Bag. 6
"Nadifa....., welcome to KL!" seru seseorang dari jarak beberapa meter berlari ke arahku.
"Cristie!"
Kami berpelukan. Sungguh, aku sangat merindukan teman yang satu ini. Dialah Cristie, teman sekampusku dulu yang berkewarganegaraan Malaysia. Dia pernah tinggal lama di Indonesia. Ibunya seorang Tionghoa. Ayahnya bersuku Batak. Dia menempuh jenjang pendidikan SMA di Sibolga, kampung ayahnya, lalu melanjutkan kuliah di Padang. Setelah diwisuda, dia pulang ke China. Di situlah akhir perjumpaan kami.
Aku melepas pelukan Cristie setelah beberapa menit. Rindu yang mendalam tak bisa dipungkiri menggores di jiwa. Dia sama seperti Citra dan Rahmi. Salah satu sahabat terbaik yang aku miliki. Tanpa basa‐basi, dia langsung menuntunku menuju mobil. Semua barang‐barangku dimasukkan ke dalam bagasi. Dia mengendarai mobilnya sendiri tanpa memberitahukan
kepadaku ke mana dia akan membawaku.Mobil melaju sembari kami asyik mengobrol. Dua tahun lebih tidak bertemu, tentulah segudang cerita banyak di otakku. Beberapa topik pribadi kami berdua tentu menjadi ladang utama. Hingga tak terasa, sampailah kami di sebuah apartemen indah dan elok. Cristie menyebutnya kondo dalam bahasa Malaysia. Gedungnya tinggi, menawan, sungguh membuatku tercengang. Aku tidak pernah membayangkan akan tinggal di sini. Ruangannya tertata rapi dan bersih. Ada 3 buah kamar tidur dan 2 buah kamar mandi. Luas sekali.
"Mulai hari ini, kamu bisa menempati kondo ini. Juga ada mobil untukmu di parkiran."
"Thank you, Crist, tapi kenapa apartemen ini besar sekali? Aku khawatir tak bisa bayar sewanya."
"Tidak perlu khawatir. Ini kondo milik keluargaku. Oh, ya. Ngomong‐ngomong, kengapa kamu memutuskan pindah ke sini? Beberapa bulan yang lalu, aku minta kamu bantu butikku di sini, kamu menolak," ucapnya dengan bahasa Indonesia fasih.
Aku terdiam beberapa detik. Sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat untuk berkata jujur. Dia terlihat sangat bahagia. Jika aku sampaikan kisah yang sebenarnya, mungkin akan merusak harinya.
"Mungkin aku terlalu rindu padamu," lanjutku sembari tersenyum. Cristie membalas senyumanku.
"Okey. Kalau begitu, aku nggak mau tahu. Kamu harus bersedia membantuku di butik. Titik."
Ow...ow.. Tampaknya Cristie terlalu cepat mengambil kesimpulan. Dia berpikir kedatanganku ke sini untuk bergabung dengan butiknya. Memang beberapa bulan yang lalu, Cristie sempat memintaku membantunya di butik miliknya. Tapi karena kesibukanku sendiri, aku menolak. Sekarang aku harus merangkai sebuah kata‐kata bijak untuk menjelaskankan tujuan kedatanganku.
"Dif, kok melamun? Kamu mau bergabung, kan?" lagi dia bertanya dengan nada serius.
Aku kembali terdiam. Cristie tampak bersemangat sekali.Aku tidak tega mengecewakannya yang begitu berharap padaku.
"Okey. Akan aku pertimbangkan."
Hanya perkataan itu yang bisa aku ucapkan. Dan jawabanku itu sungguh memiliki arti besar dan mampu mengubah statusku setelah ini.
***
Pagi‐pagi sekali Cristie sudah bertengger di depan pintu kondoku. Tentu kedatangannya hari ini untuk mengajakku ke butiknya. Aku tidak cukup banyak mengenal negeri ini, dan mungkin saja akan tersasar jika pergi sendirian. Jarak antara butik dan kondo tidak begitu jauh, masih di kawasan Bukit Bintang.
Pukul setengah delapan, kami telah sampai di butik milik orang tua Cristie. Aku terpana. Gudungnya cukup besar dan tertata rapi. Beberapa karyawan tampak bersiap‐siap untuk membuka butik. Kami memasuki butik tersebut tanpa menghiraukan banyak pasang mata yang memperhatikan. Cristie yang merupakan pimpinan tertinggi sekaligus owner, tentu tidak ambil pusing dengan sikap karyawannya yang memperhatikan kedatangannya. Hanya aku yang merasa risih diperhatikan.
Sampai di depan ruang kerjanya, Cristie meminta kepada semua karyawan untuk berkumpul. Seorang pimpinan yang berfatwa, tentulah semua karyawan menurut. Cristie memperkenalkan aku sebagai seorang desainer kepada semua orang di depanku. Ah.., dia terlalu berlebihan. Dia menceritakan bagaimana kami bertemu dan butikku di Indonesia. Semua mata menatap dan memberikan tepukan tangan. Tapi sumpah. Ini berlebihan. Perkenalan selesai, semua karyawan kembali bekerja. Cristie mengajakku ke ruang kerjanya untuk menjelaskan historis singkat butiknya. Dia juga menjelaskan bagaimana keadaan butiknya saat ini. Kami pun berlanjut berkeliling untuk melihat‐lihat Aku merasa begitu terhormat.
"Dif, ini ruanganmu. Oke kan?" Aku terdiam. Jujur, niat utamaku ke sini bukan untuk bekerja. Aku datang ke sini untuk mencari adikku. Tapi aku juga tidak tega menolak tawarannya ini. Dia sangat berharap. Beberapa menit aku melamun. Cristie kembali mengagetkanku.
"Nad! Kamu keberatan ya?"
Aku tersadar. "Oh.., sama sekali tidak." Dalam hati, "Sangat, Cristie."***
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau Pertanyakan
SonstigesPesan itu menggetarkan Nadifa. Kak, tolong aku! Selamatkan aku! Aku disekap. Mereka buas seperti binatang. Mereka menjadikan aku pelayan nafsu setannya. Aku mohon, Kak. Selamatkan aku. Entah ke manakah mereka akan membawaku. Nadifa tak kuasa memba...