Bloom

2.8K 357 110
                                    

Kinal's POV

"Nal... Kinal..."

Bersamaan dengan suara panggilan itu, pintu kamarku terbuka.

"Iya Pak?"

"Kamu masak aer?"

"Hah?"

"Itu kamu masak aer kan?" Tanyanya lagi, membuatku semakin bingung.

"Kamu hah ho hah hoh aja dari tadi. Mau masak mie kan? Di samping kompor tadi Bapak liat ada bungkus mie yang udah kebuka."

Ucapan Bapak membuatku tersadar, buru-buru beranjak dari kasur.

"Aernya belom mateng. Yang tadi kamu masak udah nguap semua, jadi Bapak ganti yang baru."

Aku mengembuskan napas berat. Sial, kenapa bisa aku lupa tengah memasak air.

Aku berjalan menuju dapur dengan pikiran yang masih kemana-mana. Akhir-akhir ini aku memang sering tak fokus. Bang Fandi bahkan sering menegurku gara-gara salah mengantarkan pesanan pada pelanggan. Ujung-ujungnya Rino yang mengambil alih pekerjaanku, membuatku tak enak hati padanya.

"Masak aer kok bisa lupa, Kinal Kinal," Bapak hanya geleng-geleng kepala melihatku, seraya menuangkan air putih ke dalam gelas yang dibawanya.

Tak kutanggapi ucapan Bapak, hanya memandangnya hingga keluar dari dapur. Selesai memasak mie, aku membereskan peralatan masak. Tadinya aku ingin menikmati masakanku di meja makan. Melihat Bapak berjalan menuju teras depan, aku jadi mengikutinya. Aku duduk di samping Bapak yang duduk bersila, bersandar pada tiang.

"Makan Pak," tawarku, Bapak menggeleng.

"Tumben nggak pake cabe, biasanya cabenya sampe kemana-mana saking banyaknya."

Ucapan Bapak membuatku urung memasukkan suapan pertama, memperhatikan mie di piringku. Tak ada cabai di sana. Lagi-lagi aku mengembuskan napas berat, tak habis pikir dengan diriku. Padahal tadi aku sudah memotong cabai untuk dicampurkan dengan mie yang kubuat.

"Pasti lupa dimasukkin kan?"

Tepat sasaran. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Bapak. Walau kutau rasanya tak akan terlalu enak, aku berusaha menikmati mie buatanku hingga habis.

"Kamu kenapa Nal? Dari tadi Bapak perhatiin kayak orang ling-lung."

"Masa sih Pak?"

"Iya. Kamu lagi berantem ya sama Ve?"

"Enggak Pak."

"Atau sama Rino?"

"Enggak juga Pak."

Aku meraih gelas berisi air putih di depanku, mulai meminumnya.

"Atau kamu lagi patah hati."

Ucapan Bapak membuatku terkesiap. Gelas di tanganku bahkan sampai terlepas. Hampir pecah jika saja aku tak sigap menangkapnya kembali. Melihat itu, Bapak menertawakanku.

"Wah beneran nih kayaknya, lagi patah hati nih."

"Ishh enggak Pak," sangkalku, Bapak masih saja menertawakanku.

HOPE  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang