11. Keputusan

941 163 152
                                    

(a/n : tarik napas dulu sebelum baca)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(a/n : tarik napas dulu sebelum baca)

Sheila

Dua hari setelah Senja datang ke apartemen secara tiba-tiba, gue merasakan ada perubahan yang lumayan signifikan atas sikapnya ke gue akhir-akhir ini.

Senja jadi lebih... dingin?

Entah, gue harap dia cuma sekadar menjaga jarak aja tanpa ada maksud lain. Tanpa ada maksud untuk benar-benar menghindari gue atau apa pun itu.

I know that I'm in fault. Yes, I do.

Tapi ketika Senja menarik tangan gue dan nggak sengaja gue jatuh ke pangkuannya waktu itu, I knew that I was in danger. It's like... kalau gue nggak langsung menghindar dan bersikap rasional, gue bakal kalah. Dan gue nggak bisa mundur setelahnya.

Gue takut.

Jadi, gue rasa cukup gue saja yang tahu kalau perasaan gue nggak keruan saat jarak kami berdua kurang dari sejengkal. Senja nggak perlu notice, Senja nggak perlu tahu.

Berpikir kalau setelah itu gue bakalan bisa tidur nyenyak? Salah. Gue bahkan tahu jam berapa Senja pulang secara diam-diam, dari bunyi pintu yang berderit sekitar pukul lima pagi.

Setelah itu, gue cuma bisa menarik napas dalam-dalam, membuang semua sesak yang secara nggak sadar gue tahan selama Senja berada di sekitar.

Bian is right, gue denial. Nyatanya, saat Senja benar-benar pergi pagi itu, gue berusaha keras untuk menahan tangis. Air mata yang sejatinya telah menumpuk di pelupuk, mati-matian gue tahan dengan cara menggigit bibir bawah.

"Sheila?"

Gue mendongak, mendapati Bima yang menatap gue dengan raut khawatir.

"Nggak dimakan?" tanya laki-laki itu, sambil menunjuk pasta carbonara yang tanpa sadar gue sia-siakan.

Shit! Gue lupa kalau sekarang gue lagi sama Bima dalam rangka dinner di Rosso, dan pikiran gue malah terbang ke mana-mana.

"Astaga. Sorry, sorry." Gue merespons dengan kikuk.

"Mikirin apa sih?" Bima meletakkan sendoknya dan menopang dagu dengan satu tangannya, menatap gue seksama.

Apa gue harus bohong lagi? Mau sampai kapan gue jadi pembohong begini? Tapi, bicara jujur kalau gue lagi mikirin Senja juga nggak mungkin banget. Udah gila namanya.

Atau memang sebenarnya gue udah gila, tapi nggak sadar aja?"

"Kepikiran ikan di apart, Bim. Belom dikasih makan."

Jelas gue bohong. Memang sejak kapan gue pelihara ikan?

Bima terkekeh begitu mendengar alasan gue yang bisa dibilang terlalu absurd. "Ya ampun, Sheila. Gue kira lo lupa matiin kompor."

Senja Untuk Sheila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang