacar. Mmhh, mungkin dress tanpa lengan adalah salah satu pilihan yang cocok. Untuk saat ini.

"Iihh nggak mau ah. Itu kan baju buat cewek,"

"Kamu juga cewek Tha,"

"Nggak ah. Kaos aja deh kaos. Yang ijo tuh yang itu, Mbak," ia menunjuk salah satu pakaian santai ala rumahan yang diminta pada sang pelayan.

"Nggak boleh,"

"Iss, Ijal lo mah ih, kok maksa sih?" Rizal masih memegang dress cerah itu di tangannya saat melihat Agatha cemberut.

"Coba dulu, kalo nggak suka nggak jadi beli," bujuknya.

"Nggak suka kok. Nggak suka,"

"Coba dulu sayang," ia menyerahkan dress serta sebuah senyuman lengkap dengan usapan di kepalanya.

"Yaaaahhh, senjata andalan lo mah pake sayang sayangan,"

Agatha masuk ke ruangan ganti bersama pelayan tadi.

"Eh bisa sendiri kok Mbaknya. Nggak usah dianter segala," tolak Agatha halus kepada si perempuan yang mengekorinya. Gini gini Agatha juga bisa berperilaku lembut ya teman-teman.

"Itu di belakangnya ada kancing-kancingnya, takut susah,"

Agatha bimbang.

Selesai dengan pencobaan dress selututnya, Agatha duduk kembali dengan seragam olahraga di sebuah kursi dan sebuah minuman buah di tangannya. Rizal sedang membayar di sudut sana.

"Wah, parah Mas. Tubuhnya penuh memar. Ah, di lutut kirinya juga ada luka. Punggung sih yang paling biru sedikit bengkak juga. Sama satu lagi dibagian pundak. Saat saya bantuin copot bajunya ada goresan merah panjang. Lebam gitu deh. Eh btw, makasih ya ini uang tambahannya,"

***

Bagaimana mungkin dia bisa menahan semua itu sendirian? Bagaimana mungkin gadis tengil yang terkadang terluka setitik jarum saja sudah mengaduh, menangis. Tapi ini, sangat sulit dipercaya ia bisa menahan semua beban dan lukanya seorang diri?

Manja.

Pecicilan.

Cengeng.

Semua itu sudah melekat dalam dirinya. Namun seakan tak menghiraukan itu semua. Hanya dalam hitungan hari saja gadisnya menghapus anggapan semua di atas. Tak ada pesan atau telpon darinya. Tak ada juga rengekan manja ingin diantar pulang seperti biasa. Tak ada ocehan tak jelas tentang laki-laki dari negeri gingseng. Tak ada curhatan tentang hal sepele yang ada diharinya. Tak ada. Dan sekarang, lihat. Betapa sesaknya dada seorang Rizal mengetahui ia terluka tanpa bercerita. Luka yang ditutupinya seakan aman terjaga rahasia. Tak ada satupun yang menganga. Hanya dirinya yang berduka. Sial! Kenapa dia sampai kecolongan begini?

"Mau pulang sekarang?" Pertanyaannya ini langsung menghentikan gadis yang sedari tadi mengaduk minumannya dengan sedotan lalu menoleh dengan senyuman jenakanya kembali.

"Jam berapa emang ini?"

"Lima lebih,"

"Emang kalo gue mau lebih lama di sini lo bakal nurutin?" Lalu menaik turunkan alisnya sambil tersenyum. Namun yang terjadi selanjutnya membuat Agatha membulatkan bibir tak percaya.

"Woaaaahhhh, pacal aku ini kesambet apa ya? Kok jadi baik banget sih sekalang?" Baca itu dengan nada kekanakan. Ia menguwel-uwel pipi Rizal yang hanya diam sambil memegangi kedua sisi tubuh Agatha yang masih sibuk bergerak kesana kemari.

"Pulang aja deh," tarikan di pipinya terlepas diikuti helaan napas ringan.

"Kenapa?"

"Ini lagi, kenapa, kenapa, kenapa terus dari tadi perasaan. Kenapa apanya? Gue baik. Gue kan anak baik. Jadi gue baik-baik aja. Kenapa sih?" Ia semakin intens menatap Rizal dengan kedua tangan yang memangku dagunya. Melihatnya, Rizal semakin merasa ia lelaki tertolol dimuka bumi. Ia lalu mengusap pelan puncak kepala Agatha yang seketika membuat kedua matanya membola.

"Masih belum mau cerita, hm?"

"Apanya yang perlu diceritain? Tenang. Hati gue mah aman kok, hahaha,"

Ini akan terlihat kurang ajar. Tapi ia harus melakukannya. Menarik Agatha ke dalam peluknya, ia membuka sedikit bagian belakang bajunya dan benar. Lebam keunguan tercetak di sana.

Agatha buru-buru menarik diri dari dekapan Rizal dan membenarkan bajunya kembali.

"Apaan si lo ih. Nggak sopan!" Tapi Rizal lebih dulu menariknya kembali dalam dekapan. Mengunci tubuhnya dengan pelukan hangat yang lembut. Mengusap belakang tubuhnya hati-hati takut mengenai luka yang entah berapa banyak tercetak di sana.

"Ini kenapa lagi meluk-meluk?" Tapi gadis itu tidak memberontak. Ia hanya diam menikmati kenyamanan yang disuguhkan. Suaranya tercekat. Tertahan sesuatu yang kini mengalir dari matanya. Dengan Rizal yang masih setia memeluk.

Agatha masih ingat malam itu. Malam mengerikan setelah bertahun-tahun berusaha ia lupakan. Malam di mana ia menanyakan sang Ibu. Malam di mana sesak itu tak lagi bisa ia tahan. Malam di mana Mike menjadi buas kembali.

"Aku tahu Ibu belum meninggal," kata-kata itu membuat Mike kalap. Ia menggunakan botol semprotan pengusir nyamuk yang ada didekatnya lalu melemparkan itu pada anak satu-satunya. Tepat mengenai wajah. Namun Agatha masih mempertahankan keinginannya.

"Ibu selalu kirim Email. Asal Papi tahu, setiap malam aku nggak nonton drama. Aku buka Email dari Ibu," Mike semakin menjadi. Hingga malam penuh sesak juga kesakitan itu berlanjut saat Agatha menjawab dengan lirih,

"Papi jahat,"

Lalu keesokan paginya, Agatha membuka mata dengan pemandangan kamar yang tidak bisa disebut lagi sebagai kamar. Pecahan barang di mana-mana. Kaca yang remuk itu adalah cermin besar yang menempel pada lemari Agaha juga lebur bersama darah yang mengering disetiap tubuhnya. Dan jangan lupakan lelehan air mata dari seorang gadis yang sekarang mungkin sekarat.

Namun hari ini ia harus sekolah. Menyaksikan juga mengikuti pencoblosan untuk Osis satu periode ke depan. Dan juga untuk melihat sang pujaan.

"Nangis kalo kamu mau nangis. Pukul aku agar tahu rasanya sakit yang kamu alami," namun gadis dalam rengkuhannya bergeming. Ia lebih memilih menghirup aroma yang selalu ia suka. Pipinya hangat menempel pada rahang tegas cowok itu. Membawa perlahan tangan yang sedari hanya diam ke atas. Mengalungkan keduanya pada pundak lelaki yang saat ini dengan setia menepuk pelan punggungnya.

Sakit di sana jadi nggak berasa Jal. Makasih. Tapi ini keputusannya.

"Ayo udahan Jal,"

"Heh?"

"Iya udahan. Ayo kita putus,"

Rizal melepaskan tangannya dari punggung Agatha setelah sebelumnya Agatha terlebih dulu mendorong pundaknya.

"Udahan yuk, capek," gadis itu benar-benar gila. Bahkan dengan ucapan seperti itu ia masih tersenyum jenaka.

"Kamu terlalu lelah. Ayo pulang," seakan meniadakan ucapan Agatha sebelumnya, Rizal menariknya agar pergi dari sana. Tapi tangannya ditahan sesuatu. Tangan lain.

"Gue mau putus. Bukan pulang," Agatha mendongkak melihat Rizal yang sudah berdiri di depannya. Lalu melanjutkan.

"Udahan ya?"

"Ayo pulang. Kamu semakin melantur," ia kembali menarik Agatha agar bangkit dari duduknya. Lalu membawa kembali gadis itu dalam pelukannya. Bahkan ia tak pernah menyadari bahwan sebuah pelukan bisa semenyenangkan ini.

***

Minggu, 23 Juni 2019
Minhosday. Eh kemaren deng. Ahihi

My Crazy Daughter|✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang