5. Nana Menghilang

7.5K 683 20
                                    

Deretan pesan dari Dino masuk ke ponselnya. Erlan menghela napas di belakang kemudi. Sejak tadi, isi Whatsapp Dino adalah paksaan untuk meminta maaf kepada Nana.

Kata lelaki itu, apa yang diucapkan Erlan tadi sore sungguh telah melukai Nana.

Dino sudah pulang. Kini tersisa ia dan Nana saja yang berada di apartemen. Padahal, Dino berjanji akan menginap di apartemennya.

Erlan keluar sebentar untuk mencari makan, karena tadi sore—ia segera masuk kamar setelah mengucapkan hal yang katanya menyakiti hati Nana tersebut.

Melangkah masuk ke huniannya, ia mengedarkan padangan ke setiap sudut ruangan. Sepi sekali. Bahkan suara Nana tak terdengar. Perempuan itu tengah mengurung diri di dalam kamar.

Bukannya Erlan tak memiliki rasa kemanusiaan, tetapi ia merasa—untuk bicara pun tidak penting, biarkan masalah ini berlalu. Perempuan itu juga mungkin sudah melupakan kejadian tadi sore.

Melewati kamar Nana, Erlan memasang telinga agar mampu mendengar suara gerak dari sana. Paling tidak, ia bisa bertindak jika Nana memutuskan untuk bunuh diri. Erlan juga tak ingin apartemennya menjadi angker.

Saat rasa khawatir menyerangnya karena tak mendengar suara apa pun dari dalam, tangannya merogoh saku untuk mengambil ponsel. Nomor Dino segera dipanggil.

"Dia baik-baik aja, 'kan?" tanya Erlan, tanpa basa-basi.

"Yah, mana gue tahu, lo yang terakhir bareng dia di apartemen."

"Terakhir bareng lo."

"Iya, tapi pas gue tinggal, kan, tinggal kalian berdua."

Erlan mendesah. "Ya udah, terakhir bareng lo, dia nggak ngomong yang ngancam hidup dia gitu?"

"Maksud lo?"

"Ya, sapa tahu dia pengen bunuh diri."

"Ya, nggak, lah!" teriak Dino, yang membuat Erlan menjauhkan ponsel.

Kepalanya mengangguk, seolah lawan bicara ada di hadapan. "Ya, udah, aman kalau gitu."

"Hah? Maksud lo?"

"Yah, yang penting dia nggak ada niat jelek aja."

"Terus, lo mau diam sampe kapan? Samperin, biar dia mau bicara. Sekarang pasti dia lagi ngurung diri, 'kan?"

"Kok, tahu?"

"SAMPERIN, KAMPRET!"

Erlan menjauhkan ponsel dari telinga untuk kedua kali. Kali ini teriakan lebih dahsyat dari yang tadi. Ia tak menyangka bahwa Dino akan membentaknya.

"Plis, ya, Erlan ... jangan nyakitin anak orang, kasihan. Dia sendirian di ibu kota, walaupun tinggalnya bareng lo."

"Iya," jawab Erlan seadanya.

"Samperin, gih, lo bukan anak kecil lagi."

Tangan Erlan terangkat untuk mengetuk pintu kamar Nana. "Nih, gue udah ketuk pintunya."

"Nah, bagus! Gitu, dong ...."

Tak ada jawaban dari dalam sana. Erlan menangkap keheningan. Keningnya mengerut, bertanya apa yang sedang terjadi di dalam. Nana tertidur? Itu dugaan pertama.

"Nggak dibukain, mungkin dia tidur," katanya pada Dino, yang masih menjadi lawan bicaranya dari seberang sana.

Suara decakan terdengar. "Lo buka aja pintunya, dia nggak kunci itu."

"Ngerepotin banget, sih," keluhnya.

Erlan menekan gagang pintu ke bawah. Benda itu terbuka sedikit, menampakkan suasana dalam kamar. Remang-remang, hanya ada pantulan cahaya dari luar. Lampu kamar Nana mati.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang