10. Salah Paham (Part 1)

22 2 0
                                    

Bag. 10

Langit sangat indah hari ini. Awan sirus menggantung tinggi berserat seperti bulu burung atau gulali putih. Keindahan hari bagai gayung bersambut dengan normalnya aktivitas di butik. Fatma telah menemui Cristie untuk minta maaf. Awalnya Cristie marah besar padanya. Namun setelah Fatma menjelaskan alasannya berbuat begitu, kemarahan Cristie sedikit mereda.

Barusan Cristie mendatangi ruanganku. Dia menyebutkan ada projek baru untuk kami. Aku senang mendengarnya. Segala yang terbaik untuk Angela Boutique, aku mendukung. Namun kembali hari ini Cristie meminta bantuanku untuk menemui klien ini. Alasannya karena klien ini datang dari Indonesia. Okelah. Aku tidak menolak. Aku belum pernah bertemu orang Indonesia selama di sini. Jadi aku sedikit bersemangat.

"Aku pergi. Nanti kalau terlambat, kita disangka tidak kompeten."

Sebenarnya aku merasa terjebak di situasi ini. Hari‐hariku banyak aku habiskan untuk bekerja. Jujur, bukan ini yang aku inginkan. Tapi mau bagaimana lagi. Benda dah jadi, kata orang Malaysia. Beberapa menit saja, aku telah sampai di kafe Victoria, tempat perjanjian kami. Langkah membawaku memasuki kafe mewah berdesain klasik ini. Makanan Malaysia menjadi
khasnya. Ada nasi lemak di sini. Kupandang dari sudut ke sudut setiap pelosok kafe. Siapa tahu si klien yang dimaksud sudah datang lebih dulu. Namun saat kupandangi, tidak ada seorang berdasi pun atau wanita berpakaian formal yang duduk di sana. Kebanyakan hanyalah muda‐mudi yang tengah berduaan. Tampaknya klien yang dimaksud belum datang.

Aku putuskan untuk duduk lebih dulu di salah satu meja. Pelayan kafe menghampiriku dan menanyakan pesanan. Aku hanya memesan minuman karena sedang menunggu seseorang. Jam telah menunjukan pukul dua siang. Klien itu belum muncul. Tak lama berselang, seseorang berpakaian biasa datang menghampiriku. Dia lelaki, tak begitu tinggi, bertubuh kurus, dan memakai kaos berwarna abu‐abu. Dalam sekali pandang saja, aku langsung mengenalinya. Seseorang yang sangat aku kenal dengan baik. Aku tercengang. Darahku seakan mendidih sampai ke ubun‐ubun. Kenapa dia bisa ada di sini? Apa yang Cristie rencanakan?"

"Nadifa! sapanya padaku.

"Kamu! Maaf, saya sedang menunggu seorang," tuturku cetus.

"Orang yang kamu tunggu adalah saya, Nadifa."

"Maksudnya?"

"Dua hari yang lalu, saya melihat kamu di sebuah butik. Ternyata butik itu milik Cristie. Aku minta bantuan Cristie untuk bertemu kamu."

"Haaah," aku buang muka. "Jadi ini jebakan kalian?" keluhku dengan perasaan kecewa yang membara. Teringat hari itu Cristie tengah berbicara dengan seseorang di depan butik. Gerak geriknya cukup mencurigakan. Tapi aku tidak menyangka jika itu Davit, mantan kekasihku.

"Saya terpedaya lagi. Sungguh, saya tidak suka cara kalian. Saya permisi," tegasku sembari bangkit untuk berdiri. Tidak ada lagi suara lembut dari seorang Nadifa. Tidak ada juga senyuman manis yang terpajang. Yang tersisa hanyalah rasa marah yang berkecamuk. Ingin sekali kutemui Cristie saat ini juga untuk menanyakan hal ini padanya. Mengapa dia tega sekali membohongiku. Ini bukan saatnya untuk bercanda. Ini tidak lucu sama sekali.

"Tunggu, Difa. Tunggu! Saya ingin bicara denganmu. Cristie tidak salah apa‐apa. Saya yang meminta dia untuk melakukan ini. Saya tahu, kamu pasti akan marah dan tidak ingin bertemu saya lagi. Karena itu saya meminta bantuan Cristie. Saya mohon, duduklah sebentar."

"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Antara kita sudah tidak ada apa‐apa. Kamu yang memutuskan hubungan kita dengan alasanmu. Tidak ada lagi yang harus dibicarakan."

"Maafkan saya, Difa. Maksud saya bukan seperti itu."

"Lalu apa? Tanpa pertengkaran apapun, kamu putuskan hubungan kita yang saat itu baik‐baik saja dengan sebuah pesan gila. Kamu bilang kalau kamu bosan. Kamu mau kita break. Tahukah kamu bagaimana saya menghitung hari dan menggarisi kalender untuk menunggu kamu? Waktu 6 bulan terasa sangat lama, Davit. Tidak sekali pun kamu menghubungi saya. Pesan saya tidak pernah lagi terkirim padamu. Kamu menghilang bak ditelan bumi. Tapi saya masih menanti kamu."

"Maafkan saya, Difa. Saya tahu, saya sudah menyakiti kamu."

"Tidak perlu minta maaf. Saya baik‐baik saja sekarang."

Setetes air mataku jatuh karena amarah. Airnya terasa mengalir membasahi pipi. Rasanya aku tidak rela menjatuhkan air mata ini untuk lelaki seperti dia. Davit bukan siapa‐siapa lagi yang boleh aku tangisi. Davit diam mendengarkan kemarahanku. Aku juga tidak lagi bicara. Kami berdua hanya terdiam. Situasi menjadi hening. Banyak orang yang sepertinya mendengarkan pembicaraan kami, sehingga kami menjadi pusat perhatian. Aku tidak nyaman. Kuteguk seluruh minuman di gelas, lalu berencana untuk meninggalkan Davit di sini. Tapi dia menahan tanganku. Aku pun berontak. Aku tidak rela dia menyentuhku.

"Maaf, saya tidak bermaksud lancang. Saya hanya ingin minta maaf."

"Sudah saya maafkan."

Selepas berucap kalimat itu, aku bangkit meninggalkan meja. Davit mengejarku.

"Saya berharap kita masih bisa berteman. Kita mengenal dengan cara baik‐baik. Biarlah berakhir dengan baik‐baik pula. Saya akan antar kamu kembali."

"Saya bawa mobil. Tidak perlu diantar."

"Izinkan saya yang menyetirkan mobilmu hingga butik. Ada banyak hal yang terjadi. Please, dengarkan saya sebagai teman. Hanya sebagai teman."

***

ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau PertanyakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang