Sheila
Telepon dari Tante Mita seakan menjadi penyelamat sekaligus oase di tengah gurun, ketika perdebatan antara gue dan Senja mulai memanas.
Di seberang sana, gue bisa merasakan ada suasana gegap gempita karena akhirnya, setelah hampir empat hari tak sadarkan diri, Exy mulai membuka mata.Gue masih menggenggam ponsel ketika Tante Mita mengakhiri panggilan, dan Senja seketika melihat gue dengan raut penuh tanya.
"Sen, Exy udah sadar!" Gue berkata pada Senja, dan entah kenapa mata gue terasa panas. Mungkin sekarang, keduanya terlihat berkaca-kaca.
Ada raut lega begitu Senja mendengar ucapan gue. Satu tangannya terangkat untuk meraup wajahnya sekali, dan setelahnya, laki-laki di depan gue ini tersenyum bahagia.
Yes, we are happy now.
We are happy because Exy is finally awake. But we also are afraid because it means, we have to start telling her everything. Everything.
Raut bahagia dan lega di wajah Senja, mendadak terganti dengan ekspresi ragu dan gusar setelahnya. Pun gue, yang merasa seperti detak jantung yang semula normal, menjadi berpacu lebih cepat. Seperti menyambut sesuatu yang gue nggak paham, seperti memaksa gue untuk menghirup napas dalam-dalam.
"Thank God," ucap Senja, setelah menyibakkan rambutnya ke belakang. "Mau ke RS sekarang? Exit permitnya nyusul aja," ucapnya, seolah mengerti apa yang ada di dalam kepala gue.
"Lo nggak ikut?"
Senja berdecak sesaat. "Gue masih ada kerjaan buat ngurus event anniv. Ntar gue susul ya, after office," ucapnya, bergerak maju untuk mengelus pelan rambut gue.
Thank God, nggak ada siapa-siapa di sini, dan posisi kami membelakangi kamera CCTV.
"Gue duluan."
Senja tersenyum tipis sebelum mengangguk. Laki-laki itu memberi gue akses untuk keluar dari EDR menuju ruangan gue guna mengambil tas serta cardigan. Setelahnya, gue menuju front desk untuk memberi kabar pada anak-anak depan kalau gue izin setengah hari karena keperluan mendadak.
Senja will take care of my exit permission, jadi sepertinya gue nggak harus khawatir.
Memesan taksi online yang untung saja tidak perlu menunggu lama untuk datang, gue segera menuju rumah sakit. Tante Mita bilang kalau Exy kini dipindah ke ruang rawat biasa, dan itu membuat gue lega karena berarti, keadaannya sudah jauh membaik.
"Ruang lavender di sebelah mana ya, pak?" Gue bertanya pada satpam yang berjaga di pos depan. Bapak-bapak yang sekiranya berusia tiga puluhan ini lantas menunjukkan lorong yang harus gue lalui, lengkap dengan senyum sumringah yang tercetak di wajahnya.
"Dari sini, nanti mbaknya lurus aja mentok sampai ketemu IGD, belok kanan. Lurus lagi sampai ada papan penunjuk, ikutin papannya saja sampai ngelewatin taman yang ada air mancurnya. Nah, ruang lavender di lorong kedua setelah taman," ucap si Bapak yang bernama Syarif itu dengan tempo yang lumayan cepat, membuat gue susah payah harus mengingat dalam otak sembari mengurutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Untuk Sheila
Romance[SELESAI] Sheila dan Senja. Mereka ibarat yin dan yang, hitam dan putih, Sahara dan Greenland. Terlalu kontras dan berlawanan. Tapi, bagaimana jika ternyata konsep sebuah kenyamanan adalah sesuatu yang berlawanan? Han Seungwoo as Rajendra Purnama S...