5 : Impolite

2.8K 292 4
                                    

Aroma mawar menyusup masuk melalui hidung menenangkan pikiranku yang sering teraduk. Busa sabun yang lembut melingkari seluruh tubuhku dalam bathtub sederhana yang menjadikannya tempat ternyaman di ujung pekan seperti ini.

Aku berendam, hampir satu jam lamanya. Melontar jauh-jauh pikiran tentang pekerjaan rumah, sekaligus menyingkirkan eksistensi Jimin. Ya, aku hanya ingin bersantai.

Jimin membiarkan aku pergi karena dia sudah terlanjur membuat kesepakatan denganku. Hari minggu adalah waktu bebas untuk aku melakukan apapun yang ku inginkan. Misalnya, berbelanja, perawatan. Tak lupa dia juga memberiku kartu hitam miliknya agar aku bisa membayar tagihan dengan mudah.

Aku berjanji pada Jimin akan
memanfaatkannya sebaik mungkin, dan respon yang ku terima majikan-suami-tanpa cintaku itu mengangguk santai seolah tidak khawatir jika aku bisa saja tenggelam dalam keborosan. Untuk perilaku Jimin yang satu ini patut ku acungkan jempol, dia bukan pria yang suka mengambil kembali apa yang sudah dia berikan.

Aku tidak bisa menahan lenguhan saat beberapa pelayan khusus memberi pijatan dengan keahlian yang mereka miliki.
Aku menyukai semua perawatan yang di berikan keatasku, intinya aku betah berlama-lama di tempat ini, tempat yang dianggap syurga para gadis-gadis. Sungguh membuat nyaman.

Aku sempat tertawa kecil, mendapati kuku jariku kini dihiasi oleh kutek berwarna ungu muda juga sebuah ukiran bunga kecil pada setiap satunya membuat aku tidak bisa berhenti terkagum-kagum.

Jiwa gadisku terbebaskan.

Setelah menghabiskan waktu 4 jam, akhirnya aku selesai dengan tubuh yang terasa seringan bulu.

"Terima kasih sudah memilih kami Nona, silahkan berkunjung lagi. Kami akan memberikan pelayanan yang lebih baik lagi," ucap salah seorang karyawan yang berpenampilan rapi padaku.

Aku tersenyum senang akan kemesraan yang mereka pamerkan seolah mereka memperjuangkan sesama wanita untuk terlihat cantik maksimal.
"Dengan senang hati aku akan kembali dan menikmati perawatan terbaik kalian," kataku tulus tersenyum ramah.

"Ya, selamat menikmati harimu yang menyenangkan Nona."

Aku berbalik sembari merekahkan senyum penuh kepuasan. Keluar dari sana untuk menemukan kegiatan yang baru.

***

Tujuanku selanjutnya adalah mall berdekatan, aku menyebrangi jalan bersama kerumunan orang-orang yang berada disekeliling. Langkahku terhentak rapi dengan sepatu hak merah yang menghiasi hingga kepergelangan.
Surai cokelatku sengaja ku biar tergerai, dengan pin yang menahan sebagian sisi kirinya. Dress selutut berwarna hitam yang tidak mencolok menutupi tubuh rampingku, membuat aku cukup percaya diri untuk berbaur dengan suasana sesak di mall dengan penampilan pengunjung yang beragam.

Aku memasuki beberapa toko pakaian dengan harapan bisa menemukan beberapa untukku jadikan koleksi baru.
Perlahan-lahan aku mulai larut dalam kesenanganku meneliti, menyentuh, menilai apapun yang ku lihat. Hingga pada akhirnya pandanganku jatuh pada sebuah pakaian--yang pantas di sebut karya seni karena Dress putih yang berjuntaian hingga kelantai itu memenuhi selera fasionku.

Aku putuskan, aku harus memiliki itu tidak perduli semahal apa. aku merasa tenang karena Jimin tidak mungkin bangkrut dalam sehari.

Aku menatap dengan binar memuja, dengan senyum yang tak mampu luntur. Tepat saat aku menjulurkan tangan untuk mencapainya, seseorang merebutnya terlebih dulu, dan itu pasti membuat aku meledak dengan perasaan kesal.

"Yakh! Itu milikku," ucapku lalu membawa tatapan menuju peribadi gadis berambut blonde sebahu yang kini memeluk Dress putih seolah mengatakan itu miliknya sekarang.

Perampas!

Aku mendumal sejadi-jadinya aku paling tidak suka didahului oleh siapapun.

"Bagaimana bisa ini milikmu? Aku meraihnya terlebih dulu." Gadis itu membalas ucapanku dengan nada angkuhnya.
Dari pengamatanku, melihat penampilan elegan dan pesonanya dia---bukan gadis biasa, jika bukan anak pengusaha sukses, dia pasti anak menteri. Dia bersinar seperti bongkahan kristal di musim panas.

Dan dia memang panas, dia berhasil memanas-manasiku dengan tatapan meremehkan seolah aku ini gadis dari selokan tanpa status yang tinggi.

"Berikan padaku," pintaku berharap dia mau menyerah secara baik.

"Harus ya? Memangnya berapa yang kau bisa bayar untuk baju ini?" Suaranya membuat aku jengkel di tambah wajah angkuhnya. "Asal kau tau ya, aku bahkan bisa membeli seluruh gedung ini. Jadi menyerahlah karena ini tidak pantas untukmu."

Dia menghinaku?

Aku mengeratkan rahang. Mencoba agar tetap tenang, namun aku gagal.

"Apa yang kau maksudkan dengan tidak pantas?" Ada ketegangan yang mendadak hadir di sekitar bahkan pengunjung lain, sedikit demi sedikit mulai merapat mencari tau apa saja yang kami ributkan dengan suara tertahan.

Buru-buru aku mendekati gadis itu memegang apa yang inginku miliki dari tadi. "Lepas!" Aku jadi hilang rasa malu karena gadis ini sudah berani merendahkanku.

Sial, aku benci dengan tatapan menilai yang dia berikan padaku juga senyum sinisnya seolah aku pantas untuk diinjak-injak.
Baiklah, sekarang bukan lagi tentang Dress. Tarik-menarik yang kami lakukan saat ini di tengah toko adalah tentang harga diri.

Dia bersikukuh."Jauhkan tangan kotormu bodoh!"

"Bodoh? Kau yang bodoh apa kau tidak sadar kalau ini terlalu panjang untukmu?" Aku membidiknya di titik terlemah yang bisa di pastikan dengan mudah. Tubuhnya sedikit pendek dariku."Kau yang tidak cocok memiliki Dress ini."

Masih saling merentap.

"Yakh! Beraninya kau! Kau pikir kau siapa ha?"

Aku tersenyum sinis menguatkan tarikan."Aku bukan siapa-siapa tapi aku ingin Dress ini, jadi lepas kau bisa merusaknya." Kerumuman semakin banyak, dan sialnya tidak ada yang berani menghentikan pergelutan yang tercetus.

"Apa peduliku? Gadis kurang ajar!" Bahkan sekarang dia berani memakiku, benar-benar keperibadian yang mengerikan.

Lama kelamaan, pergerakan tangan gadis itu berubah kasar dia menolak tubuhku kuat hingga aku mundur beberapa langkah lalu terdiam sambil menatapnya tajam. Aku terlalu ingin menghajar gadis sombong itu dengan kedua tangan ku.
Aku maju mendekat padanya dengan napas yang tersengal marah bercampur kesal membuat aku hilang kendali akan diri sendiri.

Aku hampir melayangkan sebuah tamparan pada pipi gadis itu, namun tak sengaja mata ku menangkap kelibat sosok yang tidak asing berdiri bersama kerumunan. Dalam detik-detik itu waktuku seakan dibekukan bersama tangan yang jatuh lemas kesisi, entah apa yang di katakan gadis di hadapanku, aku tidak bisa mendengarnya. sosok itu lebih menarik perhatianku, mengacaukan detak jantungku hanya dengan berdiri tanpa melakukan apapun disana.

Pandanganku mengabur.
Sesak mendadak memenuhi rongga dada. Meremas tali tasku kuat, sebagai pelampiasan.

Little Trace (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang