Usai pertengkaran pagi tadi, Erlan segera keluar apartemen—membelikan sarapan untuk Nana. Kali ini, ia akan kembali membujuk perempuan itu untuk memblokir nomor telepon orang asing atau sekalian saja menghapus game online dari ponsel.
Erlan tak ingin konsentrasinya dibuat terbelah dua saat bekerja nanti. Sekarang, sedikit sulit meninggalkan Nana sendirian di apartemen. Dua kemungkinan terjadi, Nana dengan polos ingin menemui kenalannya atau kenalannya yang akan datang sendiri pada Nana.
Menggelengkan kepala, Erlan mengeluarkan segala pikiran negatif. Nana akan baik-baik saja jika ia bertindak tegas. Namun, rasa ketidakpercayaan diri Erlan timbul.
Selama ini, emosinya bisa timbul dengan sendirinya—saat mengingat alasan tak logis—mengapa ia harus menikah dengan Nana. Tentang masalah ponsel, Erlan ingin sekali marah, tetapi rasanya sangat aneh. Ia masih merasa asing dengan alasan baru penyebab kemarahannya timbul.
"Nana ...," panggilnya sambil mengetuk pintu kamar.
Pada tangan kiri, kini ia menggenggam kantong plastik yang berisi nasi kotak untuk Nana. Katanya, perempuan itu belum makan sejak malam.
Jika disuruh memilih cara menyingkirkan Nana dari hidupnya, antara perempuan itu menghilang karena berkenalan dengan orang asing secara online atau mati kelaparan di apartemennya, Erlan lebih memilih yang pertama. Setidaknya, ia tak akan dijadikan tersangka.
Bila Nana menghilang karena kenalan online, itu bukan menjadi urusan Erlan. Nana sendiri yang mencari jalan maut.
Berbeda jika Nana ditemukan tidak bernyawa di apartemennya, tanpa basa-basi—hukum akan segera memenjarakannya.
Erlan berdecak karena pintu belum juga terbuka. "Nana ...." Kembali ia mengetuk, sambil fokus pada arloji yang melingkar pada pergelangan tangan.
"Nana, gue nggak bany—"
Pintu terbuka menginterupsi ucapannya. Perempuan itu muncul dari balik pintu. Matanya merah, seperti habis menangis. Penampilan Nana benar-benar kacau.
"Lo kenapa?" tanya Erlan. Entah karena khawatir atau penasaran.
"Sedih banget."
"Apanya?" Erlan mendesak. Pikiran negatif seketika muncul.
Perempuan itu terisak. "Ini, dramanya." Sambil memperlihatkan layar HP.
Erlan menghela napas. Sekelebat pikiran aneh tadi menghilang bagai tertiup angin. Ia pikir, Nana menangis karena disakiti oleh teman online. Ternyata, yang membuat Nana sedih adalah drama yang ditonton.
Segera Erlan berbalik menuju dapur. "Makan, jangan main HP terus," katanya, lalu meletakkan kantong plastik ke atas meja.
Nana turut dari belakang dengan tisu menjadi alat untuk menghapus air mata. Perempuan itu masih menimbulkan tangis kecil. Sesedih itukah drama yang ditontonnya?
"Lo mau makan atau mau nangis?" Erlan sudah mulai kesal.
"Makan," jawab Nana, lalu menarik kursi. "Di drama—"
Erlan mengangkat tangannya untuk menghentikan Nana bicara. Jika dibiarkan, perempuan itu akan terus mengoceh, dan pasti malah lupa untuk mengisi perut.
"Waktunya makan," titah Erlan.
Nana cemberut, tetapi tetap mengikuti perintahnya. Ia suka jika Nana patuh seperti ini. Selama tinggal bersama Nana, apa pun yang Erlan katakan pada perempuan itu, malah akan menjadi bumerang untuknya. Entah itu sebuah kebetulan atau kesengajaan, yang jelas, Erlan hampir dibuat bosan.
"Siniin HP lo," pinta Erlan, wajahnya tidak bisa dibilang santai. Sengaja, agar Nana takut, dan mau memberikan gawainya.
Benar, tanpa basa-basi, Nana memberikan benda tersebut. Tak ada penolakan seperti sebelumnya. Jika tahu ini cara terbaik, Erlan akan terus melakukan. Meskipun, ia akan dimarahi Dino karena menakut-nakuti Nana dengan muka datar.
Erlan menarik kursi di samping Nana. Jarinya segera masuk ke Whatsapp. Memblokir kontak-kontak tak jelas, lalu menghapusnya.
Terdengar suara geseran kursi. "Yang itu jangan, dia baik, kok." Nana menginstruksi.
"Nggak usah ngatur gue, mana ada cowok baik minta nomor duluan." Erlan menjawab sambil tetap fokus pada gawai.
Nana mendengkus. "Itu juga jangan," protesnya.
"Gue bilang, jangan ngatur gue."
"Kalau semuanya dihapus, saya temenannya sama siapa?"
Erlan menghentikan aktivitasnya, ia menoleh pada Nana. "Bentar lagi lo kuliah, jadi bakal punya teman yang banyak."
Perempuan itu diam, tetapi terlihat jelas bahwa niat ingin protes masih ada. Bukannya Erlan egois, ini semua demi kebaikan Nana.
"Game-nya jangan dihapus juga, dong," rengek Nana, tetapi terdengar pasrah.
"Gue nggak mau, uang gue buat nguliahin lo malah rugi percuma." Erlan berdiri dari duduk. "Jangan main game online lagi, kalau nonton drama gue bolehin."
Erlan melangkah ke arah pintu keluar. Sampai di sini, masalah selesai. Meskipun di depan masih ada beberapa urusan lagi menyangkut Nana. Dan itu pasti akan menguras banyak emosi Erlan.
Ya, salah satunya adalah membantu Nana untuk belajar, karena tes masuk universitas sudah hampir di depan mata. Erlan harus menyiapkan banyak bekal untuk Nana.
"Mas Erlan!" panggil perempuan itu.
Erlan menoleh. Tanpa ada waktu menghindar, nasi kotak yang ia bawakan untuk Nana tadi menghantam wajahnya.
Wajah Nana penuh amarah. "Rasain, tuh!"
"Lo—"
Belum juga melangkah untuk membalas kelakuan Nana, perempuan itu malah lebih dulu berlari ke arah kamar. Erlan pasrah di tempat, menerima penghinaan seperti ini.
Ponsel pada sakunya bergetar, ia segera mengambil benda itu. Tepat sekali, guru dari Nana menelepon. Bukan untuk mengadu pada Dino, hanya saja, ia ingin sahabatnya menegur Nana yang makin hari—makin tak sopan dengannya.
"Anak buah lo—"
"Iy-ya, pelan-pelan, lo lagi kesel, 'kan?" Dino sedang berusaha membuat emosinya reda.
Erlan menarik napas terlebih dahulu. "Itu si Nana."
"Ya, mau gimana lagi, dia juga lagi seneng-senengnya punya HP baru, lo malah gangguin."
Berdecak. "Jadi lo dukung dia?"
Terdengar helaan napas dari seberang. Harusnya, Erlan yang mengeluh di sini. Dino tak menunjukan sikap bahwa mendukung tindakannya untuk menjauhkan Nana dari hal-hal negatif akibat dunia maya.
"Bukannya gitu, lo juga harus ngertiin dia, ada gue yang selalu nasihatin dia. Udah, lo santai aja," jelas Dino.
Erlan melangkah keluar apartemen, tak lupa mengunci Nana dari luar. Untuk makan, ia serahkan saja semuanya pada perempuan itu. Erlan sudah bersikap baik dengan membelikan sarapan, tetapi Nana malah menolak mentah-mentah.
Ia juga sudah menyiapkan mi instan di lemari. Jika saat Erlan kembali nanti Nana sudah pingsan, jangan salahkan padanya.
"Gimana gue mau nyantai? Dia selalu gue tinggalin sendiri di apartemen." Erlan kembali mengeluh.
"Udah, bisa gue pastiin, dia bakal baik-baik aja."
"Hm." Hanya membalas dengan gumaman.
Entah benar atau tidaknya apa yang Dino yakinkan padanya, Erlan tak akan ambil pusing lagi. Nana dan Dino sudah terhubung satu sama lain, mereka saling percaya. Ia hanya cukup diam dan jadi penonton saja, menunggu kisah ini mencapai akhir.
Erlan menghela napas. "Terserah kalian, deh, anggap aja gue nggak ada."
Mendengar itu, Dino tertawa dari seberang sana.
Bukannya sedang merajuk, tetapi itu benar-benar kalimat yang pantas untuk menggambarkan kehadirannya sekarang.
______
Satu bulan kita tak bertemu. 🤭
Yuk, lancarkan misi menyelesaikan cerita ini. Kembali update seminggu sekali. Kalau udah ngetik sampai end, mungkin tiga hari sekali. 🤣 Ngarep.
21.12.19
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...