Bag. 4
"Innalillahi...., apa ini?"
Wajahku seketika pucat. Entah pesan ini benar atau tidak, yang jelas pesan ini berhasil membuat aku terpaku. Aku berusaha berpikir jernih. Aku telusuri lagi setiap pesan yang
masuk pada tampilan layarku. Kupandangi setiap kiriman demi kiriman yang begitu lama tak kulihat. Lagi‐lagi pesan serupa kutemui. Pengirimnya tidak mengirimkannya satu kali
saja. Tapi tiga kali. Pesannya ditulis dalam waktu dan oleh pengirim yang sama. Waktu pengirimannya pun hanya berjarak beberapa hari dari kejadian menghilangnya adikku. Apa yang terjadi?Mataku terbelalak menatap tajam ke layar tab. Berulang dan berulang aku membaca pesan yang semua isinya sama. Hingga aku tak sadar lagi apakah aku masih waras atau tidak.
Tanganku yang semula menggenggam gelas, menghantam meja. Sontak gelas itu pecah menjadi beling dan melukai telapak tanganku.Air mataku jatuh tak terbendung lagi. Mulut ini menjerit sekeras‐kerasnya. Semua orang memandangku. Citra segera kembali. Rahmi pun langsung keluar bersama Tony,
pegawainya. Mereka yang melihat aku begitu, langsung mendekapku. Wajahku kusut, pecahan beling melukai telapak tanganku. Darahnya dapat kurasakan menetes di atas meja."Nadifa, ada apa?" tanya Rahmi shock.
Aku tidak langsung menjawab. Bibirku tak berdaya untuk berucap. Aku hanya mampu menunjukan pesan yang membuatku kacau. Tidak lama melihat pesan itu, ekspresi Rahmi tak ada ubahnya denganku. Dia duduk terpaku di sampingku dengan mata berkaca‐kaca. Citra masih membaca dan mengulang membaca. Dia menganalisa dan memastikan bahwa ini bukan lelucon konyol. Apa yang aku takutkan benar‐benar terjadi. Naluriku terhadap Adila benar. Telah terjadi sesuatu yang buruk dengannya. Tubuhku seakan mati rasa. Aku bahkan melupakan rasa sakit terluka beling di tanganku. Rasa sakit yang aku rasakan kini seribu kali lebih sakit daripada luka karena pecahan beling.
"Apa ini serius? Maksudku, mungkinkah ada orang yang mencoba mempermainkan kita?" ucap Citra mencoba teliti.
"Nggak mungkin, Cit. Hanya Adila yang mengetahui alamat e-mail ini. Aku yakin, dia pernah mencoba menghubungiku."
Rahmi bangkit dari duduknya. Dia bertolak ke ruang tengah kafe untuk mengambil kotak P3K yang terselip di dinding kafe bagian dalam. Beberapa menit saja, dia kembali
dengan terburu‐buru. Dia meraih tanganku dan berusaha menutupi lukaku dengan kain kasa."Tidak perlu diobati. Ini tidak seberapa sakit," ucapku dengan air mata membanjiri pipi. Tapi ucapanku itu tidak dihiraukannya. Rahmi tetap memaksa mengobai lukaku dan menghapus air mata dari wajahku.
"Sekarang bukan saatnya menangis, Nad," ujar Rahmi sedikit agak membentakku. Dia meneruskan upayanya mengobati tanganku.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Rahmi mengarahkan pandangannya kepada Citra.
Citra hanya menggeleng‐gelengkan kepala dengan bahu diangkat."Aku bingung, Mi. Apa ini sungguhan? Aku pikir hal semacam ini hanya ada di film."
Rahmi menarik napas dengan kencang. Jilbabnya yang sudah semakin maju dan berantakan, dirapikannya. Beberapa saat mereka berdua terdiam dan saling tatap. Tampak seorang karyawan mendekat untuk membersihkan pecahan gelas di lantai."Jikalau pesan ini benar, satu‐satunya cara yang bisa kita lakukan adalah kembali ke sana."
"Benar. Tapi sebaiknya kita beri tahu ayah dan ibu dulu."
"Nggak. Aku tidak akan memberitahukan ini pada mereka. Kalian lupa bagaimana hancurnya mereka waktu itu? Aku akan bicara pada suamiku. Asal Bang Rama setuju, itu saja sudah cukup. Aku akan minta bantuan temanku, Cristie. Dia tinggal di Malaysia. Mungkin dia bisa membantuku."
"Baiklah."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA : Ketika Adil-Nya Kau Pertanyakan
De TodoPesan itu menggetarkan Nadifa. Kak, tolong aku! Selamatkan aku! Aku disekap. Mereka buas seperti binatang. Mereka menjadikan aku pelayan nafsu setannya. Aku mohon, Kak. Selamatkan aku. Entah ke manakah mereka akan membawaku. Nadifa tak kuasa memba...