A Novel by
Khansa Al-Meera
📖
"Ya Tuhanku lapangkanlah dadaku.. Mudahkanlah urusanku.. Dan lepaskanlah kekakuan di lidahku.. Agar mereka mengerti perkataanku.. Dan jadikanlah seorang teman hidup dari keluargaku... Q. S Taha"
🍁🍁🍁
"ibu... Saya... " aku berhenti sejenak.
"apa mbak?, " ibu menghentikan aktivitasnya.
"saya butuh waktu bu..., " aku mengajukan permintaan.
Sebenarnya aku tidak tau apa yang mesti kuperbuat. Kurasa saat ini, keputusan inilah yang terbaik. Menunda.
Dan jawaban "Ya" ku dengar dari ibu.
Setelah berpamitan aku kembali ke pondok.
Kamis. Hari libur. Dan aku memiliki waktu agak longgar untuk merenungi.
Cemas, gugup, dan takut.
Apa yang kutakuti? Apa takdir Tuhan datang secepat ini?
Bagaimana perihal hati? Jika dia dari Ilahi, aku siap menerimanya seteguh hati.
Aku tak kenal dia..
Tenang, percaya kepada gurumu... Mereka tau yang terbaik untukmu
Aku duduk di atas balkon, membawa buku dan pena. Menulis kisah kisah tanpa tau arah.
Ya Rabbi.. Jangan palingkan hati ini...
Maafii Qalbi ghairullah.. Tiada di hatiku melainkan Allah
Segera ku usir berbagai imaji mengenai lelaki. Aku cinta Rabbku, urusan mengenai lelaki 'maaf' aku undur diri.
Begitu kokohnya dulu diriku. Hatiku. Sungguh aku tak percaya bahwa benarkah dulu itu diriku?
Waktu terus berjalan dan aku belum menemukan satu pun jawaban.
Adzan magrib berkumandang dan aku segera bersiap bersama seorang kawan.Maya namanya.
Mengenakan mukena dari rumah dan berjalan beriringan menuju masjid.
Mas Rafif?
"aduh! Siapa sih?!, " gumamku pelan
"kenapa Afra? , " tanya Maya mendengar dengusanku.
"enggak mbak.. Hehe, " aku cengingisan.
Sampai di ujung jalan mbah Subi seseorang mengenakan baju koko putih, kopyah putih dan sarung kotak kotak berwarna hijau daun berjalan cepat dari sebuah gang.
Aku sedang bercanda dengan kawan, menatap lelaki itu namun nge blur adanya.
Lelaki itu berjalan lebih pelan dan hampir berhenti setelah tau kami berdua menuju ke arah yang sama dengannya.
Lelaki ini kenapa? Aku tertawa dalam hati.
Lelaki itu menunduk, mengangkat tangan kanannya ke arah belakang. Tersipu.
Ah, sudahlah.
Yang ku tahu dari bahasa tubuhnya, dia ingin kami berdua berjalan dulu dari posisinya.
Akhirnya Maya dan aku berjalan di depan lalu dia menyusul di belakang.Tidak enak memang, tapi aku tak kenal dia siapa. Jadi ya sudah, kubiarkan saja.
Sampai di masjid, menunaikan sholat dengan khusyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu dan Irisan Pena
SpiritualTentangku, tentangmu dan tentang kisah kita yang hanya tertuang di atas pena. Hal menarik bagiku selain rindu adalah kamu. Saat itu masing masing dari kita masih tersipu. Masih malu malu dalam menunjukkan rasa. Namun, sebaik baik rasa hanya perl...