Pagi, siang, dan malam aku perhatikan kotak wasiat pemberian Rania. Coretan‐coretanku melengkapi keruwetan masalah ini. Aku memiliki sebuah papan tulis dari kaca atau yang orang sebut glassboard untuk menempelkan setiap foto yang kudapatkan. Sudah seperti detektif sungguhan saja. Atau malah mirip aktor Kim So Yeon pada drama korea Two Weeks, yang kala itu berperan sebagai seorang jaksa.
Semua gambar kutempel pada papan itu, lalu kutarik alur per alur berdasarkan waktu foto yang tertera di sana. Aku dibuat semakin ruwet. What happened to Wijaya and Meli. Ada dua orang lain yang hilang dalam kisah ini. Dan mereka berdua memiliki hubungan dekat dengan Adila.
Bagaimana mungkin mereka bertiga bisa hilang bersamaan? Aku tulis di papan itu menggunakan spidol merah.
“Di mana kalian bertiga sekarang?”
Hari ini Davit datang lagi ke butik untuk sekadar menyapa setelah beberapa hari dia tidak muncul. Curhatnya, dia lelah dengan rutinitasnya beberapa hari ini. Ada festival besar dan kegiatan budaya di luar kota yang pasti memancing keramaian umat. Kodratnya sebagai seorang padagang, di mana ada bibit rezeki, di sanalah ia akan pergi. Davit datang membawakan makanan untuk kami. Beberapa donat dan burger dia bawa khusus kami dan staf. Cristie yang blak‐blakkan tidak menolak. Dia langsung mengajak Davit ke pantry untuk makan siang. Aku masih sedikit risih dengan kehadiran Davit. Tapi mau bagaimana lagi. Hanya sebagai teman.
Davit terkaget saat Cristie katakan tentang insiden yang menimpaku beberapa minggu yang lalu. Dia cukup shock dan tidak percaya melihat aku yang hari ini sudah kembali bekerja.
“Dif.., maaf aku tidak ada di saat kamu susah,” tuturnya agak mengiba. Aku tersenyum saja. Dalam otak, “Kamu hanya mantan. Tidak perlu berlebihan.”
Tapi tentu itu hanya dalam otakku saja. Bisik setan di otakku.“It’s Ok, Vit. Aku baik‐baik saja,” jawabku.
“Lalu, sekarang kamu sudah benar‐benar sehat? Suamimu bolehkan kamu bekerja?”
“Sudah sebulan, Vit. Okey lah.”
Sebagai permohonan maaf, Davit mengajakku dan Cristie makan malam di rumah bosnya. Dia ingin memperkenalkan kami dengan saudagar Minang yang telah banyak membantunya selama ini. Inti dari ajakan Davit ini untuk membuatku percaya bahwa ceritanya hari itu benar. Saudagar itu saksi perjuangannya di tanah jiran ini. Tapi....
“Maaf, Vit. Aku ragu bagaimana menjawab permintaan ini. Cristie sih, tidak masalah. Namun bagiku, aku agak sulit memenuhi undanganmu. Aku belum izin kepada suamiku. Dia juga belum bertemu kamu. Sejak kecelakaan itu, aku belum pernah lagi keluar malam. Bang Rama pasti tidak mengizinkan,” jawabku.
“Sumpah, Dif, aku tulus. Aku tidak berniat mengacaukan rumah tanggamu kok,” jawab Davit.
“Iya, aku tahu. Tapi untuk makan malam, rasanya berlebihan. Kalau kamu memang menganggap aku teman, bantu aku!”
“Bantu apa?” “Ada seseorang yang ingin aku cari. Namanya Wijaya Aldiansyah. Dia dulu seorang mahasiswa di sini. Tapi sayangnya, aku tidak tahu dia di mana. Bisa tolong mencarikan di mana keberadaannya, nggak?” tanyaku.
“Wijaya Aldiansyah! Okey, aku akan coba bantu. Aku punya banyak teman‐teman di sini. Tapi, apa ada informasi lain, nggak? Kalau hanya nama, banyak orang bernama sama.”
“Sayangnya aku tidak punya. Aku juga tidak tahu dia kuliah di mana. Sangat minim informasi!” jawabku.
“Dia siapa, Dif?” tanya Cristie yang memang tidak tahu apa‐apa.
“Kekasih Adila,” jawabku.
“Oh. Kamu punya fotonya?”Aku mengangguk, lalu menggeleng. Aku coba mengingat‐ingat foto yang Rania berikan padaku. Memoriku masih menyimpan wajah Wijaya. Sayangnya, semua foto itu sudah aku tempel di papan kaca. Aku sangat menyesal.
Kuletakkan kepalaku di atas meja sembari mengomel dan mengeluh. Davit dan Cristie memperhatikan sikapku yang mungkin terlihat seperti anak-anak.
“Difa, kalau aku tidak salah lihat, tadi ada foto yang aku tidak kenal di dalam diarimu,” seru Cristie.
Aku mengangkat kepalaku.
“Foto yang mana?”
“Foto dalam diary. Tadi pagi aku ke ruanganmu. Aku lihat, ada diary di atas meja. Aku pikir diary kamu, ternyata bukan. Saat aku buka, dari dalamnya jatuh sebuah foto. Karena aku nggak tahu itu siapa, ya aku taruh lagi di sana.”Tanpa pikir panjang, aku langsung bertolak ke ruanganku. Aku temukan foto yang dimaksudkan Cristie. Qadarullah, ada satu foto kebersamaan mereka. Setelah menemukannya, aku kembali ke tempat Cristie dan Davit berada.
“Aku punya foto mereka,” ucapku memperlihatkan foto yang aku dapatkan.
“Yang sebelah kanan adalah Wijaya dan yang di kiri adikku.”Cristie dan Davit mengamati foto tersebut. Sepertinya selain wajah, foto itu juga bisa menunjukkan tempat keberadaan.
“Dif, coba kamu amati. Sepertinya mereka berdua berfoto di depan sebuah kampus. Ada tulisan Fakultas Teknik di background‐nya,” tambah Cristie menunjuk tulisan yag dilihatnya.
Waw…, hari ini Cristie benar‐benar brilian. Dia bisa mengamati dengan lebih saksama. Memang benar tertulis Fakultas Teknik di sana. Aku mencoba memastikan, apakah ini masih di kawasan University of Malaya atau bukan.
Dalam ingatanku, gedung Fakultas Teknik di University of Malaya tak serupa dengan gedung ini. Aku masih sangat mengingatnya, karena beberapa waktu yang lalu, aku baru saja mengunjungi kampus itu. Aku sangat yakin, bangunannya memang tidak sama.
“Cris, aku tidak yakin ini University of Malaya. Tidak seperti ini gedungnya. Mungkinkah ini kampus Wijaya?” ucapku.
“Maybe. Sebaiknya kita tanya karyawan. Mereka rata-rata lulusan universitas dalam negeri. Siapa tahu ada yang kenal,” jawab Cristie sambil membuka makanan yang di bawa oleh Davit.“Brilian.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau Pertanyakan
LosowePesan itu menggetarkan Nadifa. Kak, tolong aku! Selamatkan aku! Aku disekap. Mereka buas seperti binatang. Mereka menjadikan aku pelayan nafsu setannya. Aku mohon, Kak. Selamatkan aku. Entah ke manakah mereka akan membawaku. Nadifa tak kuasa memba...