Bag. 1
Akh....tolong...tolong..!"
Terdengar suara jeritan. Ia meraung meminta pertolongan. Demi Allah, aku tidak tega melihatnya. Jiwaku benar‐benar terpanggil saat melihatnya meronta. Meskipun aku tidak tahu siapa wanita di balik gejolak merah yang menyala‐nyala itu, namun kakiku tidak dapat bertahan untuk tidak datang mendekat. Perlahan tapi pasti, aku berjalan menghampiri. Naluriku berkata, semoga aku dapat mengeluarkannya dari pusaran api yang menyiksanya.Kukuatkan jiwaku dengan iman, lalu perlahan menyusuri jalan yang tidak pernah kukenal. Aku paksakan diriku memasuki ruangan luas berapi merah yang apabila sedikit saja aku lengah, aku sudah pasti menjadi kayu bakarnya.
Kini aku berada tepat di depan nyala merahnya. Antara aku dan gadis itu hanya terhalang segaris api yang membentuk pagar. Aku kesulitan menerobos masuk, karena semakin aku mendekat, panas api itu semakin menyeka kulitku. Aku merasakan hawa yang luar biasa.
Tiba‐tiba, gadis yang meminta pertolonganku itu menjauh. Ilusi atau tidak, aku seperti melihat seseorang lelaki menariknya masuk lebih jauh. Aku kaget bukan kepalang. Kulambai‐lambaikan tanganku dengan harapan dia menyadari kedatanganku. Aku pun berteriak keras memintanya berhenti. Namun apalah daya, semua upayaku sia‐sia.
Astagfirullah, aku tersentak. Nafasku menyembur sangat sesak, jantungku berdebar dengan kencang. Kudapati keringat dingin bercucuran membasahi sekitar leherku, juga tubuhku. Seketika aku bangun. Kusandarkan punggungku ke sandaran tempat tidur yang sebenarnya tidak terlihat karena cahaya lampu yang dimatikan. Aku berusaha menarik napas dengan tenang dan mengaturnya agar aku tidak tersesak. Lalu kunyalakan kembali lampu yang berada di atas nakas sebelah kiri. Lampu itu menyala redup, namun cukup dapat melihatkan seisi kamar.
Kuucapkan asma‐Nya berkali‐kali. Nama Sang Khalik selalu menjadi penenang di setiap kegelisaanku. Kejadian mencekam yang baru saja aku alami ternyata hanyalah sebuah mimpi. Sayangnya mimpi itu kembali dan kembali lagi. Kemarin dan kemarinnya lagi aku mengalami mimpi‐mimpi yang sama. Ada apa ini?
Batinku dibuat gelisah. Tapi kali ini rasanya begitu nyata, terasa begitu amat dekat, seperti benar‐benar terjadi. Sudah tiga hari ini aku dihantui mimpi yang sama secara berulang. Seperti ada sesuatu yang tidak beres sedang mengintimidasi. Aku merasa seperti melihat seseorang yang aku kenal, tapi tak bisa aku dekati. Dia terjerat dalam kobaran api membara. Apa maksud semua ini?
"Ya Tuhan, sebenarnya pertanda apa yang sedang Kau tunjukkan kepadaku?" bisikku dalam hati.
Kuarahkan pandanganku ke sisi sebelahku. Maksudnya agar aku mendapatkan ketenangan dan perasaan lega. Tampak seseorang yang tertidur di sebelahku masih lelap dalam nyenyaknya. Sekali dua kali aku coba menggoyangkan tubuhnya, tapi jawaban si pemilik tubuh hanyalah 'agh' dan 'ugh'.
Terpaksalah aku bangkit sendiri. Langkah membawaku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Ustazah di sekolah dahulu selalu berpesan untuk melaksanakan shalat Tahajud kala terbangun di tengah malam.
Kuambil air wudu, lalu kujalankan ibadah shalat Tahajud hingga delapan raka'at. Di saat‐saat seperti ini, hanya Allah satu‐satunya tempat untuk berkeluh kesah. Aku tahu, sepertiga malam terakhir adalah waktu paling afdol bagi seorang hamba untuk bersimpuh. Ini menjadi titik terintim seorang hamba dengan Tuhannya.
Rasa takut dan gundah yang selalu menghantuiku perlahan terusik. Aku mulai merasa lega. Benarlah, hanya Allah saja tempat terbaik untuk bersandar. Kuakhiri shalatku dengan Witir, lalu aku tenggelam dalam kalimat‐kalimat zikir. Bertasbih, bertahlil, tahmid, dan bertakbir memuja Dzat yang mengatur semesta dan isinya.
Tanpa kusadari, sudah satu jam aku terbangun malam ini. Aku mengantuk, namun mataku tak mau terpejam. Jam di dinding kamar menunjukkan pukul tiga pagi. Aku tidak bisa tidur. Aku berpikir untuk melakukan suatu. Sepengetahuanku, jikalau seseorang merasa lelah, rasa mengantuk akan muncul. Kulepas mukenah putih bermotif bunga tulip orange kesayanganku dan kubiarkan tetap berada di atas sajadah yang masih terbentang. Aku berjalan menghampiri meja kerja di pojokan kamar. Sebuah buku dan pensil 2B kukeluarkan dari laci. Lalu kuukir dengan gambar. Aku larut untuk sesaat.
Tanpa kusadari, azan subuh sudah berkumandang. Sejak pukul dua dini hari, aku sudah berjaga tanpa bisa terlelap lagi. Kulihat suamiku masih tertidur dengan nyenyak, padahal azan subuh sudah memanggilnya untuk shalat.
Aku goyang tubuhnya beberapa kali. Suaraku mulai kukeraskan untuk membangunkannya. Oh, rasanya butuh perjuangan mengembalikannya ke alam nyata. Godaan si pulau kapuk dan pulau bantal lebih menawan daripada suaraku.
Sebenarnya aku maklum jika hari ini dia sulit bangun. Dia baru saja pulang dari Singapura tadi sore karena mendapat izin bercuti dari pekerjaannya. Dia seorang staf KBRI di Singapura dan tinggal seorang diri di sana. Hubungan kami terhalang bentangan air laut. Meski begitu, aku tak pernah menyesal dengan pernikahan ini.
Jujur, sebenarnya sudah sejak lama aku ingin tinggal bersama suamiku. Namun membuat keputusan pindah bukanlah perkara mudah. Butik milik keluarga membuat aku terikat. Berat bagiku meninggalkan Kota Padang ini. Ada perasaan iba membiarkan ibu mengurusi butik sendirian. Butik ini sudah dibesarkannya seorang diri. Dia menyekolahkanku di bidang tata busana juga agar aku bisa mendampinginya. Mana mungkin aku tega meninggalkannya.
Sebenarnya ibu tidak pernah melarangku ikut suamiku. Dia malah pernah menyarankan. Tapi aku yakin, semua itu hanya tuturan dari luarnya saja. Hati kecilnya pasti menolak. Apalagi jika mengingat kejadian dua tahun lalu. Kejadian yang mengoyakkan jantung kami sekeluarga. Saat dunia memberitakan adikku Adila meninggal dalam insiden berdarah.
Tanganku masih sibuk dengan pensil dan buku. Suamiku mengambil air wudu. Otakku melamun memikirkan secercah kejadian masa lalu yang ingin kujemput kembali. Masalah hari
itu belum selesai. Aku masih tidak percaya dengan ucapan media. Bagaimana harus percaya jika jasadnya saja tidak teridentifikasi.Tiba‐tiba di belakang telinga, aku merasakan tiupan angin pelan yang dihembuskan. Sontak hal itu mengagetkanku dan membuatku tersadar dari alam lamunan. Aku sedikit terperanjat.
Bersambung......
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau Pertanyakan
RandomPesan itu menggetarkan Nadifa. Kak, tolong aku! Selamatkan aku! Aku disekap. Mereka buas seperti binatang. Mereka menjadikan aku pelayan nafsu setannya. Aku mohon, Kak. Selamatkan aku. Entah ke manakah mereka akan membawaku. Nadifa tak kuasa memba...