15. Menyeka Sebuah Jejak (Part 2)

3 0 0
                                    

Seketika itu juga, penglihatanku kabur. Bayang‐bayang menyamarkan semua rupa makhluk yang kulihat. Terasa saat itu aku sedang berdiri di atas aspal hitam yang nyaris terbelah ketika gempa bumi dahsyat mengguncang Kota Padang. Aku tak sanggup berdiri tegak. Aku ambruk. Kesadaran direbut tanpa izinku. Kejadian setelahnya tak terekam lagi oleh memoriku. Hanya cerita Cristie yang membuatku tahu apa yang terjadi setelahnya. Katanya, sekerumunan orang memadati jalan saat aku tertabrak.

Mereka membawaku ke rumah sakit dan segera menghubungi Cristie karena Cristie adalah panggilan terakhir di kontak ponselku. Cristie merasa kacau. Tidak ada seorang pun yang aku punyai selain dia. Dia terpaksa mengambil keputusan penting agar aku dapat bertahan. Operasi pun tidak ditolak.

"Lakukan penanganan terbaik. Saya satu‐satunya keluarganya di sini," instruksi Cristie kepada tim medis.

Kondisiku sempat mengkhawatirkan selama 3 jam meski operasi berlangsung lancar. Aku tersadar kembali ketika rembulan telah berkuasa di jagat malam. Oh, sang mentari meninggalkanku. Dia tak seperti Cristie yang sabar menungguiku layaknya seorang ibu. Aku tak melihat ada orang lain di sampingnya, hanya dia dan bayangannya.

"Cris, aku di mana?" tanyaku dengan suara pelan kali pertama membuka mata.
"Kamu di hospital. Syukurlah kamu sudah sadar. Kamu jangan bicara dulu. Akan kupanggilkan dokter untuk memastikan kondisimu."

Cristie meninggalkanku untuk memanggil dokter. Tidak lama, dia kembali lagi bersama beberapa tim medis. Dokter memeriksa keadaanku. Dari semua percakapan yang dokter ucapkan kepada Cristie menggunakan bahasa melayu, aku tahu bahwa kondisiku saat ini sudah cukup stabil. Namun mentalku harus lebih dikuatkan. Begitu ucapan dokter yang aku pahami. Cristie pun mengangguk dan dokter meninggalkan kami.

"Apa yang terjadi padaku, Cris. Mengapa aku di sini?" tanyaku lagi.
"Kamu kecelakaan, Difa. Orang‐orang membawamu ke sini. Kamu ke mana saja sih? Mereka menemukanmu di sekitar Jalan Bulan. Apa yang kamu lakukan di sana?" tanyanya balik.

Aku coba mengingat sedikit demi sedikit. Mengumpulkan kembali kepingan‐kepingan memori yang telah bertaburan. Namun sayang, tak semudah itu melakukannya. Aku lupa detik‐detik kecelakaan itu. Aku berusaha keras, namun hal itu membuat kepalaku terasa sakit. Aku sedikit merintih.

"Sudah, jangan dipaksakan. Lebih baik kamu beristirahat," ungkap Cristie yang melihat aku sedikit menahan sakit di kepala. Kutatap wajah Cristie. Terlihat lebam di matanya. Seperti seseorang yang habis menangis.

"Kamu habis menangis ya?" tanyaku padanya.
"Tidak," jawabnya mengelak. Jawaban Cristie membuatku semakin yakin bahwa telah terjadi sesuatu denganku.
"Apa terjadi sesuatu denganku, Cris?" ucapku lagi.
"Nggak ada. Tidak perlu khawatir. Aku hanya ingin minta maaf saja. Aku mengingat pertengkaran kita tempo hari. Aku tidak ingin kita bertengkar," ucapnya lagi.
"Aku juga minta maaf karena sedikit menjaga jarak darimu. Tidak seharusnya aku begitu," tuturku berkeluh kesah.
"Cris, sepertinya mobilmu aku parkir di pinggir jalan sekitar Jalan Bulan."

Mendengar tuturanku, Cristie tersenyum. Dalam kondisi ini, yang aku ingat bukannya bagaimana aku bisa tertabrak, namun mobil yang terparkir.

"Aku sudah minta Bagus untuk membawanya ke butik. Kamu sempat‐sempatnya membicarakan mobil," balasnya.
Aku tersenyum. Aku coba memejamkan mataku untuk beristirahat. Aku ingin mengingat apa yang terjadi padaku. Namun sayangnya, mata ini tidak mau terlelap. Aku tidak bisa tertidur.
"Kamu jangan banyak pikiran, Dif. Istirahat. Aku akan hubungi orang tuamu."
"Jangan!" tuturku dengan mata berbinar. Beberapa saat Cristie terdiam.
"Okey, aku mengerti. Aku keluar sebantar ya. Beli makanan. Aku lapar banget. Kamu tidurlah," ucapnya. Cristie meninggalkanku sendirian.

Aku mencoba menuruti keinginanny untuk beristirahat. Namun, tubuh yang masih lemah ini sulit sekali mengikuti keinginanku. Masih terasasakit di sekujur tubuhku. Masih tidak bisa tidur meski telah aku paksakan. Akhirnya kucoba mengingat kejadian tadi pagi. Beberapa menit mencoba, aku merasa sedikit memori tibatiba mampir diingatanku, meski memori itu berantakan. Darah.

Aku mengingat ketika darah mengalir hingga mata kaki. Sesaat pikiranku menjadi kacau. Aku hubungi Cristie dengan ponselku yang berada di atas meja. Aku memintanya segera kembali. Cristie pun menurut. Tidak lama, Cristie muncul.

"Ada apa, Dif?"
"Kamu jujurlah padaku. Apa yang terjadi padaku."
"Tidak terjadi apa‐apa," bantahnya mengelak.
"Aku mengingat ketika darah mengalir dari pangkal pahaku. Kamu jangan berbohong. Katakan padaku, Cris. Apa terjadi sesuatu padaku?" Cristie terdiam. Aku dapat melihat dia menarik napasnya. Dia berusaha mencari cara agar tidak mengganggu kesehatan mentalku.

"Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi apa kamu ingat kapan terakhir kamu datang bulan?"
"Maksud kamu apa?"
"Apa kamu tahu kalau kamu mengandung? Ada janin di rahimmu. Usianya masuk minggu kelima. Dan kecelakaan tadi, telah membunuhnya. Terjadi benturan keras di bagian perutmu."
Aku kaget tak percaya.
"Apa..? Aku hamil dan keguguran?" Cristie mengangguk. Reaksinya membuat aku mematung.

Setetes demi setetes air mata jatuh membasahi pipi. Air mata ini terus menerus jatuh meski aku ingin sekali berhenti menangis. Tidak pernah aku mengetahui atau pun mencurigai keterlambatan menstruasi ini. Kini aku baru tahu, ada janin di rahimku. Doa yang lama aku pinta telah dikabulkan, tapi aku melakukan kesalahan besar padanya. Aku menyia‐nyiakan titipan Allah padaku.

"Cris, apalagi yang dokter katakan padamu?" tanyaku lemah.
"Dokter tidak bilang apa‐apa. Hanya itu saja. Sabar ya Dif."

Tubuhku melemah. Rasanya tak kuat untuk digerakkan. Belum lagi satu masalah terselesaikan, sekarang aku harus menerima kenyataan perih lain. Aku kehilangan janinku, sebelum aku tahu dia hidup di rahimku. Terisak‐isak suara tangisku. Aku merasa menjadi manusia bodoh di dunia. Cristie berusaha menenangkanku. Dia memeluk tubuhku dan mendekapku di dadanya. Aku tak sanggup bicara. Tiba-tiba emosiku tidak terkontrol. Aku menangis dan berteriak keras. Suara kerasku memecahkan kesunyian hari ini. Cristie menjadi panik. Dia terpaksa kembali memanggil tim medis. Tak lama mereka datang dan menanganiku.

Aku tidak tahu apa yang mereka berikan padaku, aku tidak sadar lagi. Setelah beberapa jam berselang, aku kembali tersadar. Cristie masih sangat setia menjagaku berjam‐jam. Matahari sudah lama tenggelam. Itu artinya malam sudah sangat larut. Hampir seharian ini, aku tak menyadari pergerakan matahari.

"Cristie!" panggilku saat melihatnya tertidur di sofa.
"Difa, kamu sudah sadar?" Cristie bangun dan langsung mendekatiku. Tubuhnya yang tinggi langsung memeluk tubuhku. Aku tak menolak pelukannya.
"Cris, maafkan aku. Maafkan aku," ucapku tersedu‐sedu.
"Memang apa yang telah kamu lakukan? Aku tidak mengerti."
"Dua tahun yang lalu, Adila, adik semata wayangku menjadi korban di sebuah insiden pengeboman. Setidaknya itulah yang media katakan. Dia seorang mahasiswi cerdas yang tengah menuntut ilmu di sini. Kemampuan cemerlangnya membuat dia diterima di salah satu universitas ternama di Malaysia. Namun sebuah takdir kelam menghinggapinya, di saat aku bergembira ria menyelesaikan sidang skripsiku."

Aku membenarkan letak kepalaku di bantal ini.

"Kejadian meninggalnya Adila sempat membuat geger semua mahasiswa asal Indonesia yang berada di Kuala Lumpur. Pasalnya, tidak ada korban atas nama Adila yang teridentifikasi di peristiwa itu. Berminggu‐minggu aku dan orangtuaku bertahan di Malaysia untuk mencarinya. Namun hingga hari ini, berita itu menang."

Cristie terpana mendengarku. Dia tak tahu apapun tentang ini.

"Beberapa waktu yang lalu, aku membaca sebuah pesan mengejutkan darinya, yang telah dia tulis 2 tahun yang lalu. Pesannya seakan meremas‐remas jantungku. Dari pesannya, aku yakin Adila belum meninggal. Pasti telah terjadi hal buruk yang membuatnya menghilang. Aku datang ke sini bukan untuk membantumu, Cris, melainkan untuk mencarinya."

***

ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau PertanyakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang