Ayudisa buru-buru mengemasi bukunya, lalu segera keluar dari kelas. Di luar, awan semakin mengabu, bisa dipastikan hujan akan turun sebentar lagi. Asmara sudah menghubungi semenjak tadi, dan terus menanyakan kapan jam kuliahnya usai. Pemuda itu sudah menunggu di parkiran, mereka memang berencana pulang bersama.
Hujan yang kemarin-kemarin selalu dirindukan, sekarang rasanya malah sulit diajak berteman. Rintik kecil terlalu cepat berubah menjadi guyuran deras, udara yang seharusnya sejuk malah menjadi angin kencang dan menghempas.
Setiba di bawah, Ayudisa langsung masuk ke sebuah mobil yang terparkir di sekitar halaman gedung fakultas. Itu adalah mobil Asmara, saudara yang merangkap sebagai supir pribadinya.
"Jangan ngebut, Mar! Anginnya kencang!" Ayudisa memperingatkan, dan si saudara hanya mengangguk paham.
"Kasihan teman-temanmu yang naik motor." Ujar Asmara.
"Iya." Mendengar tentang motor, ingatan Ayudisa langsung tertuju kepada Luka, yang tadinya tidak ikut mata kuliah terakhir. Pemuda itu pergi beberapa menit sebelum dosen pengampu mata kuliah tiba. Sebenarnya Ayudisa sempat bertanya akan ke mana, tetapi Luka menghiraukannya.
"Gebetanmu juga kasihan, dia kan naik motor. Kalau dia sampai diterbangkan angin, bagaimana? Nanti kamu nangis-nangis karena kehilangan. Wkwk!" Ucapan Asmara sebenarnya hanya candaan semata, tetapi entah kenapa Ayudisa malah jadi memikirkannya.
"Kenapa?" tanya Asmara kepada Ayudisa yang terlihat fokus melihat ke arah depan.
Ayudisa menoleh sejenak, kemudian menjawab singkat pertanyaan Asmara, "Nggak apa-apa." Setelahnya ia menatap ke depan lagi.
Hujan baru saja turun, tetapi langsung deras, bahkan Asmara dan Ayudisa cukup kesulitan untuk melihat jalanan di depan. "Jangan ngebut, Mar!" seru Ayudisa yang lagi-lagi memperingatkan Asmara supaya tidak mengebut. Ia cukup ketakutan ketika menyaksikan sendiri tenda-tenda pedagang kaki lima yang terletak di pinggiran jalan tersingkap oleh angin kencang.
"Jangan khawatir, Sa. Kita pasti sampai di rumah dengan selamat." Meskipun sudah berkata begitu, sebenarnya Asmara juga takut jika terjadi sesuatu. Sama seperti Ayudisa, ia juga menyaksikan sendiri tenda-tenda pedagang yang mulai roboh di pinggiran jalan. Tak hanya tenda, bahkan plang rambu-rambu lalu lintas juga ada yang patah dan tumbang. Puncaknya, sekitar dua puluh meter di depan mereka, tiba-tiba ada pohon besar yang tumbang. Mobil yang lewat di bawahnya pun turut tertimpa pohon besar itu. Tidak ada yang tahu keadaan pengendara di dalamnya, karena orang-orang belum berani menghampiri tempat kejadian perkara. Mereka masih sibuk menyelamatkan diri masing-masing dari terjangan hujan badai.
"Berhenti, Mar! Kita berhenti di sini dulu! Situasinya nggak aman!" seru Ayudisa yang semakin ketakutan. Asmara juga terkejut menyaksikan peristiwa menegangkan di depan. Jika saja dirinya tadi mengendarai mobil sedikit lebih cepat, mungkin merekalah yang akan berada di posisi tersebut.
"Kita putar balik saja, lewat alternatif jalan lain." Kata Asmara.
"Tapi kita nggak tahu apakah lewat alternatif jalan lain sudah pasti aman." Ayudisa mulai gusar, bohong kalau ia tak takut terjadi sesuatu yang buruk kepada dirinya dan Asmara. Dalam keadaan seperti ini, memangnya siapa yang masih mampu berpikir jernih?
"Percaya sama aku, Sa. Kita akan putar balik, cari jalan lain. Sudah, jangan khawatir. Tadi kan sudah kubilang, kita pasti sampai di rumah dengan selamat."
Ayudisa tak membalas lagi ucapan Asmara, ia terus menunduk sembari berdoa dalam hati, berharap hujan badai segera berhenti.
Singkat cerita, Asmara dan Ayudisa pun tiba di rumah dengan selamat. Setelah melewati perjalanan panjang menembus hujan badai yang menegangkan, akhirnya mereka bisa bernapas lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI JOGJA (√)
Teen FictionSUDAH TERBIT! "Jogja penuh cerita. Kuharap kau janganlah menyebabkan luka." Start: 01/08/2019 End: 31/12/2020 PO I: 12/02/2021 PO II: 30/05/2021 PO III: 13/08/2021