Prolog

30.5K 1.3K 61
                                    

Rintik hujan membasahi langit, membuat dua orang lelaki harus berteduh di teras rumah salah satu warga desa. Sial sekali harus mengalami ini, di saat mereka ketinggalan rombongan perkemahan.

Erlan, menatap langit yang sepertinya belum mau bersahabat dengan waktu yang makin menghimpit-menekan untuk segera bergegas dari sana.

"Gila, gue pengin buang air, lagi," keluh sahabatnya.

Ia mendesah, lalu menoleh sana-sini. Siapa tahu ada toilet umum. Mendapatkan fakta bahwa tak ada satu pun tempat yang diharapkan di sana, ia menoleh ke pintu rumah yang masih tertutup rapat. Sejak tadi, tuan rumah tak menampakan wajah.

"Rumah ini ada orangnya nggak, ya?" tanya Erlan menerka-nerka.

Sahabatnya yang bernama Dino menggeleng. "Nggak tahu. Coba, deh." Lelaki itu melangkah ke arah pintu, lalu mengetuk benda tersebut. "Assalamu'alaikum ... permisi."

Erlan masih berdiri di tempatnya-harap-harap cemas.

Desa yang tak bisa dimasuki mobil, ia dan teman-temannya harus berjalan kaki hingga bisa mencapai tempat kemah.

Ia menoleh saat suara derit pintu terdengar. Pelakunya adalah perempuan dengan tinggi tidak lebih darinya. Masih muda. Erlan menebak, perempuan itu terpaut tiga atau empat tahun darinya.

"E ... bisa numpang ke kamar kecil?" Dino berbicara dengan perempuan itu.

"Bisa, silakan." Tak ada penolakan dari si tuan rumah.

Dino segera masuk, disusul perempuan itu yang mungkin akan mengantar ke tempat tujuan.

"Mas, masuk saja, sini." Sebelum benar-benar pergi, ia ditawarkan masuk terlebih dahulu.

Erlan menggeleng. "Nggak, saya di sini saja."

Ya, keputusan yang bijak. Sikap Erlan yang pendiam dan sangat tertutup, membuat ia kesusahan untuk bersosialisasi. Namun, ini tidak membuatnya kehilangan teman dan tidak bergaul.

Erlan memang belum juga mendapatkan kekasih sampai sekarang. Itu semua ia lakukan karena tekanan sang ibu, yang terus menuntutnya untuk fokus menjadi pewaris perusahaan.

Ia tertekan dengan segala tuntutan itu, tetapi semakin lama, ia makin terbiasa. Tidak ada waktu untuk mengenal perempuan, ibunya akan naik pitam saat itu juga.

Bagi sang ibu, tidak ada perempuan yang tulus mendekati Erlan, semuanya hanya ingin uang saja. Pemikiran negatif itulah yang membawanya ke dalam kesendirian.

Erlan tak bisa menceritakan lebih, bagaimana cinta pertamanya dilempari uang oleh sang ibu. Ia hanya bisa pasrah saat melihat hal tersebut. Ingin membantah, tetapi pasti akan tambah merunyamkan masalah.

"Loh, nggak masuk?"

Suara seorang pria membuat ia berbalik. Padahal, Erlan sedang menikmati rintik hujan yang sebelumnya membuat ia kesal.

"Tidak, Pak, saya di sini saja."

"Ya sudah, kalau gitu tunggu di sini, ya ... saya panggil penghulu dulu," pamit pria paruh baya itu.

Erlan hanya bisa mengangguk. Rupanya, ia dan Dino datang di saat yang tak tepat. Keluarga ini sedang menyiapkan pesta.

Setelah Dino keluar nanti, ia akan mengajak untuk segera pergi dari tempat ini. Sangat tidak baik jika mengganggu hari bahagia tuan rumah.

______

Ini bukan lanjutan dari Edgar dan Lia, ya ....
Hapus ingatan kalian tentang mereka, kita buka era baru.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang