Bab 3

45 7 10
                                    

A Novel by

Khansa Al-Meera

📖

"Jika boleh berkata, aku ingin dicintai dan mencintai dengan hati. Bukan dengan mata yang terpikat rupa"

🍁🍁🍁


"Perjodohan? " tanyaku pada Maya. Mengambil posisi duduk di sebelah kanannya.

"teman kita di pondok sebelah mau pulang, katanya dia di jodohkan. Ah iya, mengenai acara berbuka bersama mas Sofyan yang lebih dulu kemari memberi tahu kami," terang Maya.

"ah, begitu rupanya," aku mengangkat secangkir teh lalu meneguknya sekali. Meletakkan lagi.

Ku kira ada apa, batinku.

Kuhela nafas panjang. Sepanjang mungkin.

Yakin hatiku siap? Siap merindu?
Lagi pula dengan siapa aku akan merindu. Aku hanya bijak dalam kata, bukan rasa. Tidak ada rasa ingin menikah sebenarnya. Hanya melihat teman teman bahagia, rasanya cukup.

Aku pasrah.

Sesederhana mungkin kami menjalani hidup. Memerankan peran sesuai kehendak Rabbku. Secukupnya. Memiliki pakaian sebutuhnya saja, makan makanan cukup sebagai pengganjal perut itu menjadi prinsipku sebagai pengelana wanita. Siang malam menggumamkan kalam Allah, bukti surat cinta dariNya.

Aku menikmatinya..

Kami menikmatinya..

Asal cinta Rabbku terus ada untuk kita bersama..

Berjuang menjadi keluarga Allah..

Esok harinya, hari dimana kami akan menghadiri acara buka bersama.

Pukul 16.00 WIB kami sibuk dengan diri kami masing masing, bukan hari spesial, atau apapun. Kami hanya menyiapkan diri untuk menyambut undangan berbuka puasa bersama.

Ku kenakan gamis hitam, hijab lebar jumbo berwarna biru dongker dan penutup wajah yang kusebut cadar. Simple.

Tak perlu repot repot memilih baju ini itu karena mayoritas bajuku berwarna gelap dan itu itu saja. Aku suka dan akan tetap menyukainya.

Ingin ku seperti Fatimah A Zahra, yang hanya memiliki baju baju gelap dan terus istiqomah beliau kenakan untuk beribadah.

Bukankah apa yang kita miliki semua akan di hisab di hadapanNya?

Apakah segala kepemilikan yang kita punya digunakan untuk beribadah kepadaNya?

Itu lah kenapa aku menegapkan diri di depan cermin seraya berkata Wamaa 'indallahi khoir, dan sesungguhnya yang dihadapan Allah itu lebih baik.

Kami bersiap di depan pondok lalu melesat pergi menuju ndalem. Untuk menjaga, aku mengenakan masker di luar cadar. Mengkamuflasekan agar menyesuaikan masyarakat sekitar.

Ramai.

Dan aku malu.

Aku tak suka keramaian.

Ini petang, dan apalah daya kami memang menghadiri undangan.

Anak anak remaja masjid mayoritas adalah kaum Adam, melirik kami yang berjalan berbaris rapi memasuki pintu sebelah kiri.

Ya Tuhan, aku ingin di belakang saja!, pekikku dalam hati.

Kami duduk berdempetan dan aku berada di sebelah tembok, bersandar. Melepaskan masker karena panas mulai terasa.

Aku, Kamu dan Irisan Pena Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang