"Lo Kenara, kan?" ucap suara, Kenara yang jelas mendengarnya mendongak, bersamaan dengan itu Kenara tertegun mengetahui seseorang yang kini duduk dihadapannya.
"Al-vin?
Kenapa ia harus bertemu dengan Alvin setelah sekian lama?
Kenara terdiam kaku begitu mendapati Alvin yang kini malah tersenyum kecil kepadanya. Senyum itu senyum yang dulunya pernah ia lihat diam-diam.
"Apa kabar, Ra?"
Saat perasaannya sudah terkubur dalam, bahkan ingatannya tentang masa-masa menyukai Alvin sudah tertanam, kenapa sekarang malah ia dipertemukan dengan Alvin?
Ya Rabb...
"Ra?"
"Ah ya?" Kenara mengerjap. "Kenapa?"
Alvin yang melihatnya terkekeh. "Kabar lo gimana?" ulang Alvin.
"Baik, Alhamdulillah," balas Kenara pelan, memilih menunduk karena hampir saja matanya menatap lama mata Alvin.
"Lo sendiri gimana?"
Ah kenapa malah bertanya balik sih Kenara?
"Alhamdulillah juga baik."
Kenara hanya mengulas senyum kecil, tidak tahu lagi mau berbicara apa. Rasanya benar-benar canggung. Untunglah ia bertemu Alvin saat rasa yang bertahan tiga tahun itu sudah hilang, andai saja rasa itu masih ada, Kenara mungkin sudah bingung harus apa.
"Ra, gue mau jujur satu hal." Ucapan yang keluar begitu saja dari mulut Alvin membuat Kenara mengernyit. Pandangannya masih tertuju pada ponsel yang kini diputar balikan.
"Sebenarnya gue udah tahu sejak lama kalau dulu lo suka gue, itu jauh sebelum Velin yang chat gue."
Kenara mendongak, Alvin terlihat menatap keluar jendela. Tapi kenapa ia malah membicarakan hal yang dulu berusaha mati-matian ia lupakan? Alvin yang kembali menatap lurus membuat Kenara cepat-cepat menunduk. Cowok itu kini malah tersenyum.
"Maaf gue bohong, Ra, sebenarnya rasa lo itu nggak pernah bertepuk sebelah tangan."
Kenara tertegun.
"Gue tahu saat lo suka curi-curi pandang, bahkan lo nggak salah mengira kalau gue memang sering diam-diam perhatiin lo." Alvin kembali tersenyum, kembali teringat dengan kejadian beberapa tahun lalu.
"Tapi kenapa?" Spontan pertanyaan itu Kenara lontarkan.
"Ih jahat banget sih, Kak, nyuruh adiknya ambil ke sana. Lama tahu nungguinnya," gerutu Fani yang baru datang. Pipinya sudah mengembung.
Keduanya kini sama-sama menoleh pada Fani yang baru datang dengan wajah kesalnya.
"Tuh pesanan lo, puas?" Fani meletakan pesanan itu dihadapannya kakaknya. Lalu kembali duduk dengan menghentakan kaki karena masih kesal.
"Lo jadi Kakak tegaan banget sih, Kak. Nggak tahu apa adeknya laper," gerutu Fani yang membuat Alvin kini malah tertawa geli.
"Ikhlas dikit gitu, Dek."
"Pokoknya Kakak yang bayarin pesanan aku sama Kak Kenara, titik."
Alvin terkekeh. "Iya," gemesnya mengacak rambut Fani.
Akhirnya mereka pun mulai makan dalam diam. Sebenarnya lebih cocok Kenara yang makan dalam diam, gadis itu masih saja bertengkar dengan pikirannya. Sementara dua saudara itu terlihat tengah asyik mengobrol di tengah makannya. Sesakali Fani mengajakknya berbicara dan hanya dibalas Kenara sekedarnya.
Lima belas menit diperjalan, kini mobil Alvin berhenti tepat di depan kompleks perumahan. Saat hendak pulang tadi Fani begitu memaksa Kenara agar ia pulang bersama mereka. Padahal Kenara sudah menolak karena bisa pulang dengan taxsi. Tapi tetap saja sekeras apapun ia menolak, sekeras itu juga Fani membujuknya, Fani juga bilang tidak mau berhutang budi sama orang. Jadilah Kenara akhirnya terpaksa harus pulang bersama mereka dengan mobil Alvin.
"Syukron buat tumpangannya," ucap Kenara menatap sekilas ke arah Alvin, Alvin mengangguk, lalu menatap Fani yang kini duduk di sebelahnya. "Kalau gitu aku pulang dulu ya, Fan,"
Fani mengangguk. "Makasih ya, Kak, udah luangin waktu buat nemenin aku."
"Santai aja," balas Kenara tersenyum. "Kalau gitu aku pamit, assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam."
Kenara melangkahkan kakinya keluar mobil, jam kini sudah menunjuk setengah enam sore. Itu artinya tepat jam enam Kenara sudah harus di rumah jika tidak ingin dimarahi mamanya. Dengan tergesa Kenara mulai berjalan memasuki komplek, namun baru beberapa langkah, langkahnya terhenti begitu suara Alvin yang terdengar memanggilnya.
"Ra, bentar." Kenara membalikan badannya. Kini Alvin sudah berdiri beberapa langkah darinya.
"Ada apa?"
"Gue izin minta nomor lo ya ke Fani?"
Dahi Kenara mengernyit. Buat apa? Namun kata itu hanya bisa ia gumamkan dalam hati.
"Lo diam berarti iya."
"Tapi-"
"Satu rahasia yang harus lo tahu, Ra, lo adalah gadis pertama membuat gue jatuh cinta." Pernyataan itu berhasil membuat Kenara tertegun, pernyataan atas jawaban yang dulu selalu Kenara tanyakan pada dirinya sendiri saat masih menyukai Alvin. Tapi... kenapa harus sekarang?
"Rasa itu belum hilang sampai sekarang, jadi izinin gue buat perjuangan cinta ini lagi."
"Al, dalam islam melarang pacaran."
Alvin terkekeh. "Siapa bilang yang mau pacaran, Ra, gue juga tahu itu dosa dan nggak disukai Allah,"
Lantas, kenapa lo dulu pacaran dengan Rahmi?
"Manusia tidak ada yang sempurna, Ra. Setiap manusia pernah berbuat salah bukan? Begitu juga dengan gue."
AllahuAkbar, kenapa dia bisa tahu apa yang aku pikirkan?
"Gue akan perjuangin lo dengan cara yang baik dan diridhoi Allah." Alvin tersenyum. "Setelah gue lulus wisuda nanti dan bekerja, gue akan datangin rumah lo buat ketemu bokap lo,"
"Maksudnya?"
"Gue berniat mengkhitbah lo, Ra."
Dan saat itulah dunia Kenara terasa berhenti. Tubuhnya mendadak kaku beberapa untuk berapa lama hingga akhirnya Alvin pamit pun masih di posisinya, ucapan Alvin bagai kaset rusak yang berputar di kepalanya.
Alvin kenapa?
Kenapa lo datang dan mulai menjelaskan semuanya? Bahkan pertanyaan yang dulu gue simpan saat gue masih menyukai lo, lo jelasin semuanya?
"Gue berniat mengkhitbah lo, Ra,"
AllahuAkbar...
Allah apa ini maksud dari pertemuan tidak sengaja ini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dalam Hijrah || SELESAI
Teen FictionFollow dulu sebelum baca! Kenara Asyifa, di masa lalunya mencintai dalam diam berakhir kekecewaan. Membuatnya memutuskan untuk menutup hati karena takut dikecewakan. Di masa SMAnya, Kenara berteman dengan laki-laki. Seiring berjalannya waktu Ardi da...