8. Kalut

1K 170 105
                                    

A/N : Anggap aja double update

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A/N : Anggap aja double update

Senja

Gue membiarkan Sheila menangis sampai dia puas. Biarin deh, kaos polo gue basah. Toh, selama gue mengenal Sheila, nggak pernah gue melihat dia serapuh ini. Sejatuh ini.

Bahu Sheila masih sedikit bergetar saat perlahan tangisnya mulai mereda. Kedua tangan gue masih berada di pinggangnya, mendekap erat tubuh kecil itu.

"Udah mendingan, Sel?" Gue bertanya, mengangkat satu tangan gue untuk mengelus pelan rambut hitamnya.

Sheila hanya menggeleng pelan. Bisa gue rasakan di lekukan leher gue yang menghangat karena deru napasnya.

"Kenapa?" Gue bertanya lagi.

Mengangkat kepalanya, Sheila kini meletakkan dagunya untuk ditopangkan di pundak kanan gue. "Gue malu, muka gue pasti berantakan banget sekarang."

Astaga, Sheila! Bisa-bisanya di saat seperti gini malah bikin gue makin gemas.

"Halah, Sel, udah sering gue lihat muka lo berantakan. Sini, mau lihat lagi gue."

"Nggak. Jelek banget gue, Sen."

Gue tersenyum sambil pelan-pelan melepas pelukan, membuat Sheila mau tidak mau juga bergerak untuk memundurkan wajahnya.

Menangkup wajahnya sekali lagi, gue mencoba menghapus jejak air mata Sheila dengan mengusapnya menggunakan ibu jari.

"Iya sih, jelek banget muka lo ternyata kalau habis nangis gini."

Ejekan gue sontak berbuah sekali pukulan ringan di dada. "Sialan," sungut Sheila setelah puas melayangkan tinjunya.

Kami hanya bertatapan selama satu menit, dengan tangan gue yang masih berada di wajah Sheila dan tangan mungil gadis itu yang masih berada di samping pinggang gue.

"Maaf ya," ucap gue sekali lagi, karena memang cuma ini saja yang bisa gue lakukan selain memberikan sandaran untuk Sheila menangis.

Sheila menggeleng. "I told you it's not your fault, Sen. Nggak ada yang perlu dimaafin."

Pelan tapi pasti, Sheila menjatuhkan kepalanya di pundak kiri gue ketika kini kami kembali ke posisi semula.

Gue meluruskan kaki dan menyandarkan punggung gue kembali pada kaki sofa.

Tidak ada yang bersuara setelahnya. Hanya ada percakapan bahasa Jepang yang terdengar dari layar TV saat film yang Sheila pilih hampir mencapai klimaks.

"Gue seneng banget Sen, kita bisa ketemu lagi kayak gini," ucap Sheila tiba-tiba, membuyarkan semua keheningan di antara kami berdua.

Iya. Sama Sel, gue juga.

"Apalagi sekarang gue tambah ganteng ya Sel?" canda gue, sukses membuat Sheila mengangkat kepala dari pundak gue dan menatap gue dengan wajah datar.

"Mulai," balas Sheila, menyentil dahi gue lalu beranjak. "Gue mau bikin teh, lo mau juga nggak?"

Senja Untuk Sheila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang