• Apa Dia? •

5.1K 565 2
                                    

"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan, dan jauhilah mereka dengan cara yang baik."

{ Surat Al-Muzzamil ayat 10 }

Kenara memutar matanya, menyisir kelas yang terdengar heboh setelah buk Mei- guru Bahasa Indonesia keluar. Pergantian jam berlangsung tiga menit lagi, tampa menyia-nyiakan waktu yang terasa berharga, Kenara mulai menjalankan tugas untuk meminta uang kas pertama pada penghuni kelas Xl IPS 2- yang dua hari lalu telah diamanahkan walas kepadanya.

Setelah mengeluarkan buku berserta balpoin, Kenara bangkit dari duduknya. Bunyi kursi yang berdecit mengundang Putri yang tadi asyik mengobrol dengan teman belakang mereka menoleh ke arahnya.

"Gue tebak, lo mau minta uang kas?"

Tepat sekali.

Kenara hanya mengangguk. Apalagi yang akan dilakukan saat ini selain minta uang kas, tidak mungkinkan ia minta nomor ponsel?

"Sukses yak, Bubend." Semangat Putri dan hanya diangguki Kenara. Amanah berat yang harus dipegangnya untuk setahun ke depan.

"Lo nggak niat bantu, Put?"

"Hehe ... lo aja." Kenara mengerucutkan bibir.

"Ya udah gue operasi dulu." Putri menganggul, mengacungkan jempolnya.

Kenara menggerakkan kakinya memutari satu persatu bangku siswa siswi. Sebenarnya Kenara bisa saja mengatakan bahwa ia ingin meminta uang kas dari bangkunya, agar teman-temannya sendiri yang datang ke mejanya dan ia tak perlu berjalan mengitari kelas. Namun karena sifat malas dan tidak ingin jadi pusat perhatian lagi, membuat Kenara mengurungkan niatnya.

Kenara bersyukur begitu meminta, teman-temannya satu langsung memberi dan menyebutkan nama tanpa berkomentar banyak, tidak seperti saat MTSN. Mengingat itu membuat Kenara ingin mengusap dada saja.

Beragam alasan mulai terdengar di telinganya, seperti 'Duh Ra, gue kebelet!' 'Yah, gue lupa bawa uang Ra.' 'Lo sih nggak ngomong.' dan alasan bla bla lainnya. Satu tujuan mereka, hanya terhindar dari bendahara yang mulai menjalankan aksi. Benar-benar risiko, selain memegang uang yang tidak banyak, nasib bendahara yang juga di cap sebagai orang yang dihindari saat mulai mengeluarkan buku kas, harus ia dapatkan saat itu.

"Maaf, bisa sebutin nama lo?" tanya Kenara pada cowok yang kini menyodorkan uang dua puluh ribuan padanya. Tatapan Kenara tertuju pada buku karena Ilham- sang ketua kelas terpilih juga memberikan uang padanya.

"Rizki," ucapnya dan Kenara mengangguk. Sedang mencari nama Rizki gerakan mata Kenara terhenti. Bukan karena nama, tapi karena ... wangi itu langsung memasuki indra penciumannya begitu saja. Nyaman dan menenangkan. Aroma masukin ini seolah mirip dengan ... orang yang ia tabrak beberapa hari lalu.

"Kenapa? Nama gue kurang jelas?" tanya Rizki melihat namanya belum juga diceklis. Gadis itu malah terdiam.

Kenara mendongak, lalu menggeleng. Menatap cowok yang ia tahu bernama Rizki itu sesaat.

"Ya udah dicatat, Kenara."

Kenara mengangguk seraya menunduk, kembali mencari nama rizki dan menceklisnya di satu kolom, tanda sudah membayar.

***

Waktu istirahat tiba, Kenara bergegas menyimpan buku dan alat tulisnya di laci. Melaksanakan Dhuha sekarang adalah waktu yang tepat dan tidak boleh disia-siakan. Sepanjang koridor Kenara berjalan menunuduk. Sekedar berpura-pura tidak mendengar cacian yang masuk ke telinganya. Namun bagaimanapun ia berpura-pura tidak mendengar, ternyata yang namanya telinga masih bisa mendengar jelas suara walaupun sekecil apapun.

