“Lalu kenapa kamu tidak cerita dari awal?”
Aku menunduk. Aku tidak yakin dengan jawabanku.
“Aku tidak ingin mengecewakanmu. Kamu tampak begitu senang dengan kedatanganku.”
“Astaga, Difa. Andai aku tahu dari awal, pasti aku akan membantu kamu mencari Adila. Dua tahun yang lalu, setelah menyelesaikan studi di Indonesia, aku pulang ke Cina dan menetap selama 1 tahun di sana. Andai kamu cerita sejak tahun itu, aku pasti datang ke Malaysia dan membantumu.”
“Maafkan aku. Aku benar‐benar minta maaf.”
“Sudahlah. Sebenarnya pun aku sudah tahu pasal hal ini. Suamimu sudah cerita panjang lebar padaku.”
“Suamiku?”Ternyata di saat aku belum sadarkan diri, Cristie yang panik dan bingung telah menghubungi suamiku. Mereka sudah bicara banyak hal di ponsel, termasuk alasan terbesar yang membuat aku datang ke Malaysia.
“Apa kamu juga cerita, bagaimana kondisiku padanya?”
“Tentu. Kamu tanggung jawab dia, kan?” Aku mengangguk.
“Dia pasti kecewa, Cris. Sudah lama dia menginginkan zuriat. Dia ingin punya anak. Tapi, aku tidak tahu apa yang Tuhan mau. Aku merasa Tuhan tidak adil padaku.”
“Difa, jangan berpikiran negatif pada Tuhan?”Aku menunduk. Suasana hatiku belum lagi membaik. Aku kembali memeluk Cristie dan belum ingin melepasnya. Dari luar, Cristie mendengar suara ketukan. Pintu kamar rawatku dibuka tanpa aku tahu oleh siapa. Aku tidak menyadari kehadiran orang lain di sini. Pandanganku ke arah yang berlawanan. Cristie menoleh ke arah pintu. Tampak seorang laki‐laki tegap berpakaian rapi dengan kemeja putih dan sepatu mengkilap.
“Nadifa!” suaranya mendekatiku.
Cristie mengangguk dengan maksud memperbolehkannya mendekat. Dia sudah menduga bahwa suamiku pasti akan datang.“Dif, ada Abangmu,” ucap Cristie mengagetkan. Aku kaget. Tak kuduga, Bang Rama akan datang secepat ini. Dia mendekatiku. Tampak kelopak matanya juga lebam. Aku yakin dia juga habis menangis. Aku peluk tubuh ayah dari janinku yang baru saja meninggal.
“Maafkan aku. Maafkan aku,” lirihku padanya. Tak ada kata‐kata lain yang bisa kuucapkan. Aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri.
“Nggak ada yang harus dimaafkan. Kamu tidak salah, Sayang,” jawabnya semakin erat mendekapku.
“Aku tidak tahu kalau dia ada di rahimku. Aku sibuk dengan diriku sendiri. Andai aku tahu, tentu aku tidak akan membiarkan mobil itu menabrakku. Aku membunuhnya,” ratapku lagi.Abang Rama tidak lagi menjawabku. Aku yakin dia sama terpukulnya sepertiku. Sudah satu tahun kami menunggununggu kehadiran seorang anak. Bukan sekali dua kali kami melakukan pemeriksaan ke dokter. Tapi apa boleh buat. Tuhan masih belum mempercayainya pada kami. Mungkin untuk saat ini, dia baru bisa menjadi tabungan. Aku masih harus sabar dan ikhlas. Setidaknya pernikahan kami masih seumur jagung. Jika Allah masih memberikan umur, berarti masih ada banyak waktu untuk kami. Masih ada kesempatan. Apalagi mulai bulan depan, abang akan pindah ke Malaysia. Aku punya lebih banyak hari dengannya. Banyak pasangan lain yang sudah puluhan tahun menikah, malah tidak diberikan kesempatan. Yang terpenting, jangan berhenti berdoa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau Pertanyakan
RandomPesan itu menggetarkan Nadifa. Kak, tolong aku! Selamatkan aku! Aku disekap. Mereka buas seperti binatang. Mereka menjadikan aku pelayan nafsu setannya. Aku mohon, Kak. Selamatkan aku. Entah ke manakah mereka akan membawaku. Nadifa tak kuasa memba...