Sheila
Senja terdiam beberapa saat setelah mendengar permintaan gue. Mungkin memang terdengar sedikit random dan asal. Tapi kali ini, gue serius soal ucapan gue yang meminta Senja untuk memasangkan gue dengan Bima.
Because you know, Exy.
Exy sepertinya benar-benar tertarik untuk mengenal Senja lebih jauh. Jadi, sebagai sahabat yang baik, gue nggak mau mengecewakan orang yang sudah gue anggap seperti saudara sendiri. Orang yang sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup gue selama ini.
It's not an easy thing to deal, I know. Gue juga nggak ngerti kenapa gue bisa jadi sejauh ini dan malah menjerumuskan diri sendiri ke lubang yang gue nggak tahu apa isinya.
But, who knows? Siapa tahu Senja juga lagi butuh seseorang yang bisa menganggapnya bukan sebagai teman. Seseorang yang tentu saja bukan gue. Selain gue, Sheila.
Kata Linda Grayson, 'There is nothing better than a friend, unless it is a friend with chocolate.'
And you know? Exy came to me with the whole box of happiness. Dia yang paling mengerti selera gue, selalu bantuin gue tiap kali gue ditimpa kesulitan, dan Exy juga yang saat itu menampung gue waktu bokap stress berat.
I haven't talked about this with Senja. Tentang kondisi keluarga gue yang berantakan semenjak mama meninggal.
It was... a total mess.
Bokap makin sering mabuk-mabukan, berbuat kekerasan sebagai bentuk pelampiasan, dan kabur meninggalkan banyak utang sampai nggak ada satu keluarga pun yang mau membantu gue lepas dari semuanya.
You can guess already who the angel was. And yup, she was Exy. Exy dan segala kebaikannya yang mau menerima gue menjadi sahabat.
Terus, kalau sekarang gue mencoba balas budi, apa salah?
Nggak.
Yang salah itu sifat egois gue yang jarang muncul, tapi sekarang malah mendadak nongol ketika Exy meminta pertolongan gue yang sebenarnya tergolong simple.
Jadi, beginilah gue sekarang. Masih menunggu jawaban Senja di Cupid Cafe, pukul setengah sembilan malam.
"Lo serius, Sel?" tanya Senja, seolah masih ragu dengan permintaan gue yang memintanya untuk mendekatkan gue dengan Bima.
"Emang gue keliatan lagi kayak bercanda?"
Senja menarik napas, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi yang dia duduki.
"Ya lo kan, serius sama bercanda mukanya nggak ada beda."Gue menjitak kepala Senja sampai laki-laki itu mengaduh kesakitan. "Ampas lo, Sen."
Senja malah tertawa. Tapi tak lama, laki-laki itu kembali menatap gue tepat di mata.
"Hmm, ya udah. Terserah lo kalau memang mau serius. Entar gue usahain deh, biar kalian deket," ucap Senja malas-malasan.
I should be happy, right? Harusnya. Tapi, entah kenapa senyum yang gue pasang sekarang berbanding terbalik dengan apa yang gue rasakan di ulu hati.
Rasanya sakit.
Senja dan Exy sama-sama menempati ruang special di hidup gue. Jadi sekali lagi, apa salahnya jika gue membiarkan dua orang itu menjadi satu?
Gue membalas ucapan Senja dengan sedikit tersenyum, dan laki-laki itu hanya merespons dengan menjulurkan satu tangannya, mengacak rambut gue perlahan.
"Oy Sheila, dicariin tuh sama temen-temen lo!" teriak Bayu dari arah pintu. Di belakang laki-laki itu, gue melihat Exy dan Bianca yang berjalan dengan raut bahagia sembari melambaikan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Untuk Sheila
Romance[SELESAI] Sheila dan Senja. Mereka ibarat yin dan yang, hitam dan putih, Sahara dan Greenland. Terlalu kontras dan berlawanan. Tapi, bagaimana jika ternyata konsep sebuah kenyamanan adalah sesuatu yang berlawanan? Han Seungwoo as Rajendra Purnama S...