Erlan bersandar pada sofa. Sebenarnya, ini masih siang dan belum waktu pulang kantor, tetapi ia nekat istirahat duluan karena konsentrasinya terbagi dua dengan kabar dari mantan pacar—yang sebentar lagi akan bertunangan dengan lelaki lain.
Kabar ini sudah dari kemarin ada di obrolan grup alumni SMA-nya. Pantas saja, wajah Dino seperti sedang dikejar malaikat maut, saat menanyakan ia sudah membaca isi pesan atau tidak.
Ya, Lala mengundang mereka untuk datang ke pesta pertunangannya nanti. Jangan harap Erlan akan hadir, ia tak mungkin bisa melihat senyum bahagia Lala tercetak karena lelaki lain.
"Gue pikir lo bakalan nungguin gue," lirihnya.
Perjuangan Erlan sekarang tak luput dari rasa keinginannya untuk bersama Lala sekali lagi. Segala kemauan sang ibu ia turuti, engan harapan, kelak Erlan bisa memperdayakan ini agar mendapat restu kembali menjalin hubungan dengan Lala.
Erlan tak menyangka malah jadinya seperti ini. Padahal, ia sudah meminta Lala untuk menunggu.
Pintu apartemen yang dibuka kasar membuat Erlan menoleh. Nana berdiri di sana dengan wajah penuh amarah. Bukannya tak ingin menggubris, tetapi Erlan sekarang benar-benar tidak mau diganggu.
Lagi pula, jika diingat-ingat lagi, hari ini Erlan tidak melakukan kesalahan apa pun, hingga membuat Nana marah setelah kembali dari testing hari kedua.
Erlan kembali menatap televisi yang menampakan layar hitam, sebagai objek pikiran kosongnya.
"Mas Erlan, kok, nggak jemput saya?" tanya perempuan itu.
Erlan hanya mendengkus. Untuk apa? Lagi pula, ada Dino yang siap melakukan hal itu. Nana juga bukan seseorang yang harus ia turuti maunya.
Terdengar hentakan kaki kesal, tetapi itu tak membuat Erlan gentar. "Mas yang suruh saya kuliah, tapi Mas nggak ada semangat-semangatnya!"
Hanya mengangguk kecil tanpa menoleh pada Nana. Erlan sama sekali tak ingin terlibat pertengkaran sekarang.
"Aduh!" keluhnya, saat tas Nana menghantam kepalanya. "Lo—" Kemarahan Erlan terhenti karena perempuan itu berlari ke kamar.
"Hahaha!"
Erlan melirik asal suara tawa itu. Dino ada di pintu masuk, sedang menonton pertengkaran mereka. Bisa dibilang, hanya secuil saja sikap manis Nana pada Erlan. Selebihnya, sikap buruk dan amat sangat buruk.
Berdiri dari duduk. "Lo lihat—ah." Erlan memegangi kepalanya yang kena lemparan tadi.
Dino kembali terkekeh. "Lo juga, sih, Nana itu udah semangat lakuin apa yang lo mau, tapi lo nggak ada dukungan sama sekali."
"Emang harus, gue tiap hari antar jemput dia di kampus? Gue juga bantuin dia biar lulus tanpa usaha keras."
Lawan bicaranya hanya menggeleng sambil berdecak. "Lo ngajarin anak orang untuk berbuat curang."
"Di luar sana pasti banyak yang ngelakuin hal yang sama."
Dino menghela napas. "Benar juga, sih." Lelaki itu duduk di sofa, sebelah Erlan.
"Keluar dari sofa gue," usirnya.
"Dih, kenapa jadinya ngusir gue?" Dino tak terima.
Erlan berdecak. "Gue mau baring, duduk di tempat lain, sana."
Dino menuruti apa maunya. Lelaki itu bangkit dan langsung menuju dapur. "Lo datang nggak, ke pesta Lala?"
"Emang penting?"
Terdengar lagi tawa kecil dari mulut sahabatnya itu. Erlan berusaha memejamkan matanya untuk meredam emosi. Bukan berarti, ia akan menghajar Dino hanya karena merasa sedang diledeki.
"Nggak apa-apa, datang aja," bujuk Dino, "ada gue yang bawain tisu buat lo, kalau nangis."
Erlan berdecak. Sungguh, ia sangat tak suka dengan candaan ini. Entah mengapa, jika itu membahas tentang Lala, pasti jantungnya seperti sedang dipompa untuk marah.
"Bawa Nana, biar lo nggak terkesan sedang sendiri terus." Dino memberikan saran. "Bisa bahaya, kalau kelihatan teman-teman lain lo datang sendiri. Bayangin, coba."
Ia bangun dari rebahannya. Saran Dino tidak akan pernah dilakukan oleh Erlan. Membawa Nana keluar apartemen bersamanya, terlebih di tempat umum—di mana akan banyak orang-orang yang ia kenal, sama saja dengan bunuh diri.
Jika ada orang kepo berlebihan yang ingin tahu seluk-beluk Nana, hingga rela menguntit demi mendapatkan informasi—akan sangat berbahaya. Tidak menutup kemungkinan, ibunya juga ikut campur.
Suara ketukan pintu membuat Erlan dan Dino menoleh ke asal suara.
"Lo pesan makanan?" tanya Erlan pada Dino.
Dino menggeleng. "Nggak."
Ada ketegangan di wajah kedua lelaki itu. Jika bukan kurir, lalu siapa yang repot-repot datang mengunjungi mereka?
Erlan menelan ludah. Ia membuang segala prasangka buruk—bahwa itu adalah salah satu dari anggota keluarganya.
"Lo bukain, gue sembunyi. Bilangin, gue nggak ada," katanya, lalu bangkit dari duduk.
"Kenapa gitu? Itu orang nagih utang?"
Erlan berdecak. "Gue takut, kalau itu keluarga gue. Setidaknya, kalau tahu gue nggak ada, mereka pasti langsung pergi."
Dino membulatkan bibir sambil mengangguk paham. Erlan segera melangkah ke arah kamar.
"Eh, pastiin Nana nggak keluar kamar, dan tamu gak masuk kamar Nana."
"Sip!" ucap Dino sambil mengangkat ibu jari.
_____
Dari dalam kamar, Erlan bisa mendengar suara siapa yang sedang menjadi lawan bicara Dino. Kakak perempuanya, Dinda. Ia tak menyangka bahwa wanita itu punya niat untuk datang ke sini lagi, tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
Erlan terdiam di balik pintu. Gugup, ini benar-benar mengejutkan. Terlebih, Dinda masuk ke apartemennya, saat Nana juga ada di sini. Dalam hati ia berdoa, keduanya tidak akan bertemu.
"Erlan mana?" tanya perempuan itu. Suaranya terdengar dari balik pintu.
Tak berlangsung lama, suara gagang pintu kamar diputar terdengar. Itu bukan pintu miliknya, melainkan Nana. Erlan menutup mata, siap mendengar pertanyaan Dinda—mengapa perempuan tak dikenal di apartemennya.
"Nggak ada orang, Erlan ke mana?" tanya Dinda.
"Masih di kantor, lah, Kak," jawab Dino, dengan suara sedikit bergetar karena gugup.
Dinda terkekeh. "Bener juga, aduh ...."
Setelahnya, kedua suara langkah itu menjauh dari depan pintu. Erlan bernapas lega.
"Itu ...."
Kembali ia menempelkan telinga ke pintu. Dinda masih di sana, sedang mengorek-ngorek isi apartemennya. Erlan belum bisa tenang. Situasi masih sangat mencekam.
Suara berlari kecil diciptakan oleh Dino, membuat Erlan mati penasaran di tempat. Entah apa yang sedang terjadi di sana, ia hanya bisa diam sambil mendengarkan saja.
"Itu tas saya, Kak," ucap Dino.
Seketika mata Erlan membulat. Tas? Benda yang tadi dilempar Nana padanya? Astaga!
"Punya kamu?" Suara tawa terdengar dari Dinda.
Hanya hening yang diciptakan Dino. "Eee ... maksudnya, buat pacar saya."
"Oooh ... ya, udah, Kakak balik dulu, ya. Bilangin ke Erlan, kalau tadi Kakak mampir," pamit Dinda.
Erlan menghela napas. Situasi mencekam sudah lewat. Ia bisa bernapas lega sekali lagi.
Setelah suara pintu ditutup terdengar, Erlan keluar dari persembunyiannya.
"Gila! Lo kenapa ninggalin tas Nana di sini?" semprot Dino.
Jika hanya dimarahi Dino, ia sudah biasa. Akan sangat parah saat keluar kamar, yang memarahinya adalah sang kakak.
______Bersyukurlah karena cerita ini masuk Pilihan Editor di Joylada. Jadi, aku rajin buat lanjutin. 🤭
Yahuuu! 🎉🎉🎉
25.01.20
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
Storie d'amoreSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...