"Ustadzah lewat tuh! Minggir deh guys, nanti pada kena ceramah."

"Sok alim." Terdengar cibiran di sisi kiri Kenara.

"Yakin nggak sih dia berubah gitu aja."

"Itu jilbab atau gorden ruang tamu?"

Mereka yang berkumpul di sana tertawa cekikikan, seakan bahagia melihat objek yang mereka tertawai sengsara.

Kenara beritighfar, memejamkan mata, menarik nafas dalam dan membuangnya pelan seiring mata yang terbuka. Kenara tersenyum samar, mempercepat langkahnya menuju Mushalla. Ia harus segera berwudhu untuk menghilangkan amarah yang hampir saja menguasainya.

Selesai melafadzkan doa whudu, Kenara mengucapkan syukur. Whudu benar-benar ampuh membuat hati terasa damai. Kini Kenara merasa lega dan tenang. Bahkan sudah tidak lagi amarah di hatinya.

Kenara memasang kaus kakinya kembali. Karena di Sekolah Kenara tempat whudu wanita sesudah tempat whudu laki-laki, jadilah Kenara merasa perlu menutup auratnya agar tidak terlihat oleh yang bukan mahrom.

Untuk menutup aurat keseluruhan, Kenara sudah bertekad akan memulainya hari ini. Tiga kelalaian perempuan yang harus disadari, kaki adalah aurat, lengan adalah aurat, dan dada adalah aurat. Padahal semua itu harus ditutupi, tapi kebanyakan perempuan malah menganggapnya remeh.

Senyum terbit di wajah Kenara yang baru selesai menyelenggerakan sholat Dhuha empat rakaat. Kenara seakan merasakan ketenangan yang menjalar dalam jiwanya. Begitu damai.

Kenara menundukan kepalanya begitu keluar dari Mushalla. Biasanya keluar main seperti ini ada juga cowok-cowok suka nongkrong di depan Mushalla.

"Kenara." Panggilan seseorang membuat Kenara mendongak. Bersamaan mengangkat kepala, mata Kenara beradu pandang dengan seorang cowok yang duduk di sana.

Satu detik, dua detik, tatapan itu terhenti kala Fika yang melambaikan tangan di depan wajahnya.

"Ra?" 

Kenara beralih menatap Fika.

"Gue ngomong tau." Fika mengerucutkan bibirnya, memasang ekspresi kesal yang membuat Kenara terkekeh geli.

"Iya-iya apa, Fi?"

"Gue tadi ke kelas lo, tapi lo nya nggak ada. Gue khawatir banget tau sama lo. Untung aja ketemu di sini." Fika mengakhiri kekesalannya. Lalu menatap Kenara serius. "Tapi ngomong-ngomong lo udah nggak apa-apa kan, Ra? Perasaan dari tiga hari lalu gue nggak nemu-nemu lo."

Kenara mengangguk tersenyum. "Gue nggak apa-apa."

Fika tersenyum lega. Lalu menatap Mushalla dihadapannya. "Lo habis sholat Dhuha?" tanya Fika beralih lagi menatap Kenara yang kini mengangguk.

"Kok nggak ngajak?" Fika menatap kesal sahabatnya.

Kenara hanya nyengir. "Gue nggak tau kalau lo mau ikut."

"Gue kan juga mau hijrah kayak lo," ucap Fika dengan bibir mengerucut.

Kenara terkekeh geli melihat wajah Fika saat ini. Lihatlah dia bukan seperti anak SMA tapi seperti anak kecil. "Ngambek lo, Fi?"

"Nggak," ketus Fika memutar matanya ke arah lain. Pipinya mengembung. Kenara semakin dibuat terkekeh dengan kelakuan Fika. Sejak kapan juga ngambek ada jawaban?

"Iya deh, besok gue ajak kok, Fi."

"Beneran?" Mata Fika berbinar. Kenara mengangguk mantap.

"Jemput gue ke kelas ya?"

"Iya Fikaa...," jawab Kenara gemes.

Fika mengamit tangan Kenara beniat mengajak sahabatnya ke kantin. "Velin udah nungguin di kantin. Yuk!" Kenara mengangguk lalu memasang tali sepatunya sebentar sebelum akhirnya beranjak menuju kantin 

***

Cinta Dalam Hijrah || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang