7. Pertemuan Tak Terduga (Part 1)

23 3 0
                                    

Sudah dua minggu aku di negeri ini. Sudah dua minggu pula aku bekerja sebagai desainer di Angela Boutique. Sebelum mimpi‐mimpi aneh dan surel itu datang mengganggu ketenangan otakku, aku tidak pernah memikirkan akan bekerja sebagai karyawan orang lain. Watakku yang keras kepala tidak cocok dengan pekerjaan itu.

Aku memang hanya cocok menjadi karyawan untuk bisnisku sendiri. Tapi kali ini, apa boleh buat. Aku memang harus mengalah. Membiasakan diri menerima pendapat orang lain dan mengikuti perintah atasan adalah hal utama yang harus aku biasakan. Aku seperti berubah menjadi orang lain.

Kemarin malam Cristie baru pulang dari kota Penang. Sejak tiga hari yang lalu, dia pergi ke luar kota untuk sebuah festival fashion yang sangat diidam‐idamkannya. Sejak itu pula, aku dibuat tak bisa melakukan apa‐apa untuk masalahku sendiri. Dia memintaku menggantikan pekerjaannya di butik selama ia pergi.

Untungnya semua beban itu sudah berakhir. Cristie sudah kembali dan kini tengah berdiskusi dengan divisi keuangan. Aku tidak ingin terlibat dengan permasalahannya. Aku kurang bersemangat. Sangat banyak unek‐unek di otakku yang belum kuselesaikan. Permasalahan utama yang menjadi tujuanku datang ke sini belum kukatakan padanya.

Kini pun, aku belum lagi mendapatkan apa‐apa. Yang kulakukan hanyalah membaca berita‐berita lama. Oh, otakku berpikir keras. Serasa sangat lelah memikirkannya. Aku mencoba mencari tahu, tapi bingung harus memulai dari mana. Terpikir untuk mengadukan kembali kasus ini kepada kepolisian, tapi aku ragu karena kasus ini sudah lama ditutup. Apa mungkin polisi akan memprioritaskan? Sementara aku tidak punya petunjuk lain kecuali pesan 2 tahun yang lalu.

Astaga, aku resah dibuatnya. Kutarik napas panjang, lalu kuhembuskan. Aku berusaha menenangkan otakku. Pikiran yang kacau membuat aku tidak menyadari lingkungan di sekitarku. Bahkan aku tidak menyadari kedatangan Cristie di ruanganku.

"Sedang apa, Dif?" tanya suara yang datang mendekat. Aku tak merespon suara itu.

"Difa, are you okey?" ucapnya lagi dengan suara yang lebih keras.

Aku terkaget. Kudapatkan kembali kesadaranku setelah sejenak bermenung di dunia khayal.

"Cristie! Oh, nggak kok. Bukan apa‐apa," ujarku meyakinkannya sembari menutup beberapa halaman web yang tadinya aku buka. Halaman web itu berisi berita lama.

"Oh, iya. Bagaimana fashion show kemarin? Seru?"

"Ya. Sangat menginspirasi. Sayang, kita bukan peserta," keluhnya.

"Ajang selanjutnya, butik kita pasti ikut andil."

"Ya. Aku juga berharap begitu."

Bibirku tersenyum sesaat, namun tidak lama. Aku tidak begitu tertarik untuk tersenyum. Rasanya ingin segera membahas tentang Adila kepada Cristie dan meminta bantuannya.

"Cris, bolehkan aku bicara serius? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ucapku padanya.

Belum lagi selesai aku bicara, ponsel Cristie berbunyi.

"Sebentar ya, Dif. Aku angkat telepon dulu."

Cristie mengangkat teleponnya dan meninggalkan aku yang belum selesai bicara. Namun saat kembali, suaranya memonopoli pembicaraan kami.

"Dif, aku mendapat telepon dari Bagus. Ada masalah di studio pemotretan. Sepertinya salah satu dari kita harus pergi ke sana deh! Aku nggak mau ada penundaan jadwal lagi."

Ya Ampun. Masalah apalagi sekarang. Aku baru akan bicara serius, tapi sudah ada masalah baru.

"Okey, biar aku saja yang ke sana," tuturku.

"Thank you, Dif."

Aku bersiap menuju studio pemotretan. Tak teringat lagi untuk menyampaikan curhatanku kepada Cristie. Masalah yang muncul di studio pemotretan membuat aku melupakan
masalah pribadiku sejenak.

Kini mobilku melaju dengan kecepatan normal untuk menempuh jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Lima belas menit waktu aku habiskan untuk sampai di lokasi pemotretan itu. Aku bisa saja menempuhnya dengan waktu lebih singkat karena lalu lintas tidak terlalu ramai. Tapi karena belum familiar dengan jalan, aku takut tersasar. Sempat aku bingung karena lupa arah jalan. Tapi syukurlah, aku sampai juga di sana.

Di depan studio, seorang karyawan telah menungguku. Wajahnya tampak panik. Dia amat tegang saat pertama aku menyapanya. Ada raut wajah kekhawatiran akan dimarahi oleh si bos yang paling anti dengan kesalahan. "No mistake" moto hidup Cristie. Dia tegas dan menyeramkan jika sedang marah. Dia selalu ingin hasil yang sempurna. Tapi permasalahan ini tampaknya akan menghambat hasil sempurna yang kami inginkan.

Kami dihadapkan pada permasalahan yang cukup serius. Bagus menjelaskan bahwa seorang model bernama Fatma tidak bersedia bekerja hari ini. Padahal di hari sebelumnya dia telah mengkonfirmasi kebersediaannya. Sudah berjam‐jam Bagus menunggu. Namun ketika
dihubungi, si model mengatakan tidak dapat bekerja hari ini karena ada ujian di kampusnya. Semua tim fotografi telah bersiap sedari tadi. Tapi jika modelnya tidak ada, bagaimana
akan melangsungkan pemotretan. Bagus telah mencoba mencari beberapa model lain, namun tak mendapatkan solusi memuaskan.

Aku geleng‐geleng kepala. Bagaimana Cristie bisa bekerja sama dengan seseorang yang tidak professional? Sungguh, aku sangat kesal. Bisa aku bayangkan bagaimana jadinya jika Cristie yang berada di sini. Dia pasti akan mengamuk. Aku mencoba bersikap tenang dan mencari alternative lain. Sayangnya aku tak punya ide brilian. Aku semakin risau. Kuputuskan untuk membuat panggilan pada Cristie.

Tut...tut.. Ponsel itu bergetar. Tidak lama, Cristie mengangkat panggilanku.

"Halo Cris. Sepertinya kita punya masalah serius. Pemotretan hari ini tampaknya harus ditunda dulu. Fatma tiba‐tiba saja membatalkannya. Aku harus bagaimana?"

Mendengar keluhku, Cristie menepuk mejanya. Aku mengetahuinya ketika suara tepukkannya terdengar melalui ponsel.

"Coba hubungi model lain, Dif," jawabnya dingin.

"Bagus sudah menghubungi semua model yang dia kenal.

Tapi tak ada yang bersedia."

"Aduh!," ketus Cristie. Beberapa saat dia tidak bicara.

Aku juga belum kembali bicara. Pikiranku mengatakan, Cristie sedang mecoba mencari solusi. "Kenapa ini bisa terjadi, Dif? Bukannya semuanya sudah beres," ujarnya dengan nada yang
lebih melunak.

"Fatma yang kemarin telah mengkonfirmasi, tiba‐tiba saja membatalkan semuannya. Alasannya, ada perubahan jadwal ujian di kampusnya yang tidak bisa ditinggalkan.
Bagaimana? Kita tunda dulu?"

"Nggak, Difa. Kita terlalu sering menunda seperti ini. Aku nggak mau gagal lagi."

"Tapi kita tidak punya model," ucapku membuatnya terdiam.

Beberapa saat Cristie kembali diam. Dia terdiam sementara aku terus bicara. "Cris, kamu masih bisa mendengarku? Cristie?"

"Iya, aku dengar. Aku sedang berpikir. Atau.... kenapa tidak kamu saja yang jadi model kita?" tuturnya mengagetkanku.

"What...?"

***


ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau PertanyakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang