13. Tentang Hari Itu (Part 2)

13 0 0
                                    

 Malam ini Rahmi dan Citra datang ke rumah. Mereka membawakan barang‐barangku yang sempat aku titipkan tadi siang. Sebelumnya aku telah menceritakan kepada mereka tentang kejadian menyakitkan yang baru saja menimpa keluargaku. Mereka juga shock. Hal yang paling
miris, hingga esok hari pun, belum ada kabar membahagiakan dari ayah. Satu‐satunya kabar yang ayah sampaikan hanyalah tidak ada nama Adila pada daftar korban selamat ataupun
korban meninggal. Naasnya korban yang tidak memiliki identitas sangat banyak. Sebagian lagi malah ada yang sudah tidak utuh. 

Naudzubillah...
Beberapa hari ini, Citra dan Rahmi setia bersama kami. Aku dan ibu tidak banyak bicara, hanya menangis di kamar, shalat, dan berdoa agar Tuhan mempermudah segala cobaan. Beruntung Citra dan Rahmi paham keadaan ini. Mereka berdua membantu menguatkan. 

Tapi ada yang aneh dengan hari‐hariku. Ke mana perginya Davit? Sejak hari sidang skripsiku, belum sekalipun dia menghubungiku. Mungkin dia juga belum tahu kalau aku sudah lulus sidang. Pastinya dia juga tidak tahu apa yang terjadi padaku hari ini. Penasaran dengan kabarnya, aku kembali membuat panggilan padanya menggunakan ponsel Rahmi. Namun kembali panggilanku tidak mendapatkan jawaban. Lagi aku mencoba, namun masih tidak ada jawaban. Aneh.

"Ada apa dengan Davit ya? Di saat seperti ini, aku butuh
dia," tuturku bicara sendiri.

"Kalian tidak bertengkar, kan?" tanya Citra.
Aku menggeleng.

"Lalu dia ke mana?" tanya Rahmi.

Aku mencibir dengan kedua bahu naik ke atas.

"Nggak perlu dirisaukan. Banyak yang lebih penting."

"Iya, Mi. Kamu benar. Bukan saatnya membahas dia
sekarang."

Beberapa saat, aku, Rahmi dan Citra hanya mengobrol hal‐hal ringkas tentang Adila. Bukan hal berat, hanya kebiasaan‐kebiasaannya yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Kami juga menbaca beberapa artikel terkait musibah itu. Beritanya cukup heboh. Sejak hari itu media di
sana ramai membicarakannya. Hanya aku yang begitu sibuk dengan skripsiku sampai‐sampai baru menyadari hal seperti ini.

Waktu berlalu. Kini jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku dan teman‐temanku sudah menyelesaikan shalat Isya. Rencananya kami bertiga akan tidur. Tapi tiba‐tiba saja,
ponsel Rahmi bergetar. Spontan Rahmi lansung menjangkau ponselnya.

"Nadifa, maafkan aku. Hubungan kita mungkin harus seperti ini. Aku..., aku mulai jenuh dengan hubungan kita. Entah apa yang salah, tapi aku yakin, ini kesalahanku. Aku ingin memperbaiki diri. Jangan hubungi atau mencariku. Aku akan kembali 6 bulan lagi jika kamu masih mau bertemu aku. Maafkan aku, Nadifa."

Rahmi terpana melihat pesan pada layar ponselnya. Penasaran, aku segera merebut ponsel itu. Aku kembali tergoncang. Belum satu masalahku terselesaikan, kembali sebuah masalah menghampiriku lagi. Ya Tuhan. Apalagi sekarang? Belum puaskah Kau uji aku?
Relungku terluka. Kali ini lukanya semakin dalam. Sempat kubuat panggilan kepada Davit untuk menanyakan maksud pesan yang dia kirimkan. Sayang, nomor itu tidak lagi aktif. Berkali dan berhari aku menghubunginya, dan tetap tidak ada jawaban darinya. Oh Tuhan. Aku tidak kuat menerima semua ini.


**  

ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau PertanyakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang