Bab 5

55 10 14
                                    

A Novel by

Khansa Al-Meera

📖

"Diam-diam ada rindu yang disiapkan Tuhan untukku. "

🍁🍁🍁


Aku tidur tidak nyaman di atas kasurku. Ku toleh Maya di samping kiriku. Dia sudah terlelap.

Aku mencoba miring ke kanan. Membolak mbalikkan punggungku tapi tetap saja, aku terjaga.

Hujan... Payung..

Berdesir.

Aku tidak memikirkan apa-apa.

Aku tidak memikirkan apa-apa.

Al-fatikhah.

Aku teringat ucapan bu Nyai. Mataku terpejam, aku merapalkan do'a.

Al-fatikhah.

Setelah beberapa al fatikhah itu, aku merapalkannya lagi.

Untukku dan jodohku.

Lalu aku tersenyum.

Aku menyabet hp lalu ku putar murottal pelan. Mataku mulai berat dan sayup sayup aku, menghilang.

***

Aku di seret 2 orang di sampingku. Keduanya mengiringku untuk memasuki kamar bernuansa putih. Aku berdiri menghadap kaca.

Hijab putih panjang, tanpa cadar. Aku merapikan tepian hijab. Namun, rasanya warna itu berubah hampir kelabu. Masih tetap putih.

Abu-abu..

Ku do'akan dia yang menjadi jodohku.

Aku menyentuh ke dua pipiku, disaat yang bersamaan seorang lelaki menyembul dari balik pintu. Berada di sisi kanan menatapku.

Lelaki itu?!

Tunggu! Apa-apaan ini?

Dalam keadaan bingung, aku menatapnya dari atas sampai bawah. Kopyah putih dan baju putih, manik matanya terlihat cerah bahagia. Begitupun orang orang di sekitarnya.

Disini hanya aku saja yang terbungkam. Dan aku tidak tau pasti hatiku menjerit bahagia atau menjerit ketakutan.

Tuhan! Aku menikah!

"mbak Afra.. Bangun.. Jam 3!," Maya mengguncang tubuhku. Mimpi itu terhenti.

Astaga!, rutukku dalam hati.

" kata mas Sofyan, nanti pagi di suruh ke ndalem lagi seperti biasa, "

Aku mengangguk pelan lalu melanjutkan aktivitasku.

🍁🍁🍁

Mimpi itu. Aneh.

Dua kali aku bermimpi mencium tangan seorang lelaki, lalu ketiganya aku menikah.

Sebenarnya apa maksudnya ini? Alam bawah sadarku menginginkan itu?

Konyol.

Aku tidak mempercayai diriku sendiri.

Bagaimana mung--,

"Mbak..., " panggil bu Nyai kepadaku. Aku memalingkan wajah dari buku buku lalu melempar senyum ke arah beliau. Aku hampir mengabaikan ibu karena lamunanku.

"iya bu.., "

"ibu mau bicara sebentar.. " ibu melepaskan kacamatanya, memijat pangkal hidung lalu meletakkan kacamata di atas meja.

Aku, Kamu dan Irisan Pena Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang