MBIAG -18-

6.1K 486 90
                                    

Sudah tiga hari semenjak kejadian di taman waktu itu. Membuat dua sejoli yang sebenarnya saling peduli dan mempunyai ikatan itu seperti orang yang sedang patah hati dan layu.

Antonio hanya diam menatap kosong satu sosok wanita yang selalu membuat hatinya resah. Si wanita yang sejak tadi Antonio tatap itu hanya diam tak bergeming atau pun merespon celotehan ketiga sahabatnya yang terus saja bercerita satu sama lain.

Antonio menundukan kepala. Merasakan matanya yang tiba-tiba memanas saat melihat wanita pujaan hatinya hanya diam dan melamun. tidak ada senyum ceria ataupun tatapan mengemaskan yang Alina tunjukan lagi. Alina seolah bukan Alina, dirinya hanya berdiam diri dengan mata panda bengkaknya dan sesekali hanya senyum kecil yang Alina tunjukan saat merespon cerita abstrak ketiga temannya.

Suasana kantin siang ini tak begitu penuh seperti pagi hari. Hanya beberapa murid yang hilir mudik, membuat Antonio semakin leluasa menatap wajah Alina.

Antonio tau. Dialah yang membuat wanitanya bersedih seperti sekarang ini. Tapi ia pun juga bingung, jalan mana yang harus ia pilih. Jujur atau tetap bungkam seolah tak terjadi apa-apa ?.

Antonio bangkit dari duduknya. Dengan perlahan berjalan menghampiri meja yang Alina duduki bersama ketiga temannya.

“Hay...” sapa Antonio cengung.

Maura, Indah, dan Mega menengok kearah sumber suara. Tapi tidak dengan Alina, dirinya hanya berdiam diri dan tak mengubris seseorang yang kini berada di sampingnya tepat.

“Boleh gabung...” tanya Antonio pelan.

“Iya” Anguk Maura, Indah, dan Mega bersamaan.

Setelah mendapat ijin, Antonio pun duduk di kursi kosong tepat di samping Alina yang hanya diam dan sesekali memaikan es teh yang ada di depannya.

“Em... Al, gua..”

“Girls aku duluan ya” ucap Alina datar, beranjak dari duduknya. Mengabaikan perkatan Antonio ya belum selesai. Saat hendak melangkah kan kakinya tiba-tiba tangannya di cekal oleh Antonio.

“Al... badan kamu panas. Ayo aku antar ke....”

“Gak perlu, gua bisa sendiri” ucap Alina datar menepis tangan Antonio yang tadi sempat mengengam pergelangan tangan Alina.

Maura, Indah, dan Mega hanya saling pandang satu sama lain. Sesekali mengerutkan kening saat mendapati reaksi dari Alina.

“Astaga. Badan kamu panas Lin, udah yuk ke uks aja” Mega yang berada di samping Alina dengan sigap langsung mengecek tubuh Alina yang betul memang sedikit panas itu.

“Gak... aku gak papa” ucap Alina memberi senyum kearah Mega.

“Engak! Ini gak bisa di biarin, kamu tetep harus ke uks” Indah berdiri dari duduknya dan langsung merangkul tubuh Alina begitupun dengan Maura dan Mega.

Antonio hanya diam, menatap sayu kearah Alina yang kebetulan memang sedikit pucat itu dan membiarkan ke empat gadis itu pergi.

***

Flashback on.

Renata berjalan tergesa-gesa memasuki pekarangan rumah yang sudah ia anggap seperti rumah kedua baginya. Pikirannya kacau berharap tidak terjadi apa-apa dengan sahabatnya.

Alina sangat aneh hari ini. Tadi pagi dia terlihat sedih, siangnya dia marah-marah tidak jelas dan sore ini dia bilang tubuhnya panas.

Tanpa mengetok terlebih dahulu Renata segera membuka pintu dan berlari menuju kamar Alina. Renata membuka pintu dengan perlahan dan melihat Alina sedang meringkuk dikasur dengan selimut ditubuhnya. Alina terlihat membuka matanya dan tersenyum tipis pada Renata. “Manis” gumam Renata.

"Em, kamu engga apa-apa?" Tanya Renata perlahan lalu duduk dikasur.

"Pusing, Ren." Jawab Alina pelan. Renata meletakkan tangannya di dahi Alina lalu beralih ke leher jenjangnya.

"Suhu kamu lumayan panas. Ke dokter ya?" Tawar Renata sambil mengelus pipi Alina lembut. Refleks Alina memejamkan mata, menikmati elusan dipipinya.

Alina menggeleng pelan dan bibirnya terlihat menggumamkan sesuatu, sesekali bibir mungilnya melengkung keatas menikmati usapan tangan Renata.

"Aku panggilin Om Edo supaya ke sini ya? Nanti kamu malah tambah sakit." Ucap Renata.

Alina tersenyum tipis dan membuka matanya, "Kamu khawatir?" Tanyanya pelan. Renata mengerutkan alis, dalam diam ia langsung mencium pipi cubby milik Alina.

"Yaiyalah aku khawatir sama kamu, Al. Kamu kan sahabat aku. Aku panggilin Om Edo ya?"

"Iya..."

Renata merogoh handphone dari saku celana yang ia kenakan lalu mencari nomor Om Edo dan memanggilnya.

"Halo, Om."

"Ada apa, Ren?"

"Alina sakit. Bisa ke rumah gak om?"

"Iya bisa kok. 15 menit lagi Om sampe."

"Oke. Hati-hati, Om."

Renata memutuskan panggilan telpon lalu menyimpan handphone di nakas.

"15 menit lagi Om Edo sampe." Ucap Renata.

Alina mengangguk, "Ren, pengen peluk dong." Pinta Alina manja. Renata mengulum senyum, dengan suka rela Renata langsung mengiyakan permintaan Alina.

"Apa aku harus sakit dulu ya, biar tiap hari di peluk kamu kaya gini?" Tanya Alina sambil menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Renata.

"Maksudnya?"

"Aku pengen di peluk sama kamu kaya gini. Tiap hari kalo bisa. Bukan saat aku sakit doang." Jelas Alina pelan.

Renata bungkam. Gelenyit di dalam perutnya tiba-tiba berdesir seperti ingin meledak keluar.

"Jadi kamu ketagihan buat meluk badan aku gitu?" Tanya Renata membelai kepala Alina sayang.

"Hmm..." Gumam Alina. Sesekali menghirup aroma leher Renata. Membuat sang empunya sedikit merasa geli.

"Em, nafas kamu tuh. Geli tau..." Ucap Renata.

"Kamu wangi, Ren." Balas Alina tanpa beban.

"Bilang aja kecanduan aroma tubuh aku."

Alina tertawa pelan, "Tau aja...

TING TONG

"Aku bukain pintu dulu ya?" ucap Renata dengan suara pelan.

"Jangan lama-lama." Renata tersenyum mendengarnya lalu melepaskan pelukannya dan berjalan membukakan pintu. Renata membukakan pintu dan melihat wajah Edo yang sedang tersenyum tipis.

Renata membalas senyumnya, "Hai, Om. Silahkan masuk." Ucap Renata ramah.

"Masih sama kaya dulu." Ucap Edo sambil tertawa pelan.

“Maksud om” Renata mengerutkan kening menatap heran wajah Edo yang sekarang tengah tersenyum penuh arti.

“Gak ada...”

"Em....Sini Om kamarnya Alina." Ucap Renata lalu menunjukkan dimana kamar Alina dan Edo masuk kedalam dan melihat Alina sedang bersandar pada kepala tempat tidur sambil tersenyum.

"Hai ponakan Om yang cantik." Ucap Edo lalu mencium pipi Alina sekilas.

"Ugh, kamu panas." Gerutu Edo.

"Om nih kebiasaan deh cium-cium pipi aku." Ucap Alina cemberut.

"Biarin dong. Jarang loh yang dapet ciuman Om ini, yah walaupun Om udah kepala empat, tapi tetep ganteng kan?" Celetuk Edo tak lupa mengedipkan sebelah matanya.

"Pede banget. Ingat umur om..." celetuk Renata dari belakang tubuh Edo.

Edo tersenyum simpul menangapi celetukan Renata.

“Kok sepi. Kemana yang lainnya?” tanya Edo sambil membuka resleting tas yang ia bawa.

“Kaya gak tau mama sama papa aja sih om. Mereka kan sibuk” ucap Alina datar.

"Em, om. Mending Alian di periksa dulu." Ucap Renata mengalihkan pembicaraan.

Edo mengangguk lalu tersenyum menatap Alina.

"Alina. ponakan Om yang cantik, kamu tuh jangan kecapekan dong, jangan banyak pikiran, jangan lupa makan dan jangan bla...bla..bla..."

"Duh Om, berisik banget ih." Gerutu Alina sambil menutup kedua telinganya.

"Ih, Om tuh berisik karna sayang sama kamu, karna peduli sama kamu, karna khawatir sama kamu, kamu tuh dibilangin ngeyel amat sih, biar kamu bla...bla....bla..."

Renata berdiri memperhatikan dua orang yang satu berceramah dan yang satunya lagi terus-terusan mengumpat. Renata melipat tangan didada dan menatap tajam pada mereka berdua.

"A....eh duh aaa...Alin..." Edo terlihat buru-buru membereskan peralatannya lalu tersenyum kaku kearah Renata.

"E...itu...Om lupa kalau sekarang Om ada janji sama istri Om. Jadi...Om pulang dulu yah..." Dan setelah berbicara itu, Edo keluar dari kamar dengan langkah terbirit-birit.

Saat itu juga tawa Renata meledak. “Dasar. Sudah kepala 4 tapi kelakuan seperti abg labil...” gumam Renata mengelengkan kepala.

Renata menyeka air mata yang sedikit keluar karna terlalu banyak tertawa melihat tingkah Edo yang menurutnya lucu.

"Om Edo lucu. Tapi nyebelin juga." Ucap Renata setelah tawanya berhenti.

"Eh tapi kan Om Edo belum ngasih resep obat buat kamu !" ucap Renata setelah kepergian Edo.

"Aku inget kok obatnya apa."

"Untung aja..."

Renata membuka jumper miliknya lalu membuangnya ke sofa. Meningalkan singlet hitam yang  kini masih bertenger pada badan tanpa body miliknya. Setelah itu Renata kembali berbaring dengan posisi seperti tadi. Dan seperti biasa, Alina akan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Renata.

"Al, kamu tuh cantik. Tapi kok gaada yang mau jadi pacar kamu ya?" Tanya Renata sambil tertawa.

Alina memukul dada Renata pelan, "Terus kenapa engak kamu aja yang jadi pacar aku?"

Renata terdiam mendengar kata-kata yang baru saja Alina ucap tadi. Tak merespon ataupun menyahuti celotehan Alina barusan.

"Ren, kamu sayang gak sama aku?" Tanya Alina kembali.

Renata masih diam.

“Ren, kok diem? Kamu gak sayang ya sama aku”

“Eh gak gitu...”

“Lalu..”

"Aku juga sayang sama kamu Al, sayang banget malah. Kamu kan sahabat aku"

“Makasih ya Ren.... aku bahagia punya kamu” ucap Alina dan langsung memeluk erat tubuh Renata.

Flashback off.

***

Antonio bangkit dari duduknya. Mengabaikan alaram-alaram peringatan yang memenuhi kepalanya. Berjalan cepat menuju uks dengan mata memerah menahan tangis.

Bahkan sesekali dirinya tak sengaja menabrak siswa ataupun siswi yang kebetulan berpapasan dengan jalannya.

Membuka pintu uks dengan tak sabaran sehingga menimbulkan bunyi brakk pada pintu tersebut, membuat dirinya seketika langsung menjadi pusat perhatian. Tak terkecuali Alina yang juga menatapnya datar.

Antonio mengabaikan tatapan tak suka dari beberapa orang yang berada di uks. Dengan perlahan kakinya melangkah menuju tempat dimana Alina berbaring.

Tanpa perintah Antonio langsung memeluk tubuh Alina. Membuat ketiga gadis yang kebetulan juga masih di situ saling adu pandang dan sedikit heran dengan perlakuan Antonio yang tiba-tiba langsung memeluk tubuh Alina.

Alina hanya diam, tak menolak ataupun membalas pelukan sepihak dari Antonio. Alina hanya berdiam diri menatap lurus kedepan.

“Ini aku. Aku kembali. Aku Renata.....” bisik Antonio di sela-sela pelukan sepihaknya pada tubuh Alina.

**** H ***


Satu gadis dan dua orang pria tengah duduk bersandar pada sofa merah milik negara itu. Bau obat dan pembersih lantai sangat mencolok di indra penciuman mereka.

Gadis yang berada di tengah itu dengan manjanya menyandarkan separoh berat badanya kearah pria berbaju rumah sakit yang tepat berada di samping kirinya.

“Apa ini akan berhasil ?”

“Entah....” gumam laki laki berbaju rumah sakit dan sesekali mengelus lengan sang gadis.

“gua rasa kita sudah berhasil menyatukan mereka” ucap laki-laki satunya.

Gadis yang tadi menyandarkan tubuhnya perlahan-lahan beranjak dari sofa. Berdiri membelakangi dua pria yang duduk di sofa. Menatap lurus pada kaca tembus pandang di depannya.

“Terimakasih karena kalian sudah banyak membantu” ucap laki-laki berbaju rumah sakit.

“Sudah banyak pengorbanan yang kita lakukan. Kuharap adek bodohmu itu tak menyia-nyiakan kesempatan yang kita beri” ucap laki-laki berperawakan tampan di sambing laki-laki berbaju rumah sakit itu.

“Aku tau. Dia sangat keras kepala, jika aku tak masuk rumah sakit karena kasus pembullyan yang kita rencanakan ini mungkin dia sampai kapan pun tak akan pernah menginjakan kakinya di sini lagi”

“Iya. Dan sialnya yang membully lo itu gua, dan semua orang sekarang sudah mengutuk gua karena rencana konyol lo itu”

“Sorry. Dan thanks Dim” laki-laki berbaju rumah sakit mendekat dan memeluk laki-laki di sampingnya.

Sementara sang wanita, dirinya hanya berdiam diri dengan segala pemikiran yang hanya dia dan Tuhannya yang tau.






*

*

*

Perlahan-lahan gua bongkar teka-teki ini. jadi udah pada paham apa masih pusing.... ... jangan tanya Dea karena Dea itu cantik dan juga sexsy. hhhhhhh

*pic di atas DEA





MY BOYFRIEND IS A GIRL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang