Menghilangkan pikiran asing dan berusaha untuk kembali lagi ke bumi, adalah pekerjaan Erlan saat ini. Ia duduk di sofa sambil memijit pelipisnya.
Berkemah adalah caranya untuk lari dari terjangan sang ibu, agar segera bekerja di perusahaan bersama sang ayah. Namun, segalanya musnah, ia harus menyetujui hal itu karena nasib sial yang ia dapatkan di desa kemarin.
Erlan memberikan syarat. Ia akan bekerja jika diberikan apartemen untuknya tinggal sendiri. Ini bisa menjadi tempat persembunyian gadis berusia 19 tahun, yang sekarang menyandang status sebagai istrinya.
Derit pintu menguasai keheningan. Erlan menoleh. Perempuan itu berdiri di bingkai pintu dengan rambut yang tak beraturan, ditambah lagi menguap. Sungguh kesan yang sangat amburadul.
"Mau sarapan? Tuh, di meja makan udah gue sediain," katanya.
Perempuan itu melangkah ke hadapannya. "Kapan kita sampai?"
Erlan mendengkus. Benar juga, istrinya tertidur pulas, saat mobil yang mereka tumpangi sampai di gedung pencakar langit tersebut. Ia harus menggendong perempuan itu hingga masuk ke tempat tinggal barunya ini.
"Tadi malam." Hanya menjawab singkat.
Di usia 22 tahun, Erlan tidak menyangka bahwa ia akan menjalani kehidupan naas seperti ini. Tekanan dari sang ibu yang terus mengatur hidupnya. Belum lagi menikah tanpa cinta, yang pasti akan menjadi malapetaka ke depan nanti.
Perempuan itu berjalan menuju jendela. "WAAAH! INI IBU KOTA?"
Erlan terkejut bukan main. Pasalnya, baru sekarang suara lepas perempuan yang baru dinikahinya itu terdengar.
"WOAH!"
Ia menelan ludah susah. Kesalahan menikahi gadis desa.
"Kita jalan-jalan ke gedung yang itu, yuk." Sambil menunjuk satu gedung bertingkat. "Saya mau lihat di dalam sana ada apa?"
Erlan berdiri untuk melihat gedung tersebut. Saat tahu itu gedung apa, segera ia berbalik badan.
"Jangan ke sana," larangnya, itu kantor sang ayah, "di sana nggak asik, mending diam saja di sini."
"Hm, diam?" Langkah kaki setengah berlari terdengar. "Percuma, dong! Saya ikut ke sini!"
Tipe perempuan yang tidak bisa diam. "Mau bagaimana lagi, gue nggak bisa bawa lo ke mana-mana." Erlan melangkah.
"Ya sudah, saya jalan-jalan sendiri saja."
Berbalik. "Nggak, nanti lo hilang."
Perempuan itu terlihat kesal. Memang lucu, tetapi Erlan tidak terpikat sama sekali. Belum waktunya jatuh cinta.
"Terus?" Melipat tangan di depan perut.
"Ah, siapa nama lo?" tanya Erlan, yang dihadiahi tatapan terkejut dari lawan bicara.
"Nana! Nama saya Nana, masa nggak inget?"
Erlan mendengkus. Benar juga, saking frustrasi—ia lupa dengan nama yang disebutkannya pada ijab kabul saat itu.
"Oh, iya, Nana," ucapnya, "jangan ke mana-mana, tetap di sini."
"Kok, gitu?"
"Pokoknya ikutin aja."
Erlan tak bisa berbuat apa pun. Ini cara yang tepat agar ibunya tak menemukan Nana. Sangat bahaya. Nana akan tinggal di sini, sedang ia akan kembali ke rumahnya.
"Kamar lo yang lo tidurin tadi," jelas Erlan, "gue yang di sebelah."
Nana mengangguk. "Benar juga, saya masih 19 tahun untuk dimintai yang itu-itu."
Erlan hampir saja tersedak. Bahkan ia tak pernah berharap untuk melakukan hal itu sekarang. Pikirannya hanya terfokus pada cara untuk menyembunyikan Nana.
"Lo lulus SMA?" tanya Erlan.
Nana mengangguk lagi. Ternyata, perempuan itu bisa jadi penurut. Erlan pikir, ia akan berurusan dengan makhluk tak bisa diam sama sekali.
"Lo mau kuliah?"
Ia bukanlah orang jahat, yang memasang target tinggi untuk seorang perempuan. Namun, cara ini bisa mempermudah Erlan untuk mengaku pada sang ibu, bahwa ia sudah memiliki istri.
Erlan sangat paham bagaimana pemikiran ibunya. Wanita yang sudah terlahir kaya sejak kecil, itulah pondasi sang ibu untuk memiliki menantu berjiwa sosialita. Setidaknya, sederajat dengan keluarga mereka.
Sebagai anak lelaki, tuntutan sang ibu sangat berat padanya. Untuk dua saudari perempuannya, tuntutan hanya pada pendamping hidup saja, yang haruslah bergelimang harta. Yah, meskipun ini juga berlaku pada Erlan. Namun, yang sangat berat adalah paksaan menjadi penerus kekayaan sang ibu.
Bagaimana dengan ayahnya? Erlan tak tahu apa yang membuat keduanya jatuh cinta atau dipersatukan. Pria yang ia hormati itu seperti boneka tanpa pikiran lain, selain pekerjaan.
Ibunya adalah anak tunggal. Harta kekayaan sang kakek, semuanya jatuh ke tangan wanita itu. Tentu saja, ayahnya yang menjadi penerus perusahaan.
Sama sekali tak ada kesalahan jika ia menyebutkan ayahnya adalah boneka pertama, sedang ia adalah boneka kedua, yang dipersiapkan untuk bekerja mati-matian membesarkan perusahaan.
"Kuliah?"
"Iya."
"Boleh juga." Perempuan itu mengangguk setuju.
"Gue bakal kuliahin lo, di kampus terdekat. Dengan syarat, lo harus tinggal di sini, jangan ke mana-mana, apalagi bukain pintu saat ada yang ngetuk. Lo ngerti, 'kan?"
Nana mengangguk. "Oke."
"Bagus." Refleks, tangannya menepuk kepala Nana. "Gue kerja dulu. Kalau gue nggak pulang, jangan tanyain."
"Terus, saya di sini sendirian?"
Erlan mengangguk. "Sore gue bakal ke sini buat nganterin makanan, atau lo bisa—" Perkataanya terhenti.
Erlan tersadar, ia menikahi gadis desa. Jelas, memasak di kompor gas belum bisa Nana lakukan. Seketika tangannya merogoh kantong untuk mengambil ponsel.
Menghubungi Dino, satu-satunya orang yang tahu tentang keberadaan Nana.
Erlan mengurut batang hidungnya. Teringat lagi bagaimana ia marah pada temannya itu, yang tidak menolong saat tragedi nikah paksa berlangsung.
Ia menggedor pintu WC, meminta pertolongan Dino saat itu. Ucapan yang keluar dari mulut Dino sangat tak lazim. Kata lelaki itu, ambeiennya kambuh.
Bullshit!
Itu hanya alasan. Erlan masih ingat, Dino bilang hanya buang air kecil. Lalu, apa hubungannya dengan ambeien?
Terlebih lagi masalah adat itu, Erlan tidak memasuki rumah. Ia hanya berdiri di teras saja, yang masuk ke rumah itu Dino.
Sangat menyebalkan.
"Lo di mana?" tanya Erlan pada orang di seberang sana. "Ke apartemen gue, jangan banyak alasan."
Anggap saja, ini adalah hukuman karena tidak menolongnya pada saat itu. Dino juga telah mengakui, bahwa ia memang ingin kabur. Dengan alasan, Erlan lebih pantas menikah, karena mampu menghidupi anak orang.
Tangan Erlan mengetik pada ruang obrolannya dengan Dino. Menjelaskan secara rinci, apa yang akan Dino lakukan saat tiba di apartemennya. Mengajari pekerjaan rumah pada Nana.
"Oke, lo di sini aja, tungguin Dino." Ia berpamitan pada Nana.
"Bye, bye." Perempuan itu melambaikan tangan, lalu berjalan menuju dapur.
Kehidupan baru Erlan telah dimulai.
_______
15.10.19Seminggu sekali bisa, ya? Hehe 😅 aku banyak PR, soalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...