"Uang belanja lo, beli baju dan keperluan kuliah nanti," katanya sambil memberikan amplop cokelat pada Nana.
Perempuan itu sedang bermalas-malasan di sofa sambil menatap layar ponsel. Tangan Nana terulur meminta apa yang diberikan Erlan. Inikah efek gadget pada manusia?
"Lo tungguin Dino balik, ntar dia yang nemenin lo belanja."
Nana menggeleng. "Saya pergi sendiri saja, lagi pula Mas Dino hari ini nggak bisa ke sini."
Erlan tidak dengar ini dari Dino. "Kata siapa?"
"Kata dia. Mas Dino juga punya urusan sendiri, nggak mungkin jagain saya terus." Sambil tetap menatap ponsel.
Erlan mendesah. Sebenarnya, apa yang dikatakan Nana benar, tetapi ia tak bisa menerima. Jika perempuan itu baik-baik saja saat Dino mengutarakan apa maunya, Erlan malah tak ingin terima segala alasan. Nana ada di sini juga—karena Dino yang tak menghalangi pernikahan aneh tersebut.
"Lo bisa pergi sendiri?"
Ia tak yakin. Namun, mengingat lagi bagaimana Dino yang dengan keras mengajarkan segalanya pada Nana, termasuk untuk bertahan hidup di ibu kota, Erlan berusaha percaya pada kemampuan perempuan itu.
"Bisa, dong! Mas Dino udah ngajarin cara belanja, bahkan main di—"
"Jangan main, gue cuma nyuruh lo belanja baju dan keperluan kuliah nanti."
Perempuan itu mengangguk. Baiklah, sepertinya Nana sudah mengerti. Ia bisa bernapas lega sekarang.
"Siniin HP lo," pintanya. Masih ada satu tugas lagi.
Nana malah mendekap benda itu. "Jangan sita."
"Siapa juga yang mau nyita?"
Ia membelikan ponsel agar bisa mengawasi Nana saat mereka tak bersama. Lalu, untuk apa Erlan menyitanya? Benda ini mempermudah urusan.
"Terus, buat apa?"
"Gue mau masukin nomor gue di sana, biar kalau ada apa-apa lo bisa hubungin gue," jelasnya.
Nana nampak berpikir sejenak. "Udah ada nomor Mas Dino di sini."
"Ya, udah, nomor gue juga."
"Tapi Mas Erlan nggak bisa diandalin kayak Mas Dino, jadi biar Mas Dino aja yang saya hubungin kalau ada apa-apa."
Erlan menghela napas. Sebenarnya, ia ingin sekali menerima alasan ini. Walau bagaimanapun, Erlan sangat anti dibuat repot oleh orang lain. Namun kembali lagi, Nana tinggal bersamanya. Jika terjadi apa-apa, ialah yang akan menjadi tersangka pertama.
"Seperti yang lo bilang, Dino punya urusan sendiri, nggak terus-terusan harus jagain lo." Erlan ingin sekali muntah saat mengeluarkan kalimat itu.
Ia seperti seorang lelaki liar, yang membujuk seorang perempuan polos untuk menyimpan nomor teleponnya. Perumpamaan yang aneh.
"Ya udah, nih." Nana memberikan ponselnya.
Erlan menerima benda tersebut. Segera ia mengetik nomornya di sana, tetapi jari berhenti tatkala melihat deretan nomor lain ada pada kontak Nana. Dalam waktu satu malam, perempuan itu bisa mengumpulkan banyak nomor? Keluarganya?
"Kontak lo banyak juga."
"Hm." Sambil mengangguk. "Itu nomor teman yang main sama saya di game online."
"Hah?" Jelas saja Erlan terkejut. Jika masih keluarga, ia tak masalah.
"Saya kalah terus, hukumannya harus kasih nomor WA."
"Terus lo kasih nomor lo?" tanya Erlan dengan suara yang meninggi.
"Iya." Nana mengangguk polos.
Erlan menahan napas sebentar. "Bego." Sedikit menekan kata tersebut.
Nana masih menatapnya. "Namanya juga aturan."
Ia tak memedulikan Nana. Erlan mengecek kembali ponsel tersebut. Deretan nama laki-laki ada di sana. Ya Tuhan, polosnya perempuan ini.
"Lo nggak boleh ngasih nomor lo ke orang yang nggak dikenal," katanya sambil menahan emosi.
Satu lagi masalah. Ternyata, handphone bukanlah solusi tepat agar ia bisa mengawasi Nana kapan saja. Malah, Nana menggunakan benda ini untuk memperburuk segalanya.
"Saya kenal mereka, kok, orang main game bareng." Perempuan itu membela diri.
Erlan mendengkus. "Maksud gue, orang sekitar lo yang ada di dunia nyata."
"Mereka juga nyata, orang bisa ngomong, kok."
Jika Erlan adalah tokoh yang ada di dalam film, ia akan segera terjun saat ini juga dari lantai 12 apartemennya. Namun, tak ada kata menyerah untuk menjelaskan hal penting ini pada Nana. Ia mengitari sofa, lalu duduk di samping perempuan itu.
"Gini, ya, Nana ...." Berusaha mengumpulkan nyawa. "Ini zaman modern, dunia udah terbagi menjadi dua."
Perempuan itu mengerutkan kening. "Bukannya lebih dari dua? Dunia manusia, dunia hewan, dunia tumbuhan, dan dunia gaib."
Benar juga. "Oke, dibagi empat. Sekarang kita bahas tentang dunia manusia."
Erlan tak menyangka mengajari Nana malah rasanya sulit seperti ini. Jika bisa memilih, ia lebih ingin mengajari anak TK, daripada Nana.
"Nggak, nggak, aku maunya dunia gaib dulu," sela perempuan itu.
Erlan diam sejenak. "Nggak penting bahas itu."
"Penting."
"Hei, lo manusia, jadi kita angkat topik dunia manusia. Ngapain repot bahas dunia gaib? Nggak ada hubungannya."
Nana melempar pandangan. Perempuan itu seperti menolak untuk diajak bicara lagi. Entahlah, padahal apa yang dikatakan Erlan benar.
Waktunya hanya sebentar di sini, ia akan ke kantor, tetapi memberi Nana sedikit wejangan harus ia kerjakan. Namun, melihat tingkah gadis berusia 19 tahun ini, Erlan terpaksa harus meladeni lebih. Daripada nanti—ia akan menerima nasib sial di kemudian hari—karena game online.
"Lo kenapa, sih, pengen banget ngebahas dunia gaib?" Erlan bukan bermaksud ingin membahas hal tersebut.
"Karena saya sedang bicara sama sumbernya," jawab Nana.
Ia dibuat bingung. "Sumber?"
"Iya, sumber." Sambil menunjuk ke arahnya.
Erlan terkekeh. "Yang bener aja lo."
"Mas, kan, hantu."
Hening sejenak. Nana malah memberikan senyum mengejek. Erlan berusaha untuk tidak emosi. Ini hanya lawakan anak belasan tahun, ia tak akan terpancing.
"Oh, gitu," katanya.
Nana menganggukkan kepala. "Iya, Mas Hantu!" Tangannya dengan cepat menarik gawai yang ada di tangan Erlan.
"Nana!" cegahnya, tetapi Nana lebih gesit. Perempuan itu berlari ke arah kamar.
Rupanya, Erlan bisa lengah juga. Niatnya baik untuk memberikan Nana pengertian tentang kejahatan di dunia maya. Namun, perempuan itu seakan memasang tembok, agar ia tak ikut campur. Bisa Erlan simpulkan, Nana ketagihan dengan aktivitas dunia yang kenyataannya masih di angan-angan tersebut.
Erlan melangkah ke pintu kamar Nana. Mengentuk, agar si tuan mau membukakan.
"Nana, buka pintunya."
"Nggak mau," tolak Nana.
Ia mendesah. "Lo udah sarapan?" Sedikit bujukan. Ia tak harus membahas yang tadi, agar Nana tidak merasa tertekan.
"Belum, makan malam saja nggak." Jawaban itu terdengar dari dalam sana.
Erlan menghela napas. Ia tak menyangka dampak teknologi akan seperti ini pada Nana. Lupa makan, lupa waktu, Erlan akan lebih bersyukur jika perempuan itu lupa ingatan. Ya, ia mungkin akan bersembunyi, lalu menyuruh orang untuk mengantar Nana kembali ke desanya. Memang terdengar jahat. Namun, dengan cara seperti itu, Erlan bisa bebas.
Kembali lagi, itu hanya ada di dalam angannya.
______
Gak ada yang ngingetin aku update cerita ini. 🤣 Aku juga lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...