"Ngerti?" tanya Erlan.
"Udah, ngerti." Seketika, Nana berdiri dari duduk.
Erlan segera menangkap tangan Nana, lalu menarik agar perempuan itu tetap menetap.
Pelajaran pertama yang ia ajarkan adalah cara menggunakan laptop. Ini hal yang sangat penting di dunia perkuliahan. Setidaknya, jika tidak mampu menyerap penjelasan dosen, Nana masih bisa diandalkan untuk mengerjakan tugas sendiri.
"Lo pikir yang dipelajarin itu doang?" kesal Erlan.
Sejak tadi, setelah mendengar penjelasan satu materi, Nana selalu saja mencoba kabur. Padahal, Erlan sudah bilang, ia tak punya waktu untuk mengajari Nana berulang kali. Anggap saja, ini kesempatan pertama dan terakhir.
"Duh, lanjut besok aja, pasti yang ini juga bakal cepat saya lupain." Nana memelas. "Jadi, sekalian besok, ya."
Tanpa segan, tangan Erlan menyentil dahi Nana. Perempuan itu merintih kesakitan. Jangan beranggapan bahwa ia sudah menerima Nana di hidupnya, Erlan hanya menganggap sebagai adik saja.
Ya, tidak ada perasaan lebih. Erlan juga punya adik perempuan, meskipun umur adiknya dengan Nana terpaut dua tahun.
"Serius dikit, napa? Gue nggak punya banyak waktu buat ngajarin lo."
"Iya, iya." Sambil tetap mengelus dahi.
Erlan beralih pada laptop. "Coba lo praktikin yang tadi gue ajarin."
Tak ada tanggapan dari perempuan di sebelahnya. Erlan menelik. Nana hanya diam dengan mata membulat menatap layar laptop. Dari sini saja, ia sudah bisa menarik kesimpulan, bahwa Nana tidak memperhatikan penjelasannya dengan serius.
"Lo bilang tadi udah ngerti, coba tunjukin," paksa Erlan, "gue buka work baru, lo ngetik sama kayak yang gue lakuin tadi. Persis, pokoknya." Tangannya sibuk di atas laptop.
Erlan menarik buku di atas meja, lalu menyodorkan benda yang tadi menjadi bahan ajarannya kepada Nana. "Ketik satu halaman ini, gue keluar dulu beli makanan."
Setelah itu, ia meninggalkan Nana di ruangan tersebut. Erlan masuk ke kamar demi mengambil kunci mobil. Sebenarnya, tidak perlu naik mobil, mengingat apartemennya berada di lokasi strategis untuk cepat mendapatkan makanan. Hanya saja, Erlan terlalu malas berjalan kaki.
Erlan keluar kamar, diliriknya terlebih dahulu ke arah Nana. Perempuan itu sedang melaksanakan tugas darinya. Meskipun agak kaku, tetapi bisa dilihat, Nana benar-benar tengah berusaha keras.
Namun, sedikit pun Erlan tidak menghapus kesimpulannya bahwa Nana mendengarkan penjelasannya dengan tidak serius.
Ia berjalan ke arah meja makan, mengambil gelas, lalu menuju dispenser. Hanya formalitas saja, Erlan ingin mengawasi Nana sebelum ia benar-benar keluar dari apartemen.
Menyaksikan keseriusan Nana dari belakang, Erlan teringat Dino. Sebenarnya, untuk waktu satu sampai dua hari ini, ia benar-benar tak sanggup hidup berdua saja dengan Nana. Apalagi, harus menjadi guru dadakan.
________
Di basemen, Erlan segera melangkah menuju mobilnya. Ada warung yang makanannya ingin ia santap hari ini. Keinginan itu timbul sendiri, saat Erlan berada di dalam lift sambil memikirkan menu makan siang nanti.
"Kita mau ketemu Paman Er, Bun?" Pertanyaan dari seorang anak kecil itu tertangkap telinganya.
Erlan menghentikan langkah. Ia melirik ke samping kiri, di mana suara anak kecil tadi berasal. Terlihat satu sosok yang ia kenal keluar dari deretan mobil.
Ia terpaku sesaat, kakak perempuan dan dua keponakannya ada di sini. Malapetaka telah tiba, meskipun kakak Erlan adalah wanita yang baik dan paling mengerti tentang dirinya, tetapi ini bukanlah alasan bagus untuk membocorkan tentang Nana.
Nana adalah rahasia besar, sangat bahaya jika keberadaannya diketahui oleh orang luar, apalagi itu salah satu dari anggota keluarga Erlan.
"Itu Paman Er," tunjuk keponakan pertamanya, yang berumur empat tahun.
Erlan segera membungkuk. Seperti orang konyol, ia berjalan cepat dengan gaya aneh. Hari ini, Erlan sangat menyesal tumbuh, hingga melebihi tinggi mobil-mobil yang ada di sana. Erlan sulit untuk bersembunyi.
"Mana?" tanya Kakaknya.
"Iiih, paman ngumpet." Setelah itu, terdengar langkah kecil dari anak laki-laki tersebut untuk mencarinya.
Erlan segera pindah posisi untuk bersembunyi. Hari ini saja, ia ingin keajaiban berpihak padanya. Ini semua bukan untuk Erlan, tetapi Nana. Meskipun, ia juga sedikit bersyukur dengan ketahuan—Nana bisa dikembalikan ke desa.
Namun, ada yang lebih Erlan takuti, yaitu ibunya. Ia tak mau lagi mulut sang ibu menyakiti orang lain. Cukup sekali seumur hidup, Erlan mendengarkan hinaan wanita yang sudah melahirkannya itu di depan mata. Tidak lagi, ia belum siap.
"Erlan, kamu kenapa sembunyi-sembunyi gitu?"
Erlan mengangkat kepalanya. Ia mengutuk diri sendiri dalam hati. Karena terlalu serius memikirkan akibat—jika keberadaan tentang Nana ketahuan, ia sampai salah memilih tempat untuk bersembunyi.
Kakak perempuannya yang sedang menggendong anak kedua dengan usia satu tahun itu, menatap penuh tanda tanya.
"Ketahuaaan ...!" teriak anak laki-laki dari balik punggungnya.
Ia terkepung sekarang. Erlan pasrah di tempat, lalu kemudian bangkit. Keponakan pertamanya berlari untuk memeluk kakinya. Erlan mengangkat tubuh kecil itu untuk digendong.
"Paman mau ngumpet, ya?"
Erlan menggeleng. "Nggak." Pura-pura bahagia atas kedatangan sang keponakan. "Kakak ngapain ke sini?"
"Tuh, disuruh ibu nganterin baju kamu." Sambil menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir.
Ia diam sesaat, tidak lupa otak berputar untuk mencari ide, agar kakaknya tidak masuk ke apartemen.
"E ... padahal, aku baru mau balik ke rumah," katanya.
Kakaknya membulatkan bibir. Erlan terbiasa menggunakan kata 'aku' untuk menunjukan diri sendiri pada sang kakak. Ada cerita lain saat ia menggunakan kata 'gue', kakaknya akan murka bukan main. Erlan tak ingin menjadi tontonan kedua keponakannya, saat telinga dijewer.
"Kangen rumah, ya?" tanya kakaknya.
"Iya," jawab Erlan seadanya.
"Kamu mau kayak gini terus?"
Erlan menoleh. "Hm?"
"Nempel mulu sama ibu."
Erlan diam. Ini selalu menjadi pembahasan mereka. Bukannya Erlan anak mami, hanya saja, ibunya terlalu ikut campur ke dalam urusan pribadinya. Padahal, sudah hampir ratusan juta kali ia mengusir, tetap saja wanita itu akan kembali.
"Mau gimana lagi?"
"Kamu laki-laki, loh."
Erlan berdecak. "Bahas di rumah aja, ya."
"Ya, sudah. Abang, turun kamu, naik mobil bareng Bunda," ucapnya pada sang anak.
Dalam hati Erlan bersyukur, sang kakak tidak menyuruh ia untuk membawa keponakan pertama agar bersamanya di mobil. Dengan ini, Erlan bisa kabur.
Urusan pakaian yang masih di mobil sang kakak, nanti saja, ia masih memiliki stok di apartemen dan toko baju lainnya. Itu masalah gampang. Lagi pula, ada Nana yang dengan ikhlas mencuci bajunya.
Setelah keponakannya turun dari gendongan, Erlan segera menuju mobil. Di bangku kemudi, ia menghela napas. Benar-benar menegangkan. Erlan tak tahu lagi kisah selanjutnya, jika keberadaan Nana diketahui oleh sang kakak.
______
Aku mau pulang kampung. Ada kabar buruk, di sana listrik sering padam dan gak ada wifi tetangga. 😭
Harus punya kuota. Dan lagi, aku belum nyetok part yang banyak, biar bisa update cerita ini dengan lancar tanpa kendala. Pokoknya kacau banget.
Gpp, sapa tempe dengan pulang kampung, aku bisa mendapatkan imajinasi lebih. 🤭 Iya, kalau di sana ada kesempatan ngetik.
25.12.19
Selamat natal, bagi yang merayakan. ☃️
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...