• Niat Alvin •

5.1K 518 19
                                    

Sampai di dalam mobil, Lina mengeluarkan berbagai pertanyaan yang tersimpan dalam benaknya. Ia benar-benar penasaran apa Kenara mengenal Alvin dan apa mereka sudah berkenalan sejak lama?

"Jadi kamu sejak kapan kenal sama Pak Alvin?"

Kenara menatap lurus ke depan. Apa ia harus menjelaskannya?

"Hanya teman MTSN, Lin."

"Kamu seperti ngindarin Pak Alvin, kenapa?"

"Ra nggak ngindar, Lin. Hanya nggak mau lama-lama dekat yang bukan mahrom. Lagian juga nggak penting dibahas, Lin," ujar Kenara tidak ingin membahas Alvin saat ini. Sepertinya ada sesuatu yang panjang Kenara pikirkan. Dan hal itu tidak bisa ditebak Lina sama sekali. Akhirnya Lina hanya mengangguk saja, walau sebenarnya ia sangat kepo.

"Iya deh, Ra."

"Oh ya, kita ke kafe yang dekat aja ya, Lin. Kalau tempat biasa takutnya kita bisa telat masuk kantor," saran Kenara yang diangguki setuju oleh Lina.

***

Jam tiga lewat lima belas menit Kenara sudah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah merapikan meja kerjanya, Kenara beranjak bangkit menuju parkiran. Lina sudah duluan dengan mobilnya, sementara Kenara memilih ke Mesjid yang tidak jauh dari perusahaan untuk menunaikan shalat Maghrib yang sebentar lagi akan masuk.

"AllahuAkbar ... AllahuAkbar ..."

Benar saja, baru saja Kenara memasuki Mesjid, adzan sudah berkumandang menyeru menusia untuk menghentikan segala aktifitas dan mulai menunaikan sholat Maghrib untuk sama-sama menghadap Rabb.

Setelah berwudhu, Kenara langsung memakai mukenanya dan bersiap-siap untuk mulai sholat berjamaah. Saat dzikir Kenara begitu menikmati apa yang dibacanya. Bagi Kenara dzikir sangat ampuh, apalagi sambil dihayati, membuat hati yang awal gusar dan gelisah menjadi tenang dan damai. Karena sejatinya dengan banyak mengingat Allah hati akan menjadi tenang.

Doa yang dilantunkan imam begitu menyejukkan hati dengan arti yang begitu indah, Kenara sangat menghayati seraya mengaminkannya.

Hujan yang turun dengan deras membuat Kenara tahu bahwa ia tidak bisa pulang sekarang. Kenara juga baru ingat bahwa tadi awan sudah sangat pekat kelabu. Tidak salah jika sekarang hujan begitu deras mengguyur bumi.

Akhirnya sambil menunggu Kenara memilih membaca mushaf Al-Qur'an, melanjutkan bacaan Al-Qur'an yang terakhir kali dibacanya saat ashar. Semoga saja hujan sebentar lagi berhenti.

Satu halaman selesai dibacanya. Setelah menutup mushaf, Kenara menatap hujan yang tidak lagi turun dengan deras seperti tadi. Kenara tersenyum, lalu buru-buru melipat mukenanya.

Pupus sudah harapan Kenara, ia kira hujan benar-benar akan reda, ternyata sebaliknya, hujan malah semakin deras mengguyur bumi.

Astaghfirullah ...

Hampir saja Kenara mengeluh oleh hujan, seharusnya ia bersyukur. Allah masih menurunkan rahmat Nya. Apa jadinya jika hujan tidak turun-turun, manusia pasti sudah kebingungan dengan tidak adanya air lagi. Akhirnya Kenara memilih duduk di teras Mesjid.

Pandangan Kenara kini tertuju pada hujan yang masih betah mengguyur bumi. Kenara menatap langit yang kian menggelap. Langit jingga sudah hilang berganti gelapnya malam.

Kenara menurunkan kepalanya. Helaan nafas kecil terdengar dari bibirnya, pandangannya kini berubah kosong.

Sejak saat itu, di mana sosok itu tidak lagi Kenara tahu, bahkan sekecil kabar juga tidak ia tahu, Kenara mulai memilih membawanya di sepertiga malam. Memperbincangkan namanya dihadapan Allah.

Hingga saat ini, bahkan nama itu belum berganti untuk Kenara sebutkan, nama itu nyatanya sudah bertahta di dalam hatinya.

Lalu pertanyaannya, di mana?

Terutama, ingatkah sosok itu dengannya?

Desahan berat terdengar dari bibir Kenara. Bahkan sampai saat ini Kenara merasa terlalu percaya diri bahwa sosok itu pasti tidak melupakannya, suatu saat nanti dia pasti akan datang. Sampai akhirnya, Kenara selalu percaya dengan harapan yang telah dibuatnya sendiri, harapan yang nyatanya hanya angan-angan semata.

"Assalamualaikum."

Lamunan Kenara tertarik ke alam nyata begitu mendengar salam seseorang.

"Wa'alaikumsalam," balasnya yang kemudian mendongak. Bumi yang terasa luas mendadak terasa sempit bagi Kenara. Kenapa ia sering sekali bertemu dengan Alvin?

Alvin tersenyum kecil, lalu memilih duduk yang bejarak dua meter dari Kenara saat ini. Di sekeliling mereka masih banyak orang-orang yang memilih menunggu hujan seperti mereka.

"Aku nggak nyangka Allah kembali mempertemukan kita, Ra," ucap Alvin setelah dua menit lamanya mereka saling diam.

Kenara menoleh, pandangan Alvin tertuju lurus pada hujan yang belum kunjung reda. Kenara menghela nafas pelan, ikut mengalihkan pandangan pada hujan dihadapannya. Ia masih bisa mendengar suara Alvin.

"Aku pikir bukan saat ini dan di situasi seperti ini, Aku pikir aku harus menunggu lebih lama lagi hingga waktunya datang. Namun, ternyata Allah Maha Baik."

Kenara menatap nanar hujan di depannya. Ucapan Alvin selanjutnya seolah seperti sebuah takdir yang secara tidak langsung mengatakan bahwa ia harus berhenti.

"Aku yakin kamu masih ingat saat terakhir kita ketemu."

Kenara menggigit bibir bawahnya. Mendengar hal itu saja membuat firasat Kenara semakin menjadi. Alvin masih mengingat ucapannya lima tahun lalu. Entah kenapa Kenara merasa tidak kuat sekedar mendengar apa yang Alvin bicarakan. Kenara cukup takut ternyata apa yang ia harapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

"Dulu aku pernah bilang setelah sukses nanti, aku berniat mengkhitbah." Alvin tersenyum, melirik Kenara sekilas. Lalu kembali menatap lurus hujan di depannya. "Dan sekarang izinkan aku mewujudkannya, Ra."

Kenara membeku, ucapan itu begitu serius, tapi Kenapa sangat menampar relung hatinya?

Allah apa ini jalanku? Apa aku harus mengubur harapan dan impian yang sudah kutanam sejak lama?

Alvin bangkit dari posisinya, ia tersenyum. "Besok ba'da Maghrib InsyaAllah aku akan ke rumah kamu, Ra," lanjut Alvin sumringah.

Sontak Kenara mendongak. "Secepat itu?" tanyanya tidak percaya.

Alvin mengangguk. "Aku harap jawaban baik yang akan aku terima. Kalau gitu aku duluan. Assalamualaikum," ucap Alvin yang kemudian berlalu meninggalkan Kenara yang kini terdiam lemas di duduknya.

Hujan sudah berhenti, dan mobil Alvin sudah menjauh, perlahan tapi pasti sebulir air turun begitu saja di pipi Kenara. Pandangan Kenara kosong, matanya lurus sementara pikirannya masih tertuju pada Rizki yang tidak jelas keberadaannya di mana.

Apa ia terlalu berharap pada angan kosong? Nyatanya sampai saat ini, tidak ada kabar yang Kenara dapatkan.

Kenara tersenyum getir, bagaimana Kenara bisa lupa, bagaimana Rizki akan datang sementara ketika pergi Rizki sama sekali tidak ada memberi tahunya? Bukankah itu artinya Rizki memang tidak akan pernah kembali?

Lalu apa artinya kini Kenara harus menyerah? Kemudian menerima Alvin saja sebagai pelengkap hidupnya? Tapi apa Kenara bisa? Sementara cintanya yang dulu pernah tertanam selama tiga tahun kepada Alvin hilang tak berbekas.

Allah ... cinta ini sudah berlabuh kepada seseorang yang sampai sekarang entah di mana keberadaannya. Namanya sudah terselip lama dalam doa, setiap malam doaku tidak pernah absen menyebutnya dihadapan Mu. Ya Allah, jika ini akhirnya, tunjukkan aku bahwa dia memang tidak seharusnya untuk aku harapkan. Jika memang Avin yang memang sudah tertulis di lauh mahfudz, bukakan hatiku untuk menerimanya kembali, hidupkan kembali cinta yang telah lama pergi.

***


Cinta Dalam Hijrah || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang