Hal pertama yang ia lihat saat membuka pintu, adalah Nana dan Dino yang sedang berebut remote AC. Erlan berdecak, lalu kemudian kembali melangkah. Bukan menuju keduanya, tetapi dapur.
Erlan meletakkan barang bawaan di atas meja. Pendengarannya kini penuh dengan gelak tawa Nana dan kalimat protes dari Dino. Ia tak mengerti, mengapa mereka sangat menikmati hidup dengan penuh keceriaan seperti itu.
Jika Nana, ia sudah tak heran. Perempuan itu masih berumur 19 tahun, tetapi Dino? Sangat aneh, jika lelaki itu mengikuti sikap kekanakan Nana.
Tadi malam, Erlan menitipkan Nana pada Dino. Sedang ia sendiri kembali ke rumah untuk menghindari tinggal bersama Nana.
Membiarkan perempuan itu sendiri di apartemen sangat tidak mungkin. Untuk itu, ia mempercayakan Nana pada Dino. Sebulan nanti, istrinya itu pasti akan terbiasa hidup sendiri.
"Woy, lo udah balik nggak ada napas-napasnya."
Erlan menoleh. Dino berdiri di sana, sambil berkacak pinggang. Lelaki itu mendekat padanya.
"Gue balik bentar, ya," pamit Dino.
Erlan seketika menoleh kembali. "Maksud lo?"
"Ya, pulang ke rumah. Gue nggak bawa baju ganti."
"Loh, bukannya tadi lo dan Nana keluar apartemen? Kenapa nggak sekalian—"
Dino berdecak. "Nih, gue udah ganti baju, sampe bawa Nana ke rumah gue. Ini udah sore, Er, masa iya, gue nggak mandi. Udah, ah." Kemudian meninggalkan Erlan.
"Woy, tunggu bentar." Erlan menyusul Dino.
"Apa lagi, sih?"
"Lo—"
"Gue udah nyelesain tugas gue. Mulai dari ngantarin Nana ke universitas buat daftar kuliah, sampai ngajarin dia nyalain kompor, hidupin dan matiin AC, gunain laptop, bahkan ngajarin dia belanja," jelas Dino panjang lebar, "sekarang tugas gue selesai."
"Iyaps! Mas Dino udah selesain tugasnya!" sahut Nana, lalu mengacungkan jempol pada kedua lelaki itu.
Erlan tak menanggapi Nana, ia kembali pada Dino. "Lo bisa balik ke sini lagi besok?"
Dino menggeleng. "Kayaknya nggak bisa, gue harus bantu bokap di kafenya."
Erlan mendesah. Meninggalkan Nana seorang diri di apartemen sangatlah bahaya. Tidak menutup kemungkinan, saat ia kembali dari kantor, perempuan itu sudah mengobrak-abrik isi apartemen.
"Nggak apa-apa, saya sendirian aja di sini." Nana kembali masuk ke pembicaraan mereka.
"Lo pasti bakal buat kacau," ucap Erlan.
Nana menggeleng. "Saya sudah diajarin sama Mas Dino, jadi nggak masalah."
Lagi-lagi Erlan mendesah. Meskipun Nana mengatakan itu, tetap saja ia tidak merasa aman.
"Dia murid gue yang paling cerdas," ujar Dino, "lo nggak perlu khawatir."
"Jelaslah, gue khawatir." Erlan berjalan ke sofa.
Sekarang, giliran Dino yang mendesah. "Ya, udah, lo nginap aja di sini. Gue bisa balik ke sini lagi siang besok."
Erlan melirik. Sangat mudah mendapatkan belaskasihan dari sahabatnya ini. "Besok gue ke kantor pagi, berarti ...."
"Nggak apa-apa, saya nggak bakalan buat onar selama sendirian di sini." Nana kembali meyakinkan Erlan.
"Oke," ucap Erlan sebagai persetujuan.
Baiklah, ini satu-satunya jalan, meskipun ia masih berharap Dino bisa terus berada di sini hingga besok, besok lagi, dan besoknya lagi. Erlan benar-benar menghindari berada di satu tempat yang sama dengan Nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...