06 | MERDU RINDU

7.9K 1.2K 368
                                    

Sekitar pukul tujuh malam, sebelum aktivitas live music, Banyu, Rakya, dan Luka makan malam bersama di angkringan dekat Tugu Pal Putih, yang mana merupakan salah satu angkringan favorit mereka.

"Gimana hasilnya?" tanya Banyu kepada Rakya dan Luka, yang siang hingga sore tadi ikut menyerukan suara mereka di simpang tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta.

"Tadi ada tembakan gas air mata. Perih banget, sialan. Aku bawa anak cewek, kasihan. Jadinya pulang duluan." Jelas Luka.

"Sama, aku juga pulang duluan. Bukannya takut terkena gas air mata, tapi karena sudah kebelet, ndak tahan." Ucapan Rakya sontak membuat Banyu dan Luka tertawa terbahak-bahak.

"Ndak sopan kamu, Rak. Kita ini lagi makan, lho." Kata Banyu sambil membuka bungkusan sego macan yang ketiga.

"Berarti kebelet lebih penting dibanding negaramu?" tanya Luka, di tengah-tengah tawa yang belum bisa dihentikan.

"Penghinaan iku, lur. Aku bahkan lilo ora sido moro menyang konsere Denny Caknan wingi bengi demi kumpul karo konco-konco kanggo mbahas aksi dino iki." (Penghinaan itu, lur. Aku bahkan rela ndak jadi datang ke konsernya Denny Caknan kemarin malam demi kumpul sama teman-teman untuk membahas aksi hari ini.) Rakya membela diri menggunakan Bahasa Jawa.

"Lho? Denny Caknan konser, to?" tanya Banyu.

Rakya mengangguk, "Di Lokananta. Padahal aku sudah pesan tiket kereta prameks sejak lima hari lalu, tapi malah gagal total."

"Waktu di Jogja kan sudah nonton, Rak. Masih kurang juga?"

"Selama iso tak parani, bakal tak parani. Aku kan fans berate Denny Caknan, lur." (Selama bisa kudatangi, akan kudatangi. Aku kan fans beratnya Denny Caknan, lur.)

Untungnya Luka orang Jogja asli, jadi masih paham Bahasa Jawa meski tak selancar dahulu kala. Tetapi ia sama sekali tidak tahu siapa itu Denny Caknan yang sedang dibicarakan oleh Banyu dan Rakya.

"Memangnya, Denny Caknan itu siapa?"

Rakya langsung berseru sembari menepuk dahinya, "Adubiyung, Luk! Awakmu urip ning jaman Majapahit, po?" (Alamak, Luk! Kamu hidup di jaman Majapahit, apa?)

"Pernah dengar lagu Kartonyono Medot Janji?" tanya Banyu kepada Luka.

"Yang mana?" Bukannya Luka pura-pura tidak tahu, tetapi ia memang benar-benar tidak tahu.

"Rungokno aku, lur." (Dengarkan aku, lur.) Rakya mulai menyanyikan bait lagu Kartonyono Medot Janji milik Denny Caknan, dengan harapan Luka akan segera mengerti siapa orang yang dimaksudnya. "Mbiyen aku jek betah. Suwe-suwe wegah. Nuruti kekarepanmu sansoyo bubrah. Mbiyen wis tak wanti-wanti. Ojo ngasi lali. Tapi kenyataannya pergi."

"Oh!" Seakan bohlam langsung menyala terang di kepala Luka setelah mendengar Rakya bernyanyi. "Teman-teman sekelasku sering nyanyiin lagu itu!"

"Adubiyung, Nyu. Piye to koncomu iki?" (Alamak, Nyu. Gimana to temanmu ini?) Rakya menepuk dahinya lagi, sementara Luka malah tertawa, dan Banyu hanya tersenyum saja.

"Sepurane Rak, aku lagi pindahan. Ora update lagu-lagu Jawa jaman now." (Maafkan Rak, aku baru pindahan. Nggak update lagu-lagu Jawa jaman now.) Kata Luka, yang pada akhirnya menggunakan Bahasa Jawa juga.

Sebagai informasi, Denny Caknan merupakan penyanyi asal Ngawi, Jawa Timur, yang akhir-akhir ini sangat digandrungi remaja-dewasa Jawa Timur-an dan Jawa Tengah-an, bahkan ia juga terkenal di daerah lain, di seluruh wilayah Indonesia. Semua berkat lagu galau hits yang berjudul Kartonyono Medot Janji. Lagu itu sangat disukai, karena meskipun liriknya galau, tetapi jenis musiknya sangat cocok untuk berjoget. Rakya hanyalah satu dari sekian banyak fans, dan ia hampir selalu datang di setiap konser Denny Caknan. Sayang, kemarin dirinya tak bisa menghadiri konser yang di Lokananta, karena ada agenda Gejayan Memanggil.

BUMI JOGJA (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang