Sheila
"Bu Sheila yakin banget nih, mau berangkat besok?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Bu Maudy sontak membuat gue mendongakkan kepala. Saat ini, gue sedang berada di ruangan HR untuk keperluan clearance, dan yang baru saja gue lakukan adalah menandatangani bukti kelengkapan fasilitas yang gue gunakan selama hampir tiga tahun bekerja di sini.
Menghela napas, gue meletakkan ballpoint yang baru saja gue pakai untuk menulis di atas meja, dan menatap mata Bu Maudy dari dekat.
"Penginnya sih istirahat dulu bu, tapi tiketnya udah keburu kebeli."
Bu Maudy terkekeh. "Ntar di sana ngekos?" tanya perempuan satu anak itu kemudian.
Gue menggeleng. "Kan, property di Batam ada apartemennya, HOD yang dari luar pulau dikasih fasilitas sama company."
"Wow. Pantes Pak James pengin Bu Sheila cepet-cepet pegang property di sana. Lha wong udah disiapin semuanya gini," respons Bu Maudy sambil menganggukkan kepalanya, berbicata dengan aksen Jawa yang begitu kental.
Gue hanya menanggapi dengan senyuman canggung sebelum akhirnya memutuskan untuk pamit dan menyudahi semuanya.
"Sukses terus ya Bu Sheila, jangan lupain kita-kita yang di sini. Terus, ntar kalau bu Sheila married jangan lupa juga undang-undang. Tapi nikahnya di Jakarta aja jangan di sana biar nggak berat di ongkos," celoteh Bu Maudy sambil memeluk gue, yang sukses membuat kedua pipi gue memanas.
"Masih jauh bu nikahnya, hilalnya belom kelihatan." Gue menjawab. Kalimat jawaban dari gue barusan malah disambut ledakan tawa yang keluar dari bibir merah bu Maudy.
"Ah masa?"
"Iya, bu. Beneran."
Bu Maudy memasang senyum mencurigakan dan membuat gue bergidik saat tiba-tiba sosoknya kembali mendekat dan berbisik tepat di telinga kiri gue.
"Bu Sheila, bilangin sama pacarnya kalau main jangan ganas-ganas. Itu, bekasnya kelihatan dikit," ucapnya, lalu mundur satu langkah, kemudian kembali tertawa.
Siaaaaallll!! Tuh kan, kelihatan!
"Bu Maudy mah..." Gue menutup wajah karena super malu, sementara ibu-ibu di depan gue ini masih saja tertawa dan membuat gue semakin ingin menenggelamkan diri di kolam renang lantai atas.
"Ya udah, ya udah. Aduh gemes banget Bu Sheila, jangan mewek dong."
"Nggak bu, saya nggak mewek. Permisi."
Gue melarikan diri dari ruangan Bu Maudy sambil menahan rasa malu, sementara Bu Maudy sendiri masih terbahak hingga terdengar sampai ke luar ruangan.
Benar-benar ya, Senja. Ngasih kerjaan gue melulu perasaan.
Masih sambil menahan rasa malu yang menjalar sampai ke ubun-ubun, di koridor menuju office gue malah berpapasan sama Daffa. Sosok tinggi itu berjalan santai dengan masih memakai jas hitam dan dasi merah yang melingkar di kerah kemejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Untuk Sheila
Romantizm[SELESAI] Sheila dan Senja. Mereka ibarat yin dan yang, hitam dan putih, Sahara dan Greenland. Terlalu kontras dan berlawanan. Tapi, bagaimana jika ternyata konsep sebuah kenyamanan adalah sesuatu yang berlawanan? Han Seungwoo as Rajendra Purnama S...