Sore hari, setelah menyelesaikan tugasnya di kantor, Erlan kembali ke apartemen dengan membawa makanan untuk Nana dan Dino.
"Halo, Mas ...!" sapa Nana, saat Erlan telah berdiri di depan pintu.
"Hm." Hanya menjawab dengan gumaman, kemudian ia sibuk melepas sepatunya.
Suara langkah mendekati. "Lo, kok, bawa makanan?" tanya Dino.
"Ya, buat dimakan, lah ...."
"Lah, Nana udah masak, tahu ...."
Erlan menoleh pada Nana. Perempuan itu memukul dada dengan wajah membanggakan diri. Bukannya tak percaya Nana bisa memasak, hanya saja, seberapa pantas makanan itu bisa dimakan?
"Enak nggak?" Erlan bertanya pada Dino, tetapi tatapan masih pada Nana.
"Alhamdulillah, gue belum sakit perut sampai saat ini," jawab Dino.
Nana berdiri dari duduk. "Mas mau coba? Ayo!"
Perempuan itu berlari kecil ke arah dapur. Mata Erlan mengikuti pergerakan Nana.
"Ini serius?" tanyanya lagi pada Dino.
"Serius."
Erlan berdecak. "Masa iya, dia bisa masak?"
Seolah mengikuti Erlan, Dino juga berdecak sebelum bicara. "Dia emang udah bisa masak, cuma ngidupin kompor aja yang nggak paham. Udah, lo tenang aja."
"Ya, udah."
Erlan berjalan menuju dapur. Senyum bangga Nana menyambutnya. Perempuan itu sudah duduk di kursi makan, sambil menggoyangkan kaki. Terlihat seperti anak kecil.
"Tempe, tahu, ikan goreng, sayur asam." Erlan mengabsen makanan yang dimasak Nana.
"Aku bisanya ini doang," aku Nana, masih dengan wajah percaya diri.
Erlan mendesah. Sebenarnya, makanan seperti ini sangat jarang masuk di perutnya. Bercanda sekali, jika setiap hari Nana akan memasakannya lauk yang sedikit kampungan seperti ini.
"Cobain, deh, Er." Dino sudah duduk di hadapannya, di samping Nana.
Perempuan itu mengangguk, dengan wajah meyakinkan Erlan. Ia mendesah terlebih dahulu. Jelas, semua makanan ini bukan seleranya. Erlan yang sudah sejak lahir bergelimang harta, mana bisa menelan dengan mudah tempe dan tahu, untuk hari ini dan hari-hari berikutnya bersama Nana.
Hanya hari ini saja, ingatkan Erlan untuk memberitahu pada Nana, bahwa ia tidak ingin makan tempe dan tahu setiap hari.
Erlan menarik satu piring dan sendok. "Gue coba."
"Eits! Jangan pake sendok." Dino menarik sendok dari piringnya.
"Maksud lo?"
"Makannya pake tangan aja, enak pasti," saran Dino.
Ia menautkan kening tatkala mendengar saran itu keluar dari mulut Dino. "Jorok banget."
"Makanya, lo cuci tangan dulu, sana. Iya, 'kan, Na?"
Perempuan itu mengangguk.
Entah apa yang merasuki Dino, hingga sangat kompak dengan gadis desa itu. Seolah otak Dino telah dicuci oleh paham-paham aneh, yang bertolak belakang dari kehidupan anak ibu kota.
Erlan tak bisa membantah. Ia bangkit dari duduk, kemudian menuju wastafel untuk mencuci tangan. Ia tak menyangka akan berteman dengan dua orang aneh.
Ya, sampai sekarang, Erlan belum menganggap Nana adalah istrinya. Biarkan hubungan ini mengalir apa adanya saja. Namun, ia juga tak menyimpan harapan bahwa ini akan berakhir bahagia. Sampai saat ini pun, Erlan belum merasakan debaran aneh untuk Nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...