5. Pindah (Part 1)

31 3 0
                                    

Bag. 5

Azan Isya sudah berkumandang. Kilasan merah di langit senja sudah menghilang menyisakan gelap. Kini tinggallah bintang berkawan bulan di puncak cakrawala. Kilauan sinarnya sungguh mampu menentramkan segala amarah. Sayang, semua itu tidak berlaku untuk masalahku.

Sejak pulang dari kafe tadi sore, belum sekali pun aku keluar dari kamarku. Aku masih termenung mengurung diri, masih belum bisa menerima kenyataan akan pesan dua tahun yang lalu. Oh, betapa bodohnya aku. Kata‐kata itu selalu kuucap berkali‐kali sembari menepuk kepalaku sendiri. Suara mobil terdengar mengaung‐ngaung dari luar. Ayah dan Bang Rama baru saja kembali dari Pesisir Selatan. Ternyata di depan, ibu telah lebih dahulu mengetuk pintu beberapa kali. Aku tidak tahu keberadaan ibu sebab kesedihanku.

Pintu kubuka, lalu kembali ke kamar. Ragaku sungguh tidak bersemangat. Alasanku hanya 'lelah' ketika semua bertanya. Aku masih diam dan bermenung di dapan meja rias. Suamiku yang baru masuk kamar menatapku dengan tanda tanya besar di otaknya. What happen with my wife, kalimat itu pasti ada di otaknya. Perlahan dia mendekatiku, lalu memelukku dari belakang. Lilitan perban di tanganku menjadi pemandangan pertamanya.

"Sayang, apa ini?" tanyanya dengan nada serius.

Aku membisu, tidak langsung menjawab tanyanya.

"Sayang, apa yang terjadi? Kenapa kamu seperti ini?" lagi dia bertanya. Kali ini intonasinya tercurah lebih tegas.

Aku genggam jemarinya agar ia melepaskan pelukannya. Lalu kuputar posisi tubuhku hingga beradu pandang dengannya. Dia masih erat memegangiku bahuku. Aku dapat melihat wajahnya serius. Kutarik napas perlahan, lalu kuhembuskan dengan cukup tenang. Kuambil ponsel yang berada di sampingku, lalu kuserahkan kepadanya. Suamiku melihat ponsel yang aku sodorkan. Pesan yang aku dapatkan tadi siang langsung menjadi sodoran pertama yang dilihatnya. Suamiku terdiam. Dia hanya menatapku lekat‐lekat.

"Pesan ini dikirim pada tanggal 24 Agustus, dua hari setelah Adila menghilang. Dikirimnya sebanyak tiga kali. Mungkinkah ini lelucon?"

Suamiku tak menjawab.

"Sayang, please, tolong adikku! Izinkan aku mencari adikku," aku memelas mengharapkan izinnya. Dia masih belum bersuara. Aku menjadi gelisah. Aku raih tangannya, lalu aku ciumi punggung tangan itu.

"Abang, aku mohon. Aku bisa gila bila mengabaikan pesan ini. Aku mencintainya seperti aku mencintaimu. Please!"

Dia meraihku, membawaku ke dalam dekapannya.

"Abang akan cari cara. Kita pindah ke sana."

***

Sehari setelah pesan itu menggegerkanku, suamiku membuat permohonan kepada ayah dan ibu. Secara terus terang dia meminta aku untuk tinggal bersamanya. Katanya, dia akan dipindahtugaskan ke Malaysia dalam waktu dekat. Dia bilang pada ayah, dia berupaya untuk mendapat mutasi ke Indonesia. Tapi sayang, tak ada peluang. Bila kami masih menunggu dia dimutasi ke Indonesia, mungkin harapan untuk tinggal bersama susah terwujud. Tentunya permohonan seperti ini diizinkan oleh ayah dan ibuku. Statusku sebagai istri, memang seharusnya di samping suami.

"Malaysia ya? Kapan kamu pindah?"

"Insyaallah bulan depan, Yah. Tapi semua persiapan sudah siap. Rumah, semuanya sudah ada. Sepertinya lusa aku harus kembali ke Singapura. Aku harus selesaikan semua pekerjaan di Singapura dulu. Untuk Nadifa, aku sudah siapkan tiket ke Malaysia minggu depan."

"Kalian tidak berangkat bersama saja?"

"Ayah nggak perlu cemas. Di Malaysia ada Cristie yang akan menemani Nadifa sampai aku benar‐benar pindah ke sana."

Seminggu setelah itu, aku benar‐benar akan meninggalkan kampung halamanku. Aku pasti akan merindukan Kota Padang ini. Dengan diantar oleh Rahmi dan Citra, aku berangkat menuju Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Kebersamaan kami berakhir di depan bandara. Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Pihak maskapai penerbangan telah menginformasikan kepada penumpang dengan nomor penerbangan ini, untuk segera memasuki pesawat. Aku bergegas. Telah kupastikan tidak ada hal yang terlupakan. Hari ini adalah hari yang sangat kunanti-nantikan. Tidak lama lagi aku akan sampai di Malaysia. Itulah waktu untuk mewujudkan semuanya.

***

ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau PertanyakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang