• Awal •

4.9K 575 12
                                    

"Saat manusia sudah berprinsip dan berjanji, saat itu juga mereka bertekad melakukannya sekuat tenaga. Tidak peduli dengan badai menerjang , karena saat itu mereka yakin akan menghadapi segala resiko yang terjadi ke depannya."

(Cinta Dalam Hijrah)

Dengan cahaya merasuki relung jiwa seakan membuat Kenara kian bersemangat untuk memulai perubahan. Sejak berjanji pada Allah dan dirinya sendiri malam itu, Kenara benar-benar memegang kuat prinsip.

Dimulai dengan pertama-tama Kenara mendatangi Alena selesai subuh, ia berniat mengajak kakaknya itu nanti sepulang sekolah untuk ke mall sekaligus mengatakan bahwa ia sudah bertekad menggunakan hijab lebar.

Kenara beristighfar begitu teringat prinsipnya yang sempat salah, berubah menuju kebaikan memang harus perlahan, tapi bukan berarti itu pelan hingga menjadikan hijrahnya santai badai, bahkan bisa dibilang terlalu santai.

Tok tok tok

"Kak."

"Masuk aja, Ra." Suruh Alena dan Kenara menurut. Kenara tersenyum mendapatiAlena selesai mengaji. Sambil menunggu Alena melipat mukena dan sajadah, Kenara duduk di kasur Kakaknya.

Kenara tersenyum miris. Melihat Alena yang terlihat sholehah membuat dirinya merasa sangat jauh berbeda. Seakan Alena itu bersih dari dosa dan ia penuh dengan dosa.

"Kenapa, Ra?" tanya Alena membuyarkan lamunan Kenara. Alena ikut duduk dekat Kenara.

Kenara tersenyum. "Aku udah mutisin make jilbab lebar, Kak."

"MasyaAllah." Alena yang mendengar pernyataan itu tersenyum. Berungkali ia mengucapkan hamdalah sebagai syukur kepada Allah yang telah mengabulkan doanya. Padahal sudah lama Alena menyuruh adiknya untuk memakai jilbab besar, tapi alasan Kenara yang merasa itu tidak perlu sekarang membuatnya sedikit kecewa.

"Tapi, Kak," Wajah Kenara mendadak lesu membuat Alena menatap Kenara. "Kalo nanti aku diketawain sama teman-teman gimana? Kakak kan tau sekolah aku itu SMAN, bukan pasantren atau pun MAN."

Alena tersenyum seraya mengelus rambut kenara. "Ra, sekarang Kakak tanya, hijrah kamu ini untuk siapa?"

"Allah."

"Kalau untuk Allah, jangan dengarin cemoohan dari orang. Kamu cukup cuek aja. Anggap aja itu sebagai angin lalu. Dan juga sebagai penguat kamu untuk lebih dekat dengan Allah."

"Ini sebenarnya tantangan hijrah, Ra. Allah hendak nguji kita, apa kita benar-benar tulus dan ikhlas untuk hijrah? Jika kamu berhasil melewatinya dengan sabar, insya Allah, Allah akan membalasnya dengan balasan yang tidak kita duga."

Kenara tersenyum, wajahnya kembali ceria, seakan merasa tenang dengan penjelesan Alena tadi.

Bismillah Kenara akan sabar.

"Thanks kak." Kenara memeluk Alena seraya tersenyum senang. Beruntung sekali dirinya dihadirkan Kakak yang begitu sholehah dan sangat menyanginya.

"Iya Ra, sama-sama. Kakak juga senang kamu benar-benar bertekad berubah. Dan Kakak harap kamu selalu istiqomah ya."

"Iya, Kak,"  ucap Kenara tersenyum. Ah seharusnya sudah dari dulu Kenara benar-benar mulai berubah. Tapi bagaimana lagi, saat itu godaan setan lebih menguasainya.

"Jadi mau beli apa aja, Ra?"  tanya Alena semangat empat lima.

Kenara yang melihatnya tertawa. Lalu mulai berfikir seraya jari yang ikut bergerak. "Seragam sekolah syar'i, pakaian seharian syar'i terus pakaian di luar rumah juga syar'i. Aku rasa itu aja, Kak."

Alena mengangguk paham. "Nggak ada yang lain?" tanyanya memastikan dan Kenara menggeleng.

"Menurut Kakak kamu harus beli yang lain, Ra, seperti kaus kaki, handsock dan buku-buku Islam yang pasti nanti kamu butuhin," saran Alena yang membuat Kenara mengangguk setuju. Menuruti saran sang Kakak mungkin lebih baik baginya.

**

Hari itu sebelum pergi ke Mall bersama sang kakak, masih di Sekolah, Kenara lebih memilih meluangkan waktu istirahatnya di kelas .

Bermain ponsel. Itu yang dilakukan Kenara. Kenara hanya menitip makanan kepada teman sebangkunya karena hari ini ia tidak mood jika bertemu Ardi di kantin.

Di kelas ini Kenara tidak ditakdirkan untuk sekelas dengan teman-temannya. Baik itu sahabatnya ataupun yang lainnya. Di sini lebih banyak orang-baru yang Kenara temui. Walaupun sebagian Kenara hanya sebatas kenal dan mereka dulunya jika berpapasan hanya menyapa.

Tapi Kenara tidak akan mengeluh, karena ia yakin rencana Allah itu pasti ada hikmahnya. Seperti yang ia sadari sekarang, ia tidak ditakdirkan sekelas dengan Ardi ataupun teman-temannya. Itu adalah suatu nikmat yang Kenara syukuri. Apa jadinya jika ia sekelas dengan Ardi ataupun salah satu mereka? Mungkin mereka kini habis mengejeknya atau bahkan membuatnya naik darah.

Allah, ampuni Ra yang selama ini sering mengeluh tanpa berpikir positif  lebih dulu terhadap Mu.

Aiza melirik jam dinding, mengingat waktu pagi, membuat ia  teringat akan waktu Dhuha. Rasanya hal ini berhasil menampar hati Kenara. Dhuha, terakhir ia melakukannya saat MTSN, dan itu pun karena dipaksa. Nau'uzubillah. Bukan kah ia benar-benar lalai?

Alangkah sombongnya ia dahulu, padahal manusia selalu membutuhkan rezki dari Allah. Tapi ia dengan sombongnya tidak melaksanakan perintah Allah bahkan sekedar melaksanakan dhuha dua rakaat pun ia malas.

Allah, berapa banyak dosa yang kulakukan tanpa kusadari?

Kenara menyimpan ponselnya, bergegas menuju Mushalla. Kenara ingin menyia-nyiakan waktu istirahat yang tinggal dua puluh menit lagi.

***

Cinta Dalam Hijrah || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang