15. Silent Killer

145 24 0
                                    

"Aku baru sadar sekarang. Jika membunuh juga bisa dilakukan tanpa melakukan apa-apa. Yang lebih parahnya tanpa mengotori baju sedikitpun. Dan si pembunuh yang masih bisa berlagak bahwa ia paling sempurna."

🌚🌚🌚

Dinda mengetuk pintu kamar anaknya. Daisha yang hampir terlelap langsung bangkit saat mendengar suara ketukan pintu. Dia membuka pintu dan menemukan sosok bundanya.

"Bunda, sekali ini bolos aja ya check upnya."

"Kan memang hari ini gak check up." Daisha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menahan malu.

"Terus ada apa, Bunda?" tanya Daisha dengan suara paling lembut. Meski dirinya berusaha keras untuk tidak ngegas. Ya tahu sendiri gimana orang Medan.

"Itu Shan dari tadi nungguin kamu."

"Eh ngapain juga tuh orang kemari Bun?" Daisha memasang mimik tidak suka. "Emang boleh ya anak cowok main ke rumah anak cewek?"

"Eh kok kamu gitu sih. Kalau kamu bilang gitu Gilang atau Beby juga gak boleh dong datang ke rumah."

"Mereka beda Bun, masa mau disamain sama dia. Lagian Asa udah gak percaya lagi sama dia. Kan dia sendiri yang bilang Asa cuma penghancur hidup dia terus ngapain sekarang nyari-nyari Asa."

"Yakin itu katanya yang udah move on? Bilang aja kakak takutkan gagal move on."

"Bun bukannya gitu Bun. Asa benar-benar udah move on sama dia. Tapi Asa tahu betul gimana dia Bun. Kalau dia gak akan pernah menghargai apa yang udah Asa putuskan di hidup Asa. Gimana dia bisa minta untuk jadi sahabat Asa?"

"Nak, Bunda tahu Kakak kecewa. Tapi apa benar hati Asa gak punya rasa simpati lagi sampe gak mau beri dia kesempatan?"

"Bukan Asa gak mau beri kesempatan, Bun. Juga bukan Asa mau bales dendam dan jahatin dia. Tapi Asa takut mengambil keputusan yang salah kalau harus berurusan dengan dia lagi."

"Gini deh kalau dia sedikit aja aneh, Bunda yang bakal langsung ngelarang dia buat ketemu Kakak. Sekarang temuin aja dulu bicarain baik-baik."

"Yaudah Bun, tapi bunda ikutan ya. Kakak gak mau ah berduaan doang bicara sama cowok."

"Oke,"

Jadilah ibu dan anak itu berjalan menuju ruang tamu. Shan yang melihat keduanya datang bersamaan merasa bingung. Apalagi keduanya duduk di hadapannya. Alhasil tingkat kegugupannya semakin bertambah.

"Udah lama datang ya, mau ngomong apa?" Daisha langsung to the point sementara Shan dari ekor matanya--Daisha tahu Shan sedang melirik Bunda. "Kalau merasa gak nyaman Bunda di sini, pu---," Dinda menyenggol bahu anaknya, memberi kode bahwa itu tidak sopan.

"Nak Shan gak masalah kan kalau tante ada di sini?" Potong Dinda selanjutnya.

"Iya gapapa tante," Shan sedikit tersenyum. Shan tidak merasa heran dengan sikap Daisha yang sekarang begitu dingin kepadanya. Shan mengaku dan telah sadar bahwa dia salah.

"Dai aku kesini cuma mau minta maaf sekali lagi. Aku tahu aku gak pantas dimaafin tapi tolong kasih aku kesempatan lagi. Setidaknya aku tahu kamu udah maafin aku."

"Yaudah," jawab Daisha singkat padat dan jelas.

"Maksud Daisha, iya udah dimaafin." Shan sebenarnya tahu Daisha pasti bakal memaafkannya. Namun, dengan begini dia merasa lebih lega. Shan ingin mengucapkan terima kasih

"Udah gak usah bilang makasih, aku udah tahu." Shan terdiam, gagal mengucapkan terima kasih. "Bun, Daisha pergi dulu ada yang mau diurus sebentar."

Lost Contact (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang