Entah sudah berapa kali ia hampir limbung. Pandangan yang berputar serta rungu yang kian berdenging mengerikan. Ia pejamkan matanya erat, berharap kunang-kunang yang bergerumul di depan matanya segera pergi.
Sampai pada satu halte ia mendudukan pantatnya. Menyandarkan kepalanya pada tiang halte, lebih baik begini dari pada berjalan limbung seperti orang mabuk. Setidaknya jika seperti ini resiko yang ia terima ketika sewaktu-waktu jatuh pingsan tak begitu sakit bila tubuhnya menyentuh tanah.
Idiot.
Tak sadar dengan keadaan fisiknya. Tentu, ini akan sangat merepotkan nantinya. Masa bodoh, toh siapa yang peduli? Kabur dari rumah ialah murni keinginannya.
Biarkan ia melakukan apapun yang ia mau, selagi bisa. Ini tubuhnya dan yang merasakan juga tentu dia. Jadi ia berhak penuh atas tubuhnya. Dan, biarkan ia yang menanggung sakitnya.
Pemuda itu mencoba membuka matanya perlahan saat dengung di telinganya tak se-mengerikan tadi. Masih sedikit buram, namun, ya, ini lebih baik.
Saat ia sampai di halte tadi masih begitu banyak orang di sekitarnya. Sekarang bahkan hanya ada dirinya di sana. Hanya seorang diri. Ia menghela napas, selama itukah ia tidur? Hei bahkan ia tak merasa jika tertidur. Hanya memejam dan ya, terus memejam.
Pemuda itu menghela napas lagi, menyapu pandang pada semua yang bisa retinanya tangkap sampai satu fokus matanya tertuju pada pria di seberang jalan. Dengan setelan hitam dari atas sampai bawah membuat pemuda tadi terus menerka, siapakah pria di ujung sana?
Si pemuda seketika mengalihkan pandangannya saat yang diperhatikan bergerak dari tempatnya semula. Dengan degup yang bertalu, ia coba mengontrol dirinya. Pria di seberang tadi menengok kanan dan kirinya memastikan tak ada kendaraan yang lewat. Lalu menyebrang mendekati si pemuda.
Semakin dekat di hadapan, si pria tadi mempercepat laju kakinya menghampiri si pemuda. Entah hanya ingin menunggu bis di halte itu atau memang si pria menghampiri penunggu halte sejak beberapa saat lalu.
Sesaat pemuda memejamkan matanya erat. Cukup takut memang. Lalu matanya dipaksa membelalak saat sebuah tangan menepuk keras pundaknya.
"Taehyung?"
Satu kata yang mampu membuat dunianya putih tanpa celah. Satu kata yang berhasil mengoyak parunya. Satu kata dengan suara itu.
Si pemuda --Taehyung-- mendongak. Memastikan telinganya benar-benar bekerja dengan baik. Saat mata itu saling bertemu, gejolak aneh di dasar perutnya menggelora.
"Y-yoongi hyung?"
🎑
Jimin dan Jungkook sudah cukup lelah untuk mengitari setiap sudut kantor polisi dan banyak tempat lainnya. Yang dicari tak kunjung didapat eksistensinya. Hela napas yang saling bersautan membuat suasana kian canggung.
Nyatanya yang lebih muda tak semudah itu menyerah. Ia langkahkan kaki menjauh--mendahului yang lebih tua.
"Jungkook cukup, hentikan!" Yang lebih tua mengintrupsi.
"Tidak hyung, aku harus menemukannya."
"Setidaknya istirahat dulu sebentar, jangan memaksakan diri."
Jungkook menghentikan laju kakinya. Benar, ia terlalu memaksakan diri. Kedua kakinya sudah mulai bergetar minta diistirahatkan. Lalu setelahnya berbalik menghampiri Jimin yang sudah lebih dulu duduk di bawah pohon tepi jalan.
"Aku tahu kau mengkhawatirkannya, tapi pikirkan keadaanmu juga. Kita istirahat dulu dan tentang Taehyung, kita lanjutkan nanti."

KAMU SEDANG MEMBACA
Untitle
Fanfictionsudah ku katakan, bukan? tak perlu judul untuk menceritakan semuanya... .start. 2018.05.01