Ponsel

3.1K 468 47
                                    

Veranda's POV

Aku berdecak kesal, menunggu panggilanku diterima. Entah sudah berapa puluh kali aku menelpon, puluhan pesan juga sudah kukirim. Kinal tak kunjung menerima atau membalas, membuatku semakin khawatir. Tak biasanya ia seperti ini.

Aku sampai tak berselera makan karena memikirkannya yang hingga kini tak ada kabar. Aku sudah mencari ke rumahnya, sampai ke rumah Bang Fandi, tetap tak menemukannya. Bang Fandi bilang, sore tadi Kinal mengirim pesan padanya akan pulang terlambat, tapi tak memberitau alasannya. Fakta itu membuatku semakin tak tenang.

Kulihat jam di dinding, sudah pukul delapan. Kucoba menelponnya lagi, namun masih tak ada jawaban.

"Veranda!!"

Aku tersentak mendengar panggilan itu, buru-buru keluar dari kamar.

"Biar Ve aja Mah," ucapku saat melewati Mama yang hendak membuka pintu.

Senyuman khasnya langsung menyambut begitu aku membuka pintu. Ia mengangkat kantong plastik di tangan kanannya. Melihatnya membuat dadaku terasa sesak, mataku mulai berair.

Senyumnya luntur ketika air mataku mulai mengalir, diletakannya kantong plastik itu di atas meja, mendekatiku yang masih terpaku di tempat.

"Kok nangis? Kenapa Ve? Gara-gara gue telat pulangnya ya? Lo capek nungguin martabaknya ya?" Paniknya, membuat air mataku semakin deras.

"Eh ehh kenapa sih?" Tanyanya lagi, kuhempaskan tangannya yang hendak memegang tanganku.

"Bodoh!" Ucapku akhirnya, dengan suara bergetar.

"Kok bodoh?" Bingungnya. Kesal, aku memukulinya.

"Eh kok gue dipukulin Ve? Aww sakit Ve, ampun," teriaknya, sambil menangkis pukulanku.

"Kamu tuh bodoh banget tau nggak! Aku nggak pengen martabaknya. Aku khawatir sama kamu!! Aku telponin dari sore kamu nggak angkat, aku chat kamu nggak bales, dibaca pun enggak. Aku cariin ke rumah kamu nggak ada, ke rumah Bang Fandi juga nggak ada. Aku takut kamu kenapa-kenapa," ucapku akhirnya, masih dengan air mata yang mengalir. Semua yang kupendam sejak tadi, tumpah akhirnya.

Kinal langsung menarikku ke dalam dekapannya, mengusap punggungku untuk menenangkanku yang masih terisak.

"Maaf ya. Tadi gue ketiduran, jadi nggak tau lo nelpon. Pas bangun baru sadar udah malem, gue jadi buru-buru balik. Maafin gue ya udah bikin lo khawatir," ucapnya lembut, mampu membuatku merasa sedikit tenang.

Ia melepaskan pelukan, mengusap sisa air mata di pipiku.

"Maafin gue ya," ucapnya lagi, kubalas dengan anggukan.

"Kalau gitu senyum dong," pintanya, kali ini aku menggeleng.

"Diikiiittt aja," bujuknya, aku kembali menggeleng.

"Diikitttt aja, sedetik deh sedetik," pintanya dengan ekspresi yang membuatku tak bisa menahan tawa.

"Nahh gitu kan cakep," ucapnya.

"Eh makan martabaknya yuk, kalo dingin nggak enak nanti."

Ia menarik tanganku duduk di kursi teras, dibukanya plastik putih itu, mengeluarkan kotak yang sudah pasti berisi martabak keju, kesukaan kami berdua.

"Foto dulu ya martabaknya," ucapnya, seraya merogoh saku celana. Dahinya mengerut, tangannya merogoh saku semakin dalam. Ia bangun, mencari ponselnya di saku celana sebelah kiri, juga bagian belakang.


"HP GUE ILANGGG!!!!!"

"HP GUE ILANGGG!!!!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HOPE  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang