12. Tentang Hari Itu (Part 1)

21 4 0
                                    

Bag. 12

 Agustus, dua tahun silam...

"Nad, semangat ya. Kamu pasti bisa," ujar Citra menyemangatiku.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Huft... Jantungku berdebar kencang. Tanganku mulai dingin karena tegang. Hari ini adalah jadwal sidang skripsiku yang sudah diatur oleh kampus. Sedari pagi, Citra dan Rahmi sudah sibuk membantuku menyiapkan segala kebutuhan. Cristie sudah lebih dahulu menyelesaikan kuliahnya. Dia beruntung bisa tamat dalam waktu tiga setengah tahun dan kembali ke negaranya.

Jam menunjukkan pukul 13.00 ketika aku memasuki ruangan sidang. Mendebarkan dan sangat dramatis. Lima orang dosen menjadi penguji yang akan menentukan nasibku sesudah ini. Kini aku akan mempertaruhkan segala perjuanganku selama ini. Waktu berlalu dengan cepat. Dua jam telah berlalu tanpa kusadari. Aku masih belum keluar juga dari ruangan sidang. Citra dan Rahmi masih begitu setia menungguku di luar. Mereka terlihat cemas. Tapi tidak lama setelah itu, aku keluar. Pintunya kubuka dengan langkah pelan sambil menunduk. Tapi secara menggebu‐gebu, aku langsung melompat dan memeluk mereka.

"Ami, Citra, aku lulus. Aku lulus," teriakku bersemangat. Teman‐temanku yang sedari tadi menunggu di depan ruangan langsung mendekat.

"Alhamdulillah, Nad," tutur Rahmi memelukku. Aku menyambut pelukannya erat. Citra yang juga berada di samping kami ikut memeluk.

"Itu berarti, September ini kita bertiga akan wisuda bersama. Waw... keren," teriak Citra.

Aku mengangguk. Sumpah, rasanya perasaan haru ini tidak bisa dijelaskan. Beberapa teman‐teman sejurusanku satu per satu datang untuk memberiku ucapan selamat. Betapa bahagianya. Semua kelelahan siang malam yang aku rasakan terbayar sudah. Nilai terbaik menjadi milikku ketika Pak Anwar mengatakan kalau aku lulus dengan nilai terbaik. Ya Allah, aku tidak pernah menyangka akan mendapat pujian dari dosen‐dosenku, bisikku dalam hati. Tiba‐tiba aku terpikir sesuatu yang janggal.

"Davit mana?" tanyaku kepada semua yang mendengar. Citra dan Rahmi saling pandang, kemudian geleng‐geleng kepala. Mereka berdua sama‐sama tidak tahu keberadaan
Davit. Memang sejak tadi pagi, aku dan Davit tidak saling memberi kabar. Kemarin sore ponselku hilang di angkot. Hal itu membuat kami sulit memberi kabar.

"Dia nggak telfon kalian?"

"Nggak. Memang dia bilang akan ke sini?" tanya Rahmi lagi.

"Nggak sih. Tapi seharusnya dia datang." 

"Nggak perlu dicemaskan. Nanti juga dia muncul sendiri," jawab Rahmi dengan nada agak cetus. Memang sejak lama,

Rahmi kurang suka jika aku bicara tentang Davit. Entah apa alasannya, aku juga kurang tahu.
Akhirnya aku putuskan meminjam ponsel Rahmi untuk menelepon Davit. Aku cukup heran kenapa dia tidak menghadiri sidangku. Semua teman‐temanku datang memberi semangat dan hanya dia saja yang tidak datang. Kubuat panggilan kepadanya. 

Tut... tut... Panggilan itu tersambung, tapi tidak ada jawaban. Kembali aku ulangi panggilannya, tapi masih tidak ada jawaban. Okey. Mungkin dia sedang sibuk, pikirku.
Kini aku terpikir pada ayah dan ibu. Sidangku yang sukses ini harus kuberithukan kepada orang tuaku. Dengan masih menggunakan ponsel Rahmi, kubuat panggilan tertuju pada orangtuaku. Panggilanku terhubung. Ayah mengangkatnya.

"Assalamualaikum. Ayah, Difa lulus. Difa lulus, Yah," tuturku tergesa‐gesa.
"Waalaikum salam. Alhamdulillah, Nak," jawabnya terbata.

Jantungku berdegup. Entah apa yang terjadi, yang jelas perasaanku berkata lain. Suara ayah terdengar aneh. Terdengar tidak begitu senang. Pikiranku mulai bercabang.

"Ayah. Ada apa? Kenapa kedengarannya tidak senang begitu?" tanyaku penasaran.

"Ayah...senang, kok. Ayah baik‐baik saja. Kamu jangan khawatir. Kami selalu mendoakanmu."

ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau PertanyakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang