Erlan hanya bisa menatap punggung perempuan itu dari tempatnya berdiri. Perutnya sudah berteriak minta diisi. Ia tak sempat mampir ke restoran yang ada di sekitar apartemen karena berharap Nana telah memasak sesuatu, dan ia bisa makan saat menginjakkan kaki di tempat ini.
Perempuan itu kini tengah fokus pada ponsel baru, sedang Dino yang bertugas untuk menjaga Nana malah terlelap di sofa panjang.
Ya, keduanya bisa menikmati waktu, karena perut sudah terisi penuh, sedang Erlan? Harapannya pupus saat melihat meja makan yang kosong.
Tidak ada cara lain. Ia harus mencari makan di luar, daripada berharap yang tak ada di apartemen.
Ponselnya bergetar. Erlan segera merogoh saku untuk melihat kabar pada benda berbentuk kotak itu. Whatsapp dari sang ibu yang menyuruhnya untuk pulang dulu.
Erlan menyetujui itu. Ia juga sedang tak enak berada di apartemen. Apalagi, dicueki seperti ini. Dino begitu, Nana juga begitu. Tak ada yang mengasyikan.
"Gue balik ke rumah, ya," pamitnya.
"Hm." Dengan anggukkan.
Erlan masih fokus pada punggung perempuan itu. Sebegitu seriusnya memainkan ponsel baru. Entahlah, mungkin selama ia di kantor, Dino juga sudah mengajarkan cara menggunakan benda itu.
Harusnya, ia memberikan nilai lebih pada Dino, sebagai mentor Nana selama berada di Jakarta. Namun, gelar itu ia tarik lagi, karena dengan kegiatan baru Nana ini pula—Erlan harus menahan rasa lapar.
"Kok, masih di situ?" tanya Nana, seakan Erlan lah penumpang di apartemen ini.
"Nungguin Dino bangun dulu."
Ya, ini yang terpenting. Berpamitan pada Dino, tak lupa ia memberi amanah agar menjaga Nana dulu.
Erlan masih setia berdiri di bingkai pintu. Perutnya sudah tak berteriak lagi untuk detik ini. Ia rela menahan lapar, sambil menunggu Dino. Menjelaskan sesuatu pada sambungan telepon akan sangat merepotkan, terlebih lagi Erlan pelupa, ia tak akan sempat mengabari sahabatnya.
Saat merasa Dino belum juga bangun, Erlan melangkah ke dapur terlebih dahulu untuk mengganjal perut dengan air. Baru saja satu langkah terpenuhi, suara teriakan Nana membuatnya menoleh.
"Yaaah ...!"
Erlan mengerutkan kening. Perempuan itu terlihat kesal. Ah, mungkin saja kalah bermain game. Ia kembali melanjutkan langkah.
"Yah, kalah!" Suara meledek itu terdengar dari ponsel Nana.
Kembali ia menoleh.
"Loh, kok, ada suaranya?" Perempuan itu bingung.
"Game online," jawab Erlan.
"Oh, gitu ...?"
Ia tak tahu apa saja yang telah diajarkan Dino pada Nana. Erlan pasrah, karena ia tak punya waktu yang banyak di samping Nana, dan malah mengandalkan sahabatnya sendiri.
Untuk itu, apa pun yang diajari Dino pada perempuan itu, Erlan tak akan protes. Daripada ia harus kerepotan menjaga Nana.
"Jadi, kita bisa bicara sama lawan?" tanya Nana, saat Erlan meneguk air.
Erlan melirik. "Hm."
Nana mengangguk paham. Perempuan itu kembali sibuk dengan ponsel. Kesibukan baru Nana sangat mengganggu mata.
Erlan melangkah ke arah kamar untuk mengambil baju kotornya. Jangan berharap Nana akan mengurus salah satu tugas rumahan tersebut. Bajunya saja, Erlan tak yakin masih ada yang bisa dipakai di lemari. Selama ini, ia tak melihat Nana ataupun Dino berurusan dengan pakaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pressure : Jodoh Dari Desa
RomanceSelesai kuliah, Erlan menuju sebuah desa untuk menghilangkan penat bersama teman-temannya. Ini juga agar ia terhindar dari desakan sang ibu yang menyuruhnya untuk segera bekerja di perusahaan keluarga. Erlan bernasib sial. Ia berada di desa yang mem...