19. Burn

132 24 3
                                    

"Aku ingin jujur pada diriku sendiri. Namun keadaan memaksaku berbohong."

🌚🌚🌚

Pikiran Daisha penuh. Bagaimana seorang Rival yang selama ini semua orang tahu membenci Daisha, malah mengutarakan perasaannya yang bertolak belakang dari sikapnya pada Daisha? Namun, seharusnya Daisha sadar sih dengan sikap Rival yang terkadang baik kepadanya. Ganteng sih, semua orang tahu itu. Tidak hanya ganteng, otaknya juga encer. Tidak ada satu wanita pun yang tidak ingin berjalan berdampingan dengan Rival apalagi menolak pesonanya. Hanya saja bagi Daisha bukan itu yang penting. Intinya Daisha tidak suka berada dalam posisi seperti sekarang, ribet.

Daisha terdiam lama di kantin sambil mencomot bekal buahnya satu-persatu dari kotak bekal. Daisha masih tidak tahu dia harus melakukan apa. Dari semua pria yang ada mengapa harus Rival yang menembaknya? Hal itu membuat Daisha frustasi saja. Daisha menghembuskan napas panjang. Padahal seharusnya hari ini Daisha tidak boleh banyak pikiran.

Daisha berusaha melupakan itu dan beralih serius pada ponselnya. Ekspresi Daisha bukannya semakin tenang malah terlihat jelas lipatan di keningnya. Kemudian Daisha menghembuskan napas lagi, beralih memanggil ibu kantin yang baru saja lewat dan memesan makanan. Padahal tadi baru juga ngemil tapi masih saja lapar si Daisha itu.

"Ini Neng, ifumie basahnya. Banyak sayurkan?" Ibu kantin mengantarkan pesanannya lima belas menit setelah Daisha memesan makanan.

"Iya bu," Daisha tersenyum cerah, tak lupa menyerahkan uang. "Makasih Bu."

"Tapi neng in---,"

"Buat ibu aja." Ibu kantin itu tak banyak bicara lagi, tersenyum tulus pada Daisha lalu kembali melayani pelanggan yang lain.

"Dasar lambung ruminansia. Udah porsi yang ke berapa?" Daisha yang baru saja makan alhasil tersedak dan langsung meminum air putih miliknya. Apalagi orang yang baru saja duduk di sampingnya adalah Rival. Daisha menggeser duduknya lebih menjauh.

"Val kamu gak kesambetkan?" Daisha melihat sekeliling mereka. Bahkan orang-orang melihat aneh ke arah keduanya.

"Sa jadi lo masih mikir gue kesambet. Soal kemarin gue serius sa." Daisha ingin saja menjerit, mengatakan bahwa dia juga tahu. Tetapi kenapa harus dia? "Lo gak perlu jawab. Gue udah tahu jawabannya. Tapi please gak usah canggung juga ke gue. Atau kita perlu berkenalan dari awal?"

"Gimana gak canggung, karena aku sebenarnya juga tahu kamu serius. Tapi a--ku argh, susah ngomongnya."

"Calm dowm sa. It's okay." Rival kemudian menulis entah apa di sebuah kertas. Memberikan pada Daisha.

I know you don't love me. I just wanna said that to remove my load. But please be my friend.

"I'm sorry for this Rival. That's why i didn't wanna answer. I am afraid it hurt you."

"Daisha c'mon, i don't wanna force my love. So would you be my friend?"

"Friend? No, i don't want." Wajah Rival sudah pias. "But i want you be my best friend." Daisha tersenyum. Rival merasa lega.

"Thanks,"

"Didn't say that, we're friend. Best friend!"

"Well, well you're winner.

🌚🌚🌚

Daisha membalas lambaian tangan Rival. Orang-orang masih merasa bingung dengan kedekatan keduanya yang tiba-tiba akur. Karena selama ini mereka biasa melihat seberapa jelas Rival membenci Daisha. Daisha tidak perlu memperdulikan orang lain. Bagi Daisha apa yang terjadi hari ini merupakan anugerah Tuhan padanya. Sudah lama sekali ia ingin berteman dengan Rival. Dan hari ini semua terwujud tanpa diduganya.

Handphone Daisha bergetar, ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Daisha ingin mengabaikannya. Tetapi tidak jadi karena ada kata Dhiba dalam pesan singkat itu.

xxxxx : Asa, ini Dhiba. Handphone Dhiba mati, jadi pinjem handphone temen deh. Asa ke gudang yang di belakang fakultas Asa ya, ada yang mau Dhiba sampaikan.

"Gaya nih orang sok mau ada yang disampaikan, paling mau curhat soal Yazid."

Daisha mengantongi handphonenya kembali. Dirinya kemudian menuju tempat yang Dhiba maksud. Daisha membuka gudang yang dimaksud. Namun, saat di dalam Daisha tidak menemukan siapa-siapa. Daisha sudah menerkanya. Dhiba tidak mungkin mengajak bertemu ditempat tertutup.

"Siapa kamu sebenarnya?" Daisha bersuara. "Apa maumu?" Belum ada jawaban. "Aku tahu kamu masih ada di sekitar sini, tolong jawab."

Masih tidak ada jawaban sampai beberapa menit kemudian. Tiba-tiba pintu gudang dikunci dari luar. Daisha masih bisa tenang saat itu. Daisha mencoba memejamkan matanya, berpikir secepat mungkin untuk bisa keluar dari gudang secepatnya. Namun sayangnya saat Daisha membuka mata api sudah berada di sekelilingnya. Bibir Daisha langsung merapalkan doa. Sambil berdoa dirinya juga sambil memikirkan cara apa yang dapat membuatnya keluar dari gudang itu.

Daisha tahu caranya. Daisha membuka tas ranselnya, mengeluarkan pashmina dan botol minum super besarnya. Lalu pashmina itu dibasahi dengan air di botol minumnya yang masih sisa setengah. Kemudian Daisha menutup tubuhnya dengan pashmina yang sudah basah tadi. Lalu dia mengambil pemukul bisbol yang sudah tidak terpakai. Dilihatnya dinding di sudut gudang yang mulai rapuh karena terbakar. Dia mendorong dinding itu dengan pemukul bisbol. Sebelum dia melewati dinding yang sudah jebol disana, Daisha membaca basmalah membungkukkan badannya lalu dengan kecepatan super penuh dia berlari keluar dengan kain basah yang menutupinya.

"Alhamdulillah," ucap Daisha karena usahanya berhasil. Lalu dia terbatuk-batuk.

Suara batuknya ternyata didengar oleh salah satu anggota Golden Tree. Entah siapa yang memberi tahu tapi beberapa orang dari anggota Golden Tree sudah ada di sana.

"Lho Daisha, kamu udah bisa keluar." Ucap Arez, sementara itu Dhiba langsung memeluk dirinya.

"Rez terus Shan sama Kak Aru gimana? Mereka kan di dalam."

"Eh serius," Daisha melepaskan pelukan Dhiba. "Mau cari mati apa orang tu. Ada aja pulak. Terus kenapa kamu dan Arez diam aja sih Lang, tolongin sana."

"Eh iya siap Bu Bos." Gilang langsung sigap mencari kain dan membasahinya. Arez juga demikian, mereka berdua berusaha masuk ke gudang yang terbakar itu.

"Dhiba cari bantuan cepat." Dhiba mengangguk segera berlari.

Sementara itu Daisha mencari sumber air tidak lupa beserta embernya. Sibuk mencari dua hal itu Daisha lupa kalau disana ada keran air beserta selangnya. Tidak butuh waktu lama Daisha langsung menarik selang ke dekat gudang dan menyemprotkan air. Tidak lama datang beberapa orang membawa air di dalam timba dan ada juga yang membawa tabung pemadam kebakaran. Kira-kira sepuluh menit kemudian api mulai padam meski masih belum sepenuhnya padam. Aru, Shan, Gilang dan Arez pun berhasil keluar. Yang lain masih sibuk memadamkan api sampai benar-benar padam.

Daisha dan Dhiba menuju ke tempat dimana Gilang, Arez, Aru dan Shan didudukkan. Gilang dan Arez aman, hanya muka mereka saja yang sedikit hitam kena asap kebakaran. Lumayan kan biar tambah cakep. Sementara itu cara Daisha memandang Aru dan Shan sedikit seram. Baik Gilang, Arez dan Dhiba sudah tahu apa kelanjutannya.

"Aru sensei sama Shan kenapa sih? Mau sok jadi pahlawan." Ucap Daisha dengan tajam. "Kalau mau nolong orang itu harus mikir dulu membahayakan diri sendiri gak? Kalau kalian yang celaka gimana? Siapa yang mau tanggung jawab?"

Meski Daisha marah dengan wajah bersungut-sungut, Daisha tetaplah Daisha. Dia langsung mengambil kotak P3K dari tangan Dhiba dan segera mengobati luka bakar yang ada pada Shan dan Aru dibantu oleh Dhiba.

Lain kali Daisha tak boleh lengah.

🌚🌚🌚


Lost Contact (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang