Sore, Mendung

2.3K 331 53
                                    

Veranda's POV

Panggilan Aron membuatku urung memasukkan pakaian ke dalam lemari. Awalnya kuabaikan, karena kupikir ia hanya mengerjaiku. Seperti yang sudah-sudah.

"Kak! Ada Kak Kinal tuh di luar!" Teriakkan terakhirnya membuatku terdiam sejenak. Kuletakkan tumpukkan pakaian yang baru saja kusetrika di atas kasur, berjalan menuju jendela, melihat situasi di luar. Benar saja, kudapati Kinal dan Rino tengah duduk di teras rumah.

Aron tengah duduk di ruang tamu, fokus bermain game. Sesekali ia mengumpat entah kenapa. Mungkin kalah dalam permainan. Sengaja kusenggol tangannya ketika melewatinya, membuatnya mengerang kesal,"Kak Ve apaan sih!" Protesnya, sontak aku tertawa melihat ekspresinya.

Senyum lebar keduanya langsung menyambut begitu melihatku. Rino memegang sebuah kantung plastik hitam, entah apa isinya.

"Rumah pohon yuk," ucap Kinal. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia menarik tanganku.

Berjalan dari rumahku ke rumah pohon jadi agak jauh. Kami harus memutar dari rumah Rino. Jalan yang biasa kami lewati ditutup, karena ada pengajian di rumah salah satu warga.

Sampai di rumah pohon, kami tak langsung naik ke atas. Ngobrol sebentar dengan Bang Fuad yang tengah mencukur rambut Andi, tepat di bawah rumah pohon. Biasanya Bang Fuad akan mendatangi rumah atau dimana saja yang dikehendaki pelanggannya. Itulah mengapa ia dijuluki "salon keliling".  "Capek gue keliling kampung mulu, sekali-sekali guelah yang didatengin gini, "ucap Bang Fuad, menjawab pertanyaan Rino mengenai dirinya yang tak lagi berkeliling kampung. Akhir-akhir ini memang lebih sering kulihat Bang Fuad bekerja di bawah rumah pohon, tepat di depan rumahnya

"Naek ya Bang," pamit Rino, lalu menaiki tangga terlebih dulu. Disusul Kinal dan aku yang terakhir.

Tiga botol teh dingin dikeluarkan Kinal dari dalam kantung plastik itu, disusul sebungkus kacang dan sebungkus kuaci.

"Kaya mau nonton bola aja," komentarku, membuat Kinal dan Rino terkekeh.

"Sekali-sekali Ve, biar lo tau gimana rasanya nonton bola. Walaupun cuma cemilannya doang," sahut Rino.

Kinal mulai memutar lagu dari ponsel baru miliknya. Kutemani ia membeli itu sebulan yang lalu. Kamera ponsel lamanya rusak karena terjatuh olehnya. Daripada memperbaiki kamera dengan harga yang mahal, mending beli baru dengan harga yang tak jauh beda, katanya. Padahal kutau pasti ia membeli ponsel itu agar lebih nyaman bermain game karena layarnya yang lebih besar.

"Eh ada yang jual kue pancong tuh, beli nggak?" Rino berkata, tangannya menunjuk penjual kue pancong di bawah sana.

"Bang beli Bang!" Teriak Kinal, ia merogoh saku, mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribu. Diserahkan uang itu pada Rino,"No beli sono," ucapnya.

Buru-buru Rino menuruni tangga. Berlari tergopoh melewati Bang Fuad yang baru saja selesai memotong rambut Andi, agar tak tertinggal oleh penjual kue pancong itu. Penjual pancong itu hampir saja berbelok ke salah satu gang saat Rino berhasil menghentikannya. Sepertinya ia tak mendengar teriakan Kinal tadi.

Menengok ke arah kami, Rino mengangkat uang di tangannya, seolah bertanya "beli berapa?". Lalu Kinal berteriak,"semuanya No!"Maksudnya seharga sepuluh ribu.

Menunggu kue pancong dimasak, Rino duduk bersandar pada tembok, ngobrol dengan sang penjual.

Suara musik dari ponsel beradu dengan suara kacang yang dibuka. Berulang-ulang sampai lagu berganti. Hendak mengambil teh milikku, ponsel Kinal bergetar, membuat alunan lagu terhenti tepat saat akan memasuki reff. Buru-buru Kinal mengambil ponselnya, mungkin agar tak dilihat olehku. Padahal aku tau persis siapa yang menghubunginya. Raut wajahnya seketika jadi tak nyaman setelah mematikan-atau menolak panggilan itu.

HOPE  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang