11. Salah Paham Part 2

25 2 0
                                    

Bag 11.

Aku terdiam sejenak. Otakku mulai berpikir agak jernih. Mungkin, ada perlunya aku mendengar ceritanya, setidaknya sebagai teman. Singkatnya, kami meninggalkan kafe ini setelah aku membayar minumanku. Aku merasa cukup risih karena orang‐orang di sekitar memperhatikan kami. Bersyukur parkirannya tidak terlalu padat, sehingga tidak sulit untuk mengeluarkan mobil. Aku masuk ke mobilku dan Davit yang menyetirnya.

"Kenapa kamu bisa ke sini sih, Dif?" tanya Davit padaku.

"Katanya mau cerita. Kenapa nanya lagi?" jawabku jutek.

Sepertinya sisa‐sisa kemarahku belum padam.

"Baiklah. Saya cerita sambil kita jalan. Dua tahun yang lalu, kehidupan keluarga saya tidak seperti apa yang kamu bayangkan. Ayah diberhentikan dari pekerjaanya dan ibu mulai sakit‐sakitan. Saat itu saya tengah memperjuangkan skripsi saya. Namun karena masalah ekonomi, saya tidak dapat membayar uang semester lagi. Setelah di PHK, ayah bekerja sebagai buruh bangunan yang gajinya hanya cukup untuk makan sehari‐hari. Saya bekerja serabutan untuk
membantu perekonomian keluarga. Namun uang yang saya dapatkan hanya cukup untuk pengobatan ibu dan membantu biaya sekolah adik‐adik. Saya tidak bisa menceritakan ini sama
kamu, karena saya malu."

Aku menarik napas pelan. Aku benarkan kondisi keluarga Davit memang sulit.

"Setahun berlalu, ada seorang teman mengajak saya merantau ke sini. Dia punya kenalan yang bisa membantu kami di sini. Yang saya tahu, orang Minang banyak merantau ke Malaysia, dan gajinya juga cukup tinggi. Saya menyetujuinya. Niat saya waktu itu hanyalah 6 bulan. Setelah
itu, saya akan kembali untuk menyelesaikan kuliah."

"Karena itu kita putus?"

"Iya. Saya minta break selama 6 bulan. Lalu pergi ke Malaysia. Sebelumnya, saya tidak tahu banyak hal tentang Malaysia. Yang saya tahu hanyalah penghasilan di sini lebih besar daripada di kampung. Kami pun mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko. Hampir 1 bulan berlalu, kami harus menjalankan aturan yang berlaku untuk para pendatang yaitu perpanjangan paspor jika masih ingin tinggal di Malaysia. Saya tidak punya visa saat itu. Rasanya uang yang
kami hasilkan habis untuk pengurusan surat‐surat."

Davit menarik napasnya sesaat, lalu melanjutkan ceritanya.

"Di bulan ketiga, teman saya memberi ide untuk mematikan paspor dan tetap di Malaysia sebagai pendatang ilegal. Kami menyalahi aturan yang diberlakukan. Dan memang, kami mendapatkan uang yang cukup untuk bisa dikirim pulang. Namun ternyata, kenikmatan yang kami dapatkan tidaklah selamanya. Ada razia dari police untuk mencari dan memenjarakan para pendatang ilegal yang ada di Malaysia. Kami terpaksa harus berpindah dari satu tempat
ke tempat lain."

"Kamu tertangkap?"

"Hampir. Tapi saya berhasil kabur. Saya kapok menjadi pendatang ilegal, tapi saya juga tidak punya uang. Saya takut dipenjara dan dipulangkan dengan tidak terhormat. Beruntung kami ditolong oleh seorang saudagar kaya. Dia keturunan Minang dan memiliki bisnis makanan Turki. Dialah yang membantu kami mengurus visa, memberikan tempat tinggal, dan pekerjaan. Sekarang saya bekerja dengannya sebagai pedagang kebab."

"Okey, saya paham. Sangat paham. Kamu putuskan hubungan kita karena materi, benar kan?"

"Saya merasa tidak pantas, Difa."

Emosiku kembali tidak dapat terkendalikan. Seakan‐akan tidak terima dengan alasan Davit.

"Okelah, maaf! Kita sudah sepakat untuk berteman. Mungkin apa yang kamu pikirkan, tidak sama dengan yang saya pikirkan."

"Keadaan saya sangat memprihatinkan saat itu, Difa. Saya takut tidak bisa membahagiakan kamu. Karena itu saya lepaskan kamu, meski sampai kapanpun juga, saya menyesali semuanya," ucapnya pelan.

Aku buang pandanganku dari Davit. Saat ini jendela dan sisi jalan lebih menarik untuk kupandang.

"Dif, tinggal di mana?"

Aku tak menjawab.

"Tinggal sama Cristie?"

Aku menggeleng.

"Kamu sudah punya orang lain?" lanjutnya menginterogasiku. Kali ini aku menolehnya beberapa detik, lalu mengangguk mengiyakan.

"Orang Malaysia?

"Bukan. Masih orang Indonesia."

"Kerja di mana?"

"Untuk apa kamu mau tahu?"

"Nggak. Hanya memastikan kamu baik‐baik saja."

"Saya sudah menikah, Davit," ujarku sembari memperlihatkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisku.

Spontan Davit menginjak keras pedal rem. Aku kaget dan keningku terbentur. Seketika itu juga, mobil berhenti mendadak. Beruntung tidak ada mobil lain yang melaju kencang di belakang kami. Jika ada, tentulah mobil ini akan tertabrak.

"Menikah?" tanya Davit seakan tidak percaya. Dia terlihat begitu tergoncang mendengarku.

"Sudah satu tahun."

Davit menarik napasnya sebelum mobil itu kembali dijalankan. Dia banyak diam, tak mampu bicara. Aku tidak melanjutkan kata‐kataku. Suasana menjadi hening, hingga tidak beberapa lama, kami telah sampai di butik. Davit memarkirkan mobilku. Aku hendak turun, namun dia kembali menahan tanganku.

"Apa yang membuat kamu begitu cepat memutuskan menikah dengannya?" tanyanya dengan sangat serius.

"Entahlah. Saya juga tidak paham. Dia bukan anak orang kaya raya. Kehidupannya biasa saja. Jabatannya di kantor juga tidak terlalu tinggi, hanya pegawai biasa. Gajinya juga tidak terlalu besar. Oh... mungkin karena dia berani mendatangi ayahku untuk melamarku. Dia tidak ingin pacaran sebelum menikah."

Terdengar suara Davit semakin miris.

"Kamu sudah punya anak?" balas Davit pelan.

"Belum ada rezeki," jawabku menggeleng.

"Saya berdoa semoga kamu selalu bahagia. Oh ya, jangan marah pada Cristie. Saya yang meminta dia melakukan ini."

Aku tidak menjawab lagi. Kutinggalkan Davit tanpa menoleh sekali pun. Aku tahu dia menyetop sebuah taksi. Mungkin dia langsung pulang. Aku pun melangkah memasuki butik dan menuju ruangan Cristie. Tampak Cristie sedang sibuk dengan pekerjaanya.

"Cristie..!" keras teriakanku. Beberapa karyawan mendengarku.

"Oh, kamu sudah kembali. Maaf ya Dif, aku hanya..," belum selesai dia bicara, aku langsung memotong ucapannya. Emosiku berapi‐api.

"Kamu kelewatan. Aku kecewa sama kamu. Kamu tahu aku sudah menikah, kan! Kamu mau merusak rumah tanggaku?" ucapku serius.

"Niatku bukan itu, Dif."

"Lalu apa? Kamu berharap aku kembali dengan Davit? Itu mustahil, Cris. Aku ini istri orang. Aku punya suami. Jangan pernah sekali pun berpikiran kalau aku akan meninggalkan suamiku untuk Davit!"

Usai berkata begitu, aku tinggalkan ruangan Cristie. Aku bermaksud pulang ke kondo. Cristie mengejarku.

"Difa. Aku melakukan ini agar kamu mendapat jawaban tentang Davit. Aku tahu betapa hancurnya kamu saat itu hingga akhirnya memutuskan menikah. Davit berhutang
banyak penjelasan untuk itu."

"Kamu salah. Aku menikah dengan Rama bukan karena Davit. Aku mencintai suamiku. Bagiku, Davit hanyalah masa lalu. Nggak lebih. Kamu tidak tahu apa‐apa tentang aku, Cris. Jadi jangan ikut campur dalam urusan pribadiku," tuturku menyudutkannya.

Cristie terdiam. Entah apa yang kini dia pikirkan, aku tidak ingin peduli. Aku tinggalkan Cristie dengan kata‐kata menyakitkan yang dia ucapkan. Aku putuskan untuk pulang ke kondo lebih awal. Rasa marah dan emosi membara di hatiku. Air mata mulai jatuh membasahi pipi. Aku tidak terima diperlakukan begini.

***  

ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau PertanyakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang