Berdiri di hadapan gedung bertingkat dengan hati harap-harap cemas, membuat Erlan sesekali melihat arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya.
Hari ini, testing pertama Nana masuk universitas. Untuk segala usahanya mengajari perempuan itu selama berhari-hari, ia berani berdiri di depan gedung ini—dengan keyakinan bahwa Nana akan gagal.
Bukannya meremehkan, Erlan bisa lihat jelas seperti apa kemampuan otak Nana. Bisa dibilang pintar, Nana mudah menangkap penjelasannya. Namun, sangat disayangkan, perempuan itu sering tidak fokus pada pelajaran. Alhasil, Erlan seperti mengajari patung untuk bergerak.
"Duh." Sebuah tepukan pada punggung membuatnya mengaduh.
Tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pelakunya. Dino, lelaki itu telah kembali, setelah menelantarkannya bersama Nana.
"Apa yang terjadi sama lo dan Nana selama gue nggak ada?" tanya Dino.
Erlan hanya melirik. "Banyak."
Itu adalah sebuah keluhan. Andai Dino tahu, mengurus Nana lebih sulit, daripada mengurus adik kandungnya sendiri.
"Pantesan lo berubah."
Keningnya mengerut. "Maksud lo?" Ya, ia minta ini diperjelas, akan sangat bahaya jika Dino malah memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Lo berubah jadi baik," kata Dino.
"Buktinya?"
Dino tersenyum. "Lo mau nungguin Nana di sini sampai dia kelar ujiannya."
Erlan berdecak. Sebenarnya, maksud duduk berlama-lama di sini adalah ingin menunggu Dino. Ada hal yang lebih penting dari ujian Nana. Namun, ini juga sangat berefek dengan testing hari ini.
"Ngapain coba?" balas Erlan malas.
"Terus?"
Ia menatap kembali gedung bertingkat itu. "Gue mau ketemu seseorang di dalam sana." Sambil menunjuk.
"Maksud lo?"
Erlan melirik lagi. "Orang dalam, gue nggak yakin Nana bisa lolos."
Dino mengangguk ragu. "Gue yakin, sih, Nana bakal aman. Dia pintar, kok."
Seketika suara helaan napas terdengar. "Pintar, iya, tapi dia nggak pernah fokus nyerap pelajaran."
"Serius?"
Baiklah, ia tak ingin buang-buang waktu lagi. Menceritakan kepada Dino dari awal sampai akhir—bagaimana keadaan di apartemen selama lelaki itu tak mengawasi Nana, mungkin akan memakan banyak waktu. Erlan harus cepat bergerak. Di luar sana, pasti sudah banyak yang melakukan hal curang seperti ini. Ia tak boleh terlambat.
Masuk universitas tidak akan mudah, jika hanya mengandalkan otak saja. Banyak orang berduit, yang sudah mengambil langkah duluan atau keluarga dari para petinggi universitas, yang mengandalkan kekuasaan. Apalagi, universitas yang dimasuki Nana bisa dibilang terkenal.
"Kenapa lo harus seserius ini?" tanya Dino.
Apa ada alasan yang harus masuk akal? Erlan pikir, ini jalan yang tepat. Ia memang tak ada niat untuk menerima pernikahan ini. Namun, ada satu hal yang harus Erlan tanamkan.
Setidaknya, setelah ia melepas Nana kembali ke kampung nanti, perempuan itu bisa mengubah pola pikir warga lain. Adat aneh yang merebut kebebasan orang, harus segera dimusnahkan sebelum memakan korban lagi.
"Gue punya tujuan lain. Lo tenang aja, ini nggak bakal nyakitin Nana ataupun lo." Membalas pertanyaan Dino.
Erlan berdiri dari duduknya. Ini adalah awal, jika ia gagal di sini, tidak ada lagi cara lain untuk mengubah pemikiran masyarakat yang ada di kampung Nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...