Bagian 35

698 18 4
                                    


  Tisa menelpon Tio. Seperti yang sudah direncanakan sejak kemarin bahwa dia akan meminta Tio untuk membayarkan utangnya.

  Kenapa, Tis?

  Tio, lo bisa bantu gue?

Bantu apa?

Gini, gue ada utang ke temen gue.

Terdengar gelak tawa di seberang telepon.

   Tisa, Tisa. Lo pikir gue banyak uang? Lo tahu sendiri, gue bukan anak orang kaya. Kayaknya lo salah sasaran, deh.

Plis bantuin gue.

Gue nggak bisa, Tis. Harusnya lo paham, kita sama anak rantauan.

   Tapi, Tio?

Bukannya gue nggak mau bantu lo, Tis, gue sendiri aja buat makan aja susah.

  Tio, plis.

Nggak, Tis. Sori.

Ya udah, deh. Makasih.

Sambungan terputus. Kekecewaan tampak di wajah raut gadis itu. Sekarang, Tisa bingung mau meminta tolong siapa lagi. Tidak ada yang benar-benar peduli terhadap dirinya.

   "Gue nggak mau kerja terus-terusan di kafe itu." Tisa mulai berpikir dan berpikir.

    "Reina pasti bantuin gue. Suami dia, kan kaya." Tisa mencari nama Reina di kontak dan menekan tombol call.

   Halo, Tis, ada apa?

Na, lo bisa bayarin utang gue?

Lo utang buat apa, sih, Tis?

Buat bayar kuliah dan kontrakan.

   Bisa, bisa. Gue transfer berapa?

  Tiga juta lima ratus ribu ya, Na.

Siap. Bentar lagi gue transfer. Udah, lo tenang aja, gue bakal bantu lo kok, Tis.

Thanks. Lo memang sahabat terbaik gue. Gue tunggu ya.

Udah gue transfer di no rekening lo.

Oke. Gue tutup teleponnya, ya.

Tisa menutup sambungan telepon dan Tisa mengecek transferan uang dari Reina dan ternyata sudah masuk melalui notifikasi di ponselnya.

  "Reina baik banget, deh." Tisa segera membawa kartu ATM yang dekat dari kontrakan untuk mengambil uang itu. Sesampainya di sana, Tisa masuk dan menarik uang itu melalui mesin ATM. Uang senilai tiga juta lima ratus sudah di tangan.

  "Dengan uang ini, gue nggak perlu kerja lagi di tempat Rehan!" Tisa keluar dari ruang ATM dan menuju kafe tempat dia bekerja menggunakan angkutan umum.

  Sesampainya di sana, dengan langkah angkuh Tisa masuk kafe itu dan langsung menemui Rehan.

    "Ini utang gue!" seru Tisa menyodorkan uang itu pada Rehan.

  "Lo dapat uang ini darimana?"

  "Lo nggak perlu tahu, dan mulai sekarang gue nggak perlu susah-susah lagi kerja di tempat lo. Bye." Tisa melambaikan tangan ke arah Rehan. Gadis itu langsung keluar dari kafe. Tidak berhenti sampai di situ, Rehan membuntuti Tisa.

  "Tis, tunggu."

Tisa menengok. "Kenapa lagi? Utang gue udah lunas, kan?"

   "Iya juga, sih. Ngapain juga gue halangin lo."

  "Ya udah. Gue pergi dulu."

Tisa melenggang pergi begitu saja. Mulai melangkahkan kaki menuju halte bus yang tak jauh dari kafe itu.

   Tisa sudah sampai di halte itu dan membayar kepada petugas. Tak berselang lama, bus dengan jalur A3 datang, Tisa segera naik bus itu. Hanya butuh lima belas menit, Tisa sampai di halte pemberhentian yang tak jauh dari kontrakannya. Tisa turun dari bus dan menyebrang menuju kontrakan. Ada seseorang yang tanpa Tisa ketahui sudah mengincar tas yang dibawa Tisa. Dengan langkah pasti, pencopet itu mengambil paksa tas Tisa, Tisa berusaha mempertahankan diri supaya tas itu tidak diambil. Sayang, kekuatan pencopet itu lebih kuat. Setelah mendapat tas itu, pencopet itu lari dengan cepat.

   "Copet!" Tisa berteriak, tapi tidak ada satu pun yang merespons ucapan Tisa.

Tisa menjadi lemas dan berjongkok di depan sebuah toko kelontong.

   "Uang gue!" Tisa kembali berteriak. Tisa mulai menangis. Padahal uang itu akan dia gunakan untuk melunasi uang kontrakan. Tisa akhirnya berdiri dan dengan langkah lemas menuju ke kontrakan.

   Tisa sudah sampai di kontrakan. Gadis itu langsung duduk di kursi. Dia masih merenungi nasibnya yang sial. Untung saja, ponsel dan surat-surat penting lainnya dia tinggal di rumah.

   "Gue harus gimana?" Tisa mengacak rambutnya frustasi.

  Ruli kembali datang dan menagih uang kontrakan itu.

    "Tis, uang kontrakan mana? Ibu udah marah-marah. Kalau kamu nggak segera bayar, kamu disuruh pergi dari sini."

"Gue baru aja kecopetan, Rul!"

"Saya nggak mau tahu, kalau kamu nggak bisa bayar besok, kamu harus pergi. Maaf saya nggak bisa bantu."

Tisa hanya mengangguk, pasrah. Dia harus mencari cara untuk membayar kontrakan.

  ***

Miss PrimadonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang