Ada pemandangan aneh saat Erlan tiba di depan pintu apartemennya. Tubuh itu duduk di lantai sambil bersandar di dinding, tak lupa tempat sampah menjadi penopang agar bisa terlelap.
Erlan mendesah. Sebenarnya, ia tak ada niat kembali ke tempat ini, mengingat Dino bersedia mengawasi Nana. Namun, apa yang ada di depan mata cukup membuatnya tak habis pikir, penampakan sahabatnya yang malah tertidur di depan pintu.
Ia menghampiri tubuh yang tengah terlelap itu. "Din, bangun."
Niatnya membangunkan bukan karena kasihan atau meminta alasan mengapa semua ini terjadi, tetapi karena Erlan tak ingin orang lain mendapatkan pemandangan tak sedap ini.
"Eh, Erlan." Dino terbangun, lalu menyeka sudut bibir.
Bagaimana jika ia tidak kembali ke sini? Apa Dino akan tetap dalam posisi tidur di depan pintu?
Erlan kembali lagi ke sini hanya untuk mengantarkan makanan, setelah itu ia akan kembali ke rumahnya lagi.
Seharian ini ia lalui bukan di kantor, tetapi di rumah, bersama ibunya dan dua keponakan.
"Gue nggak nyuruh lo buat tidur di sini." Erlan menelan kekesalannya.
"Iya, gue tahu."
"Terus?"
"Bini lo nggak ngizinin gue masuk," kata Dino.
Erlan berdecak. Ia berdiri, sambil tetap menggenggam tas kresek yang dibawanya.
"Harusnya lo nelepon gue," ucapnya, sedikit kesal.
"Nggak aktif, Pea!"
Jari Erlan mulai memasukan password apartemennya. Pemandangan pertama yang ia temukan saat membuka pintu, adalah Nana yang sedang menonton televisi, dengan kaki di atas meja. Tak lupa camilan di tangan perempuan itu.
Erlan mendengkus. "Lo, tuh, ya ...!"
"Eh, udah pulang?" kejut Nana.
"Kenapa nggak bukain pintu buat Dino?"
Nana sudah berdiri, dengan tangan terlipat di depan dada. "Loh, katanya jangan bukain pintu kalau ada yang ngetuk." Perempuan itu tak terima disalahkan.
"Bukannya gue udah bilang, tungguin Dino? Dia bakal ke sini."
"Ya, kan, cuma bilang tungguin Dino. Sebelumnya, saya nggak diizinin bukain pintu kalau ada yang ngetuk."
Erlan menelan kekesalannya dalam-dalam. Entah perempuan itu terlalu polos atau ia yang salah memberi informasi.
"Tapi gue nyuruh nungguin Dino."
"Saya udah nungguin, tapi nggak bukain pintu." Perempuan itu membela diri. "Jadi, apa yang salah?" Menantang Erlan.
"Stooop ...!" lerai Dino, "udah, udah, gitu doang ribut."
Jika saja Dino tidak melerai, ia pasti sudah meluapkan kegeramannya pada Nana.
Erlan menghela napas. Ia menuju dapur untuk meletakkan makanan yang dibawanya. Menghindari perdebatan selanjutnya.
"Nana ...," panggilnya.
Sedetik kemudian, perempuan itu sudah berdiri di hadapannya. Terlalu cepat.
Nana tersenyum, Erlan tak berkata-kata lagi. Baru sehari tinggal bersama, ia sudah merasa kacau dengan tingkah laku Nana.
"Makan." Ia menyuruh perempuan itu.
Segera Nana duduk di kursi makan, lalu tangan membuka kantong plastik yang ia bawakan. Erlan mendesah. Seharusnya, perempuan itu mengambil piring terlebih dahulu, baru setelah itu duduk manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